Cerpen, Fandrik Ahmad, Kompas

Slerok

1
(1)

Ia berpesan, jangan dikubur di tanah wakaf. Sebagaimana kata wakaf, siapa pun boleh dikubur di sana. Tak perlu merogoh kocek sekadar penebus sekotak lubang kematian. Tidak. Ia ingin berbaring di tanah sendiri.

“Tak ada yang lebih merdeka selain mati di atas tanah sendiri,” tukasnya. Namanya Pak Mat, tinggal di Slerok [1]. Sebuah perkampungan di kaki Gunung Raung. Bagian dari Pegunungan Ijen. Pemisah dua kabupaten di ujung timur tanah Jawa: Jember dan Banyuwangi. Lelaki berkulit besi tua itu seorang petani rajin dan ulet.

Mengembala ternak menjadi selingan pekerjaan. Saya sering mengambil bagian dari pekerjaan ini. Hampir pasti semua petani memiliki ternak. Terutama sapi.

“Aku selalu berdoa semoga anak cucuku dapat menggarap ladang dengan baik. Tetapi takdir berkehendak lain. Harapanku hanya ada pada Wulan. Dan Tuhan sudah mengambilnya,” tukasnya mengenang kepergian anak semata wayang.

Penyuka semur keong besusul dan oseng pakis itu harus mengakhiri hayat di ujung jarum infus. Keranjingan semur keong besusul membuat tubuhnya digerogot kolesterol. Menjelang sekarat, yang bercokol di batok kepala kami hanya sekotak ladang untuk dijual. Biaya pengobatan sangat tinggi untuk ukuran kelas teri. Sekotak ladang paling masuk akal sebagai penebus kesehatan.

“Pantang petani menjual tanah. Tanah adalah warisan. Menjual berarti mengkhianati leluhur. Tanah adalah titipan. Karena tanah ini banyak darah bercipratan. Mati di ujung laras,” tukasnya berkaca masa lalu.

Kami pun tak punya nyali menjual tanah. Ia sudah membuat pilihan sekarat di ujung ajal. Ada kebanggaan bersinar di kelopak matanya. Seolah ia melakukan mati dengan cara yang sangat mulia.

Sejatinya saya hanya pendatang. Seorang relawan. Pak Mat menyilakan saya tinggal bersama keluarganya. Saya berbagi kamar dengan Wulan, salah satu murid saya. Sayang, detak nadinya berhenti di tahun kesembilan dari hitungan napas pertama. Wulan menyerah di ujung penyakit lupus. Seorang murid cerdas dan periang. Pembara semangat luar-dalam.

Saya hampir jatuh. Pertahanan terbang. Harapan menjadi abu. Sampai terbersit di pikiran untuk jauh meninggalkan Slerok. Apa yang perlu dipertahankan bila mimpi-mimpi sudah lari?

Namun senyum cerlang Wulan dengan segala keterbatasannya membuat perasaan meninggalkan anak-anak Slerok seperti tamparan keras. Sakit sampai ke palung paling hitam. Bayangan Wulan kerap bercokol di pucuk Raung. Melambai-lambai. Sebentuk sapaan saat mentari sorong mengecup kening bumi atau saat senja menutup hari.

Jika saya tak empati pada sekolah dasar, tempat Wulan dan anak kampung Slerok merajut asa, barangkali kaki ini sudah jauh berpijak. Meninggalkan kesiur angin beraroma dingin. Meninggalkan kemilau embun di ujung ilalang. Meninggalkan malam yang selalu basah.

Sekolah itu saya temukan mati suri. Dua tahun lamanya. Sekolah yang diabaikan pemerintah. Bangunannya serba sirap. Hanya ada dua ruang. Satu ruang diisi tiga rombel: kelas satu, dua, dan tiga. Satu ruang lagi untuk kelas empat, lima, dan enam.

Baca juga  Satu yang Hilang

Tak ada yang mau mengajar di sana. Jalan terjal, akses yang sulit. Hanya petugas perhutani yang kerap terdengar di ruang kelas yang sering kosong itu. Itu pun seminggu sekali. Seorang teman, salah satu anak petugas perhutani, meminta saya bersamanya mengajar di sana. Menghidupkan kembali sekolah itu.

Namun suatu hari, yang sejatinya tak sanggup dan tak ingin saya ingat, ia menghilang dan tiba-tiba muncul dengan seorang lelaki yang sudah enam tahun mengikat janji dengan saya. Ia datang hanya berpamitan. Selebihnya saya anggap hanya pengkhianatan.

