Cerpen, Damhuri Muhammad, Kompas

Nelayan yang Malas Melepas Jala

5
(3)

Bagaimana sebaiknya kau mengumpamakan persekutuan dua manusia yang sama-sama meringkuk di lubuk asmara, tapi tak mungkin hidup bersama? Seorang penasihat hubungan percintaan spesialis usia setengah tua (es-te-we) pernah menyarankan; andaikan kau dan kekasih gelapmu sedang dilanda kegemaran mencari kesenyapan di sebuah pulau asing, atau sebut saja pulau tak bernama. Tapi kalian hanya boleh berada di sana sepanjang petang! Sebelum malam sempurna kelam, kalian sudah harus berlayar kembali ke pulau masing-masing. Kau pulang ke pangkuan suamimu. Kekasih gelapmu kembali menunaikan tugas mengurus keluarganya.

Bagaimana bila kelak pulau tak bernama itu sudah menjadi target intel-intel swasta guna memotret setiap gerak-gerik penghuninya, lalu kabar akan tersiar di pulauku dan pulau kekasihku? Tanyamu pada suatu senja sambil memasang muka was-was ketimbang waspada. Di pulau tak bernama, cinta juga tak bisa dinamai, kata kekasih gelapmu, sekadar menenangkan kecemasan berdua. Intel-intel swasta yang mungkin dikirim khusus dari pulaumu—tentu juga dari pulau kekasih gelapmu—membawa kamera tersembunyi, dan mereka tak perlu perkakas bahasa saat melaporkan rupa-rupa peristiwa.

Akhirnya kau tidak lagi percaya pada konsultan asmara itu, meski belum sedikit pun terbersit niatmu untuk menyudahi persekutuan ganjilmu. Kau dan kekasih gelapmu tetap melepas rindu, paling tidak seminggu sekali, baik di ruang terbuka maupun di tempat-tempat rahasia. Kalian tetap bertukar kabar dalam situasi sepayah apa pun. Kekasih gelapmu maklum, bahwa sebelum senja tiba kau mesti pulang, dan itu berarti perjumpaan kalian mesti bubar sampai di situ. Ia tak pernah ngeyel menahanmu barang sejenak. Justru ia tak pernah alpa menjadi alarm bagi waktu berpisah, yang sama-sama kalian benci.

Kenapa ia tak pernah protes bila aku terlambat membalas pesan-pesan singkatnya? Tanyamu pada seorang peramal hubungan gelap yang lagi-lagi spesialis perselingkuhan kaum setengah tua. Kekasih gelapmu adalah pribadi yang tidak hobi berburuk sangka. Di matanya, apa pun yang kau lakukan adalah benar. Apa saja yang kau perbuat adalah wajar. Dadamu berdebar saat mendengar komentar dukun kekinian itu. Sedikit-banyaknya mekar juga rasa banggamu karena punya kekasih yang tidak cerewet, apalagi kepo tak karuan.

Kau masih ingat saat mengunggah foto bersama suamimu tatkala kalian merayakan ulang tahun pernikahan? Kau merangkul bahu suamimu sekuat kau memeluk bantal guling di kala hujan lebat tengah malam—sementara suamimu sedang dinas ke luar kota. Saking eratnya, seolah-olah bahu suamimu menyatu dengan sekujur kulit di tubuhmu. Celakanya lagi, itu kau selenggarakan sambil mendaratkan sebuah kecupan modern di pipinya, bukan? Hampir semua teman dekatmu di laman media sosial itu memberi selamat, serta mendoakan kejayaan sejarah perkawinanmu. Apakah selepas itu kekasih gelapmu merajuk atau setidaknya menampakkan muka cemburu? Alih-alih bersedih, ia malah ikut menumpang bahagia dan bersuka-cita. “Usia pernikahan boleh bertambah, tapi umur kemesraan hendaknya kekal di masa muda. Berbahagialah sampai usia renta,” begitu bunyi sebuah kalimat yang termaktub dalam sebuah surat panjang. Ia mengirimkannya menjelang dini hari, mungkin sebelum suamimu terjaga untuk memberi selamat.

