Oleh Aris Setiawan (Koran Tempo, 07-08 April 2018)
Dari air bermuaralah cerita. Dunia bahkan memperingati Hari Air (World Water Day) tiap 22 Maret untuk menawarkan cerita tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia. Misi penyadaran kemudian dibentangkan: kelolalah sumber-sumber air bersih secara berkelanjutan. Hal itu juga yang terjadi pada 22 Maret lalu.
Dari air, kita dapat menemui pelbagai kisah yang tak semata menarasikan tentang hidup dan mati, tapi juga kemanusiaan, kultural, harga diri, toleransi, kapitalisme, dan liberalisme. Buku berjudul Ngombe (Minum) ini berusaha membingkai kisah air dalam pelbagai perspektif, dalam 18 artikel, dalam pelbagai makna.
Tulisan Tri Winarno yang berjudul Air Wedang dan Minuman Kemasan (hlm. 35), misalnya, berkisah tentang nilai-nilai menenggak air yang dalam bahasa Jawa disebut dengan “wedang”, berasal dari kata agawe kadhang yang berarti “membuat persaudaraan”. Wedang tidak saja berwujud air putih, tapi juga dapat diolah menjadi kopi dan teh. Di Jawa, meminum wedang berarti mengkultuskan eksistensi kekerabatan dan kebersamaan yang erat.
Wedang juga menjadi perantara pelbagai obrolan seru dan menarik. Pilihan itu tidak didapat dari air kemasan. Kendati iklan-iklan senantiasa memberi pancingan menarik agar meminum air kemasan, nilai-nilai tentang keakraban di Jawa terlalu sulit untuk digapai. Meminum air kemasan semata bermisi memuaskan keinginan diri dari rasa penasaran. Terlebih terdapat beraneka warna dan rasa. Kita melupakan keinginan minum untuk melepas dahaga dan melanjutkan hidup, tapi mengejar rupa-rupa rasa dan warna. Hasrat itu sering kali justru menjadi pemantik bagi timbulnya pelbagai macam penyakit karena kandungan bahan kimia, gula, dan pewarna yang ada di dalam air kemasan.
Lebih jauh, M. Taufik Kustiawan lewat tulisannya yang berjudul Sirup dan Ramadhan (hal. 72) mengisahkan tentang air pada bulan Ramadan. Air pada bulan mulia ini adalah suguhan yang bermetamorfosis menjadi iklan-iklan sirop dalam layar kaca. Salah satu iklan menekankan bahwa kemenangan Ramadan hanya dapat dinikmati dengan manisnya mencecap sirop. Terlebih dalam suasana puasa, di layar kaca, sirop disajikan dengan menggoda, dingin dan segar, membuat diri ingin segera meminumnya ketika berbuka.
Ramadan menjadi bulan tentang pengekalan air dalam wujud yang berbeda. Air putih menjadi tidak menarik, tak berasa, hambar, dan terlalu biasa. Sirop kemudian menjadi suplemen penting yang kehadirannya tak dapat ditiadakan kala Ramadan. Misi puasa dengan menahan lapar dan haus semata digunakan sebagai jembatan agar hasrat menikmati sirop dapat berlangsung secara puncak, total, dan paripurna.
Kita juga dapat melihat kisah air dalam tulisan Sarah yang berjudul Minuman dan Religiositas (hlm. 103). Tulisan Sarah menjadi oasis yang mengingatkan betapa pentingnya air sebagai penyambung doa-doa. Air adalah ruang di mana imajinasi tentang Tuhan diguratkan. Bagi orang Jawa, air dengan campuran bunga wajib dibawa ketika mengunjungi makam leluhur. Air itu disiramkan di kuburan, meretas segala doa dengan harapan arwah nenek moyang kembali segar dan penuh limpahan berkah.
Cerita itu mengingatkan pada “keajaiban” air yang tercelup batu milik Ponari, bocah desa asal Jombang, yang menghebohkan publik beberapa waktu lalu. Air-air yang tercelup batu itu dianggap memiliki khasiat yang mujarab untuk menyembuhkan tubuh dari segala sakit dan luka. Ribuan orang antre membawa air dalam botol. Kendati terlihat artifisial, kisah air dan batu Ponari mengajak kita untuk berkontemplasi tentang nilai air dan kesembuhan.
Kita juga melihat sejarah Islam berhubungan erat dengan air bernama Zam-zam. Air itu mengingatkan ihwal kebesaran kuasa Tuhan. Zam-zam menjadi simbol yang mengkultuskan hubungan yang begitu intim dan penting antara air dan agama. Bahkan, di beberapa tempat yang dianggap keramat, air menjadi barang yang dicari. Di Jakarta, kita dapat menjumpai air berkhasiat di Makam Mbah Priok, begitu juga di Surabaya pada Masjid Sunan Ampel. Belum lagi tentang narasi-narasi kesucian air pada sendang-sendang dan telaga di lereng-lereng gunung dan tepian hutan. Kita sering mendengar cerita mistis makhluk penunggu sendang atau sumber air. Makhluk transenden itu jika dimaknai lebih jauh adalah sebentuk upaya dari masyarakat agraris dalam menjaga kemurnian dan kejernihan air dari perilaku buruk manusia yang merusak alam.
Air-air itu dijaga demi kelangsungan hidup dari generasi ke generasi. Sayangnya, hari ini kita melihat peristiwa-peristiwa transenden itu dalam kuasa salah-benar dan halal-haram. Sendang-sendang, telaga, dan sumber air dirusak untuk mendekonstruksi mitos dan dongeng-dongeng kuno tentang jin-jin penunggu. Sampah-sampah begitu mudah dijumpai, menumpuk dalam kubangan air, sungai, dan laut. Pada hari ini, kita kehilangan kisah tentang sakralitas dan kesucian air yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Padahal ikhtiar dan upaya mereka dalam menjaga sumber-sumber air telah terlebih dulu eksis dibanding hasrat membuat hari untuk air (Hari Air Dunia).
Penghormatan tentang air tidak semata dengan cara menjaganya, tapi juga membaca kisah-kisah tentangnya dan mendalami maknanya. Buku Ngombe dapat menjadi pemantik yang menarik sebagai ruang perenungan dalam memaknai air, tak hanya sebagai pemuas dahaga, tapi juga narasi tentang pelbagai episentrum kehidupan manusia. Dengan demikian, di setiap Hari Air Dunia kita akan lebih menghargai tentang nilai hakiki dari apa yang disebut: air.
JUDUL : Ngombe
PENYUNTING : Udji Kayang Aditya S.
PENERBIT : Bilik Literasi
CETAKAN : 2018
TEBAL : 164 Halaman
ISBN : 978-602-6645-21-0
Aris Setiawan, esais, pengajar di ISI Surakarta.
Leave a Reply