Saya mesti banyak belajar cara berdamai dengan masa lalu. Toh, masa lalu bukan untuk dihukumi, melainkan sebagai cermin langkah selanjutnya. Saya memilih tetap bertahan. Melupakan segala hal yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga.

Ada dua hal yang tak ingin saya lewati, yaitu ketika mentari mengintip dari balik gunung dan ketika perlahan merangkak menjauhi kampung. Gunung Raung, dengan segala misteri yang tersimpan, tampak menjadi permata berkilau. Air jernih mengalir menggoda mata. Ikan-ikan berkecipuk manja. Pepohonan pinus berjejal rapi. Gugusan awan menari di atas kaldera.

Saban pagi sepasang kerbau harus saya tambat di pematang sebelum mengajar. Menyaksikan ingar-bingar kampung Slerok.

“Perempuan kok mengembala kerbau. Harusnya memasak di dapur. Daya tarikmu akan berkurang, Duk.” tukas Pak Mat, suatu ketika.

“Apakah ada larangan dalam adat perempuan mengembala kerbau?”

“Pantasnya perempuan itu di dapur. Istri yang jago masak adalah dambaan suami.”

“Ibu jago masak, ya, Pak?”

“Ibumu cantik karena jago masak,” kami berdua tertawa.

“Jadi, kalau tidak jago masak, ibu jelek, begitu?”

Tiba-tiba tawa kembali lepas sendirinya. Memberi isyarat tak perlu jawaban.

Pak Mat dan istrinya menganggap saya sebagai anak sendiri. Begitu sebaliknya. Di sini, di keluarga ini, banyak kenyamanan yang lebih saya dapatkan daripada keluarga sendiri. Tak ada pertengkaran, kebohongan, kesibukan, dan rasa egois yang kerap saya temukan di meja keluarga di kota. Tak ada kamuflase. Tak ada.

Saya sering membantu mereka berladang. Kontur tanah yang subur membuat kampung Slerok cocok ditanami aneka jenis tanaman. Penduduk kampung suka menanam padi, tembakau, dan cabai. Saat letih menghampiri, kami istirahat di pondok bambu, menikmati secangkir kopi dan rebusan singkong yang digali dari kebun sendiri.

Pada mulanya saya tak sepaham dengan jalan pikirannya. Sempat berpikir bahwa lelaki cungkring ini tipikal petani yang tak mengerti perubahan. Ketika sebagian petani beralih pada pupuk olahan dan traktor sebagai alat membajak, pupuk kandang dan sepasang kerbau tetap menjadi andalan.

Baca juga  Panggung Sisyphus

“Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan oleh pupuk berbahan kimia. Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa kesakitan dibajak kasar dengan baja,” tukasnya.

“Bukankah teknologi mempermudah segalanya? Tanah yang seharusnya dibajak tiga hari menjadi hanya sehari. Sungguh, saya sama sekali tak tertarik dengan cara bertani seperti itu. Sekarang ini kita hidup di dunia yang serba instan.”

“Bertani itu tak jauh berbeda dengan bercinta.”

“Maksudnya?”

“Tidakkah berpikir betapa mesin itu telah merampas pekerjaan petani? Lihatlah! Pak Murtaep sering menganggur karena tak ada yang mau menggunakan jasa sepasang kerbaunya.”

Sepertinya ada ilmu baru yang saya dapatkan. Sebuah filosofi bertani yang tak pernah diajarkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Rasanya belajar bertani kepadanya juga belajar bagaimana mencintai tanah air.

“Setiap keringat yang jatuh saat bekerja adalah kenikmatan. Sesuatu yang istimewa itu tidak lahir secara instan,” tukasnya.

***

Benih-benih tembakau menghijau sambut kemarau. Nicotiana tabacum itu dikenal sebagai komoditas utama sektor pertanian. Ikon kualitas tembakau daerah Jember. Daunnya bercorak macan tutul bila sudah kering. Aromanya khas. Tak sulit membedakan dengan tembakau lain.

Sesuai permintaan, Pak Mat dikubur di sudut bagian barat ladang miliknya. Saya dan ibu selalu menyempatkan diri mengirim simpul-simpul tawasul untuknya sebelum menggarap sebidang tanah peninggalan.

Perempuan uzur itu bercerita. Betapa suaminya sama sekali tak pernah menanam tembakau. Saya terenyak. Heran.

“Hasil panen seharusnya dinikmati sendiri, bukan dijual kepada orang luar,” tukas ibu menyadurkan cerita pada riwayat bapak.

