Buku, Khoimatun Nikmah, Lampung Post

Perempuan Melawan Stigma Lemah

0
(0)

Oleh Khoimatun Nikmah (Lampung Post, 13 Mei 2018)

Neng Koala ilustrasi Google.jpg

Neng Koala ilustrasi Google

SALAH satu concern dan ciri kemajuan sebuah bangsa ialah ketika perempuan dan laki-laki memiliki hak sama dalam segala hal. Pekerjaan, pendidikan, termasuk perlakuan di masyarakat. Dicontohkan oleh RA Kartini dengan semangat emansipasi, bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya dalam menentukan hidupnya sendiri. Termasuk dalam hal pendidikan.

Meski tidak sedikit, pertanyaan-pertanyaan bernada merendahkan dan mengingatkan kodrat perempuan. Apalagi bila perempuan harus memilih untuk sekolah di luar negeri, jauh dari pengawasan orang tua, dituntut kemandirian. Ngapain jauh-jauh sekolah ke luar negeri? Apa tidak takut sendirian di negeri orang? Kira-kira dua pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang kerap dilontarkan bila perempuan berniat menuntut pendidikan lebih tinggi di luar negeri.

Namun tidak dengan kisah Melati dan teman-teman dalam buku Neng Koala. Dari judulnya saja, kita sudah dapat menebak bahwa buku ini akan berkisah tentang perempuan-perempuan superpemberani dan inspiratif yang menerabas batasan dan kemudian belajar di luar negeri, yakni Negara Koala, Australia.

Ellis, salah satu perempuan dalam buku ini, menuturkan keinginannya sekolah ke Australia awalnya ditentang oleh ayahnya. Bukan karena khawatir, melainkan karena masalah ekonomi.

“Kalau Papa kirim kamu belajar ke Australia, konsekuensinya adik-adikmu tidak kuliah,” kata ayah saat Ellis bilang mau kuliah di luar negeri, selepas