Baca juga  Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16:00

Kekasih gelapmu adalah seorang fotografer, spesialis potret keluarga. Soal membaca jiwa dari sebuah potret keluarga, mungkin kemampuannya melampaui ketajaman mata batin cenayang-cenayang metropolis yang sering kau sewa. Ia tak sembarangan mengumbar ucapan “selamat berbahagia” bila jiwa yang ia tangkap dalam potret keluarga itu adalah nestapa yang disamarkan. Maka, kekasih gelapmu telah memastikan bahwa kau dan suamimu adalah pasangan yang sejahtera lahir-batin, tak kurang satu apa pun juga.

Masih ingat perjumpaan di sebuah restoran tepi laut, saat ia mendiskusikan hasil pengamatannya terhadap foto-foto reunian yang berseliweran di laman-laman media sosial? Busana, pose, sudut pandang, dan latar-tempatan boleh saja berbeda-beda, tapi jiwa dari sebagian besar foto-foto itu menurutnya punya corak yang serupa. Riang-gembira, tapi diam-diam seperti menyimpan luka. Bersahaja, tapi menyembunyikan ambisi tak terkira. Bersuka-ria, tapi memelihara dengki yang tak kasat mata. Berbahagia tapi sekadar basa-basi yang dipaksakan. Suci dan berseri-seri, tapi mengoleksi banyak laku hipokrasi.

Sandiwara dalam pose-pose itu mengingatkan ia pada pesan seorang kerabat dekat bahwa ia sudah lama tak berkunjung ke rumahnya, ia sudah bertahun-tahun tak menjaga silaturahmi, ia hanya datang dan berjabat tangan bila sudah ada yang mati di sana. Itu pun kalau hatinya sedang terpanggil. Lalu, ia bilang, kenapa yang harus datang berkunjung itu selalu yang lemah kepada yang kuat, yang muda kepada yang tua, dan yang paling sering terjadi adalah yang miskin kepada yang kaya? Pernahkah sekali saja pihak-pihak yang kuat itu beritikad untuk menjenguk saudara lemahnya, yang tua berkenan singgah sejenak di rumah saudara mudanya?

***

Bandingkan dengan sikapmu setelah kekasih gelapmu menyiarkan sebuah foto keluarga saat ia dan istrinya merayakan hari jadi putri mereka. Pose yang sama sekali tak mengumbar keintiman mencolok. Meski terbilang dekat, di antara kekasih gelapmu dan istrinya masih dibatasi oleh tubuh putri kecilnya yang tampak sedang meniup lilin di atas permukaan kue. Apa yang terjadi selepas itu?  Kau mengirim surat panjang yang bila disimpulkan dapat berarti kau telah menudingnya sebagai laki-laki jahat yang tak pandai menjaga perasaan perempuan. Lebih dari dua pekan kau tak merespons satu pun pesan pendeknya. Kau diserang penyakit ngambek stadium parah, meski kekasih gelapmu tidak panik dan malah segera memaafkanmu.

Baca juga  Pohon Mati

“Ia mungkin bukan laki-laki yang baik, apalagi laki-laki yang suci dari rupa-rupa kenakalan pada perempuan. Tapi, saya pastikan ia orang yang jujur!” kata konsultan amatir yang diperkenalkan seorang sejawatmu selepas menghadiri seminar bertajuk “Usaha Mencegah Kerut Ketuaan” di sebuah pusat perniagaan.  Kau tidak menunjukkan sikap percaya. Sebaliknya, kau cuek sambil menulis komentar atas pesan-pesan sampah di sebuah chat-group kumpulan ibu-ibu hebring kurang piknik. Tapi, ramalan cenayang pemula itu membuatmu tak bisa lupa obrolan ringan dengan kekasih gelapmu, tepatnya pada pertemuan ketiga sejak kalian berkenalan di dunia maya.

“Boleh aku menyebutmu sebagai pendekar pemetik bunga?” tanyamu dengan nada mengejek. Kata “pemetik” dalam kalimatmu menurutnya berkonotasi kegemaran mencari. Sementara ia bukan tipe pencari atau sebutlah pemburu. Maka, kata “pendekar” sebaiknya diganti dengan “nelayan.” Itu pun kalau bisa nelayan yang diumpamakan tidak sedang membentangkan jala. Bayangkan saja nelayan itu sedang mendayung perahu di sebuah danau, sementara jala menggumpal dan teronggok begitu saja di sudut perahunya. Hanya beberapa bagian ujung jala yang menjuntai ke permukaan air. Di situlah sesekali ikan kecil datang dan kerap terjaring tak sengaja. Demikianlah, ia tak pernah mencari, tapi sekadar menyambut setiap perempuan yang berkenan singgah.