“Bukankah bertani merupakan ladang penghasilan utama, sebagaimana pedagang dengan ladang usahanya?”

“Tembakau bukan makanan. Tentu semuanya langsung dijual. Tak mungkin menyisakan sebagian untuk dimakan sendiri atau dan berbagi dengan tetangga.”

“Menjual untuk membeli rasanya sah-sah saja. Sekarang har ga sayuran murah. Modal pasti sulit kembali. Bagaimana mungkin bertani dengan cara yang sudah bisa dipastikan merugi?”

Mukanya yang keriput menarik senyum yang masih tersisa. Matanya yang hampir mengabur berkaca-kaca pada sebuah gundukan tanah di mana suaminya disemayamkan.

“Siapa yang bilang merugi? Hal paling membahagiakan bagi kami ketika bisa berbagi basil panen dengan petani lain. Lumbung tak pernah kering. Tak punya uang, kita masih bisa makan. Hampir semua yang tumbuh bisa kita makan. Tuhan sudah terlalu murah untuk kita.”

Seperti inikah bentuk patriotisme petani?

“Duk, ini wasiat Bapakmu. Dengarkan! Jika kau sudah menemukan jodohmu dan tak pernah memiliki niat meninggalkan kampung ini, maka semua tanah ini kami serahkan kepadamu.”

Mata itu tampak memberi keyakinan. Sorong penuh harap. Lalu ibu menatap lekat pada nisan. Pada gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput kecil. Mata itu sudah tak sejernih asalnya, tetapi masih seperti gravitasi yang dapat menyerap segala keraguan.

Baca juga  Mereka Cuma Ketawa

“Saya belum siap.”

“Alam senantiasa setia mengajari kita.”

Sekawanan burung bangau terbang ke peraduan. Angin berdesir pelan. Senja merangkak semakin jauh. Matahari membulat serupa kuning telur gosong.

Kami menuruni jalan setapak. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanaman pakis di sepanjang tebing menguning oleh sapuan senja. Setenteng singkong dalam genggaman. Lepas pandangan ke arah Timur, pohon pinus berderet kokoh seurut bidang tanah yang memiring.

Semua berjalan alami tanpa polesan. Hijau daun, tanah subur, air jernih, udara sejuk dan kicau merdu. Pandangan itu mengingatkan saya pada sebuah bait puisi. Inikah cipratan surga yang bocor itu? [2]

Ah, saya jatuh cinta dengan kampung ini. Tak ingin pulang ke masa lalu. Apa pun itu.

“Saya ingin jago masak agar tampil cantik seperti Ibu. Maukah Ibu mengajari saya cara memasak yang baik dan benar?”

“Siapa yang bilang ibu cantik?”

Ada simpul senyum terkembang. Saya yakin senyum itu bukan karena pujian. Senyum itu ingin menebak kebenaran dari sebuah jawaban. Ia sudah tahu jawabannya. Sementara saya tetap menjawab sekadar untuk menggodanya.

“Bapak.”

“Hem, tumben. Kau tidak sedang jatuh cinta, bukan?”

Saya tersipu. Semoga ia tidak menangkap rona merah muda, karena membayangkan seorang lelaki muncul dari balik senja, suatu ketika, yang entah kapan lelaki itu benar-benar datang menemui saya. ***

(Dedikasi untuk keluarga alm Ribut Sri Wulandari)

Catatan:

[1] Potongan kisah lain tentang Slerok sudah dipublikasikan di sebuah koran minggu terbitan Jakarta, 6 Juli 2014.

[2] Emha Ainun Najib dalam syair Ilir-ilir.

Fandrik Ahmad, jurnalis dan cerpenis. Lahir di Jember, 29 Juli 1990. Alumnus INSTIKA, Madura. Menulis di sejumlah media. Bukunya antara lain antologi cerpen Lembaran yang Hilang (KCN: 2010), kontributor pada buku Sungguh, Aku Mencintaimu karena Allah (Qultum Media, Jakarta 2011), dan antologi cerpen Panggil Aku Haura (CMA: 2012), Novel Asmara Anak Asrama (2010).

Galung Wiratmaja, lahir di Sukawati, 31 Mei 1972. Menempuh pendidikan di PSSRD Universitas Udayana Denpasar. Menerima penghargaan dari Yayasan Seni Rupa Indonesia (2000), Museum Der Weltkulturen Germany (2006), dan finalis Mandiri Art Award (2015). Galung telah melakukan pameran tunggal tahun 2006 dan 2007 di Bali serta puluhan kali pameran bersama.

Loading

Average rating 1 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!