Oleh Muhammad Khambali (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)

The Storied Life of A.J. Fikry (Kisah Hidup A.J. Fikry) ilustrasi Google
Kita senantiasa menjumpai novel-novel yang berkisah tentang buku. Dari The Savage Detectives karya Roberto Bolano, Un viejo que leia historias de amor (Luis Sepulveda), hingga La casa de papel (Carlos Maria Dominguez). Bagi pencinta buku, novel-novel tentang buku sangat menggoda. Pencinta buku lekas kepincut oleh novel yang menghadirkan buku sebagai latar, dengan tebaran kutipan buku-buku karangan penulis terkenal, dan bertokohkan seorang pembaca buku.
Agaknya hal itu pula yang menjadi strategi Gabrielle Zevin saat menggarap novel The Storied Life of A.J. Fikry. Dalam novel ini, kita akan menjumpai cara lain Zevin memikat pembaca melalui penyebutan buku dan nama pengarang dunia, seperti A Farewell to Arms (Ernest Hemingway), A Perfect Day for Bananafish (J.D. Salinger), dan The Great Gatsby (Scott Fitzgerald). Meski Zevin mengakui bahwa gagasan menulis novel ini muncul dalam sebuah perjalanan bersama Mark Gates—seorang wiraniaga untuk penerbit ternama Farrar Straus Giroux—dalam suatu tur bukunya.
Novel tersebut berkisah tentang A.J. Fikry, pemilik toko buku independen di Pulau Alice, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia tinggal di apartemen di atas toko bukunya. Depresi lantaran istrinya meninggal, Fikry menjadi penyendiri, menjauh dari orang-orang, dan gampang tersinggung dalam perkara buku. Lewat Fikry, Zevin menyodori kita tokoh seorang pembaca buku yang sinis, dengan cara pandang kuno, dan angkuh terhadap sejumlah buku: “Aku muak terhadap novel-novel karya bintang televisi realitas yang ditulis penulis bayangan, buku foto selebriti, memoar olahraga, edisi dengan sampul poster film, barang-barang koleksi, dan—kurasa ini tidak perlu dikatakan lagi—vampir.”
Meski seorang penjual buku, Fikry digambarkan sebagai pembaca yang amat kritis dalam memilih buku-buku untuk dijual. Bukannya menyediakan buku sesuai dengan selera pembeli, ia hanya menjual buku yang diminatinya. Akibatnya, toko itu kekurangan pembeli; penjualan semakin merosot; dan puncaknya saat buku langka dan mahal, yakni kumpulan puisi Edgar Allan Poe, Tamerlane, miliknya dicuri.
***
Toko buku A.J. Fikry adalah toko buku satu-satunya di sebuah pulau kecil. Sebelumnya, tidak ada toko buku di kota kelahirannya itu. Ide mendirikan toko buku ini bermula dari percakapannya dengan Nic, istrinya. Saat itu Fikry merasa frustrasi untuk menyelesaikan disertasinya tentang penggambaran penyakit dalam karya-karya Edgar Allan Poe. Nic berkata, “Ada cara-cara yang lebih baik dan bahagia untuk menjalani kehidupan literatur.” Mengikuti saran istrinya, Fikry memutuskan membuka toko buku dan menamainya Island Books.
Bagi Fikry dan istrinya, suatu kota tidaklah lengkap tanpa toko buku. Keterkaitan toko buku dan kota dapat kita jumpai pula misalnya dalam novel Nina George yang telah diterjemahkan dengan judul Toko Buku Kecil di Paris (2017). Monseur Perdu, tokoh utama novel, adalah pemilik sebuah toko buku apung Literacy Apothecary di Sungai Seine, Paris. Toko buku Apotek Kesusastraan Jean Perdu demikian istimewa karena Perdu bukan penjual buku biasa. “Aku menjual buku seperti obat.” Perdu menyebut dirinya apoteker literatur.
Layaknya seorang apoteker, Perdu meresepkan novel-novel kepada pembelinya sebagai obat untuk meringankan kegalauan hidup warga Paris. Menurut Perdu, tugas penjual buku bukanlah semata-mata menjaga barang jualannya. “Aku ingin mengobati perasaan yang tak diakui sebagai penyakit dan tak pernah didiagnosis dokter,” kata dia. Untuk pengobatan, Perdu memakai buku-buku karangan penulis terkenal, seperti Miguel de Cevantes, Hermann Hesse, Franz Kafka, Gorge Orwell, dan Mark Twain.
Kedua novel sama-sama memandang buku bukan semata bahan bacaan. Bagi Fikry maupun Perdu, kehadiran toko buku di sebuah kota tidak hanya penting secara spasial maupun edukasi, tapi juga bermakna sosial dan psikologis bagi orang-orang. Seperti dikatakan seorang pasien Perdu bahwa dia lebih menghargai buku ketimbang manusia. Menurut dia, buku tidak semengancam manusia. Maka Fikry seakan menegaskan pendapat itu, “Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian.”
Lewat novel tersebut, kita dapat berkaca mengenai makna toko buku. Selama ini kita masih menyangsikan keterkaitan buku dengan tata kota. Geliat modernitas tidak dibarengi dengan kemunculan toko buku di sudut-sudut kota. Kecuali toko buku raksasa Gramedia, ingatan kita tentang toko buku selalu berkisar tentang kios-kios buku loakan yang menjual buku-buku bekas dan bajakan di dekat stasiun, pasar, dan pinggiran jalan. Kehadiran toko buku dianggap tidak penting. Kota-kota belum menjadi cerminan kegembiraan membaca buku. Toko buku selalu kalah pamor ketimbang pusat belanja.
Zaman terus bergerak dan segalanya beralih serba digital, termasuk buku. Orang-orang semakin malas ke toko buku saat buku cetak perlahan berganti ebook dan membaca buku dapat dilakukan dari layar telepon seluler. Persis seperti yang kerap direnungkan Fikry bahwa semua hal terbaik di dunia sedikit demi sedikit lenyap bagaikan lemak dari daging. Pertama, toko kaset; kemudian toko video, surat kabar, dan majalah; dan sekarang toko buku mulai menghilang dari segala penjuru.
Judul : The Storied Life of A.J. Fikry (Kisah Hidup A.J. Fikry)
Penulis : Gabrielle Zevin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : 280 halaman
Muhammad Khambali, pembaca buku dan pegiat di Pustaka Kaji, Jakarta.
Leave a Reply