“Lalu sudah berapa ekor ikan yang datang suka-suka ke dalam jalamu?” tanyamu, ketus.

“Setiap yang datang biasanya sudah punya rencana pamit sendiri-sendiri.”

“Iya. Sudah berapa yang pamit setelah kau karantina dalam perangkapmu?”

”Dan, sampai kapan kau membiarkan jala itu menjuntai di permukaan air hingga ikan-ikan terperangkap silih berganti?”

Kau mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Makin lama suaramu makin terdengar sebagai kemarahan.

***

Pada perjumpaan selanjutnya, ia tegaskan bahwa kasusmu sedikit berbeda dengan hikayat nelayan yang enggan melepas jala itu. “Sebelum menemukanmu, nelayan itu sedang dilanda keinginan hendak melepas mata kail,” katanya. Bukan kau yang merapat sukarela ke jalanya, tapi ia yang gigih hendak menangkapmu.

Lalu, ia menyerupakan dirinya seperti sepeda motor yang akan turun mesin. Mur dan baut di tubuhnya sudah berguguran. Ada yang lepas sendiri lantaran aus, ada yang direnggut paksa sekuat tenaga. Ia mengaku telah bertelanjang di hadapanmu. Tak ada lagi yang belum ia singkap. Tentang ikan-ikan yang sukarela melekat di jalanya, rencananya melacak kembali kesendirian yang lenyap sejak ia berkeluarga, dan keberuntungan tak terduga sejak ia bertemu perempuan yang ternyata juga pecandu kesunyian, hingga terbangunlah hubungan gelap yang amat mendebarkan, sekaligus rawan-ketahuan itu.

Baca juga  Kepergian Rima

Kau punya anak-anak yang manis dan lucu. Ia punya anak-anak yang girang dan menyenangkan. Kau punya suami yang tekun bekerja dan sayang keluarga. Ia punya istri yang tabah mempercayai kesetiaan seorang laki-laki. Hubungan gelap kalian adalah cinta yang mustahil. Rencana-rencana kalian percuma. Kau bahagia bersama keluargamu. Ia rukun-tentram bersama istri dan anak-anaknya.

Tapi kalian tetap hobi meringkus senja di pulau tak bernama. Tetap gemar melarikan diri dari sumbu-sumbu kebahagiaan masing-masing. Sehari saja kalian tak bertukar kabar, bagai akan tiba amuk badai, mengguncang tugu kerinduan yang kalian lestarikan di sana. Itu sebabnya kau masih mencari umpama yang relevan bagi hubungan rahasia, dan konon terus diincar oleh mata liar intel-intel swasta.

Aku bukan konsultan orang kasmaran. Bukan pula ahli nujum kontemporer yang bisa meramal masa depan permainan serong. Tapi baiklah, kusumbangkan sebuah permisalan yang paten. Andaikan kau dan kekasihmu sebagai dua narapidana. Kalian meringkuk di sel yang bersebelahan. Di antara selmu dan selnya ada sebuah meja kecil dengan papan catur yang terbuka, berikut dengan bidak-bidak yang siap digerakkan. Julurkan tanganmu dari balik jeruji besi. Kekasih gelapmu juga melakukan gerakan serupa. Bermainlah sepanjang hari. Jangan pernah berhenti. Kalian memang sedang menanggung vonis berat, tapi menyudahi permainan itu akan mengakibatkan kalian menjadi terpidana seumur hidup… ***

Damhuri Muhammad. Cerpenis dan kolumnis. Sejak 2008, cerpennya sudah empat kali masuk dalam buku “Cerpen Pilihan Kompas.” Ia bekerja sebagai pengajar filsafat di sebuah PTS. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu (2015). Damhuri juga dikenal dengan tulisan-tulisan esai budaya dan resensi buku di berbagai media. Lahir di Padang 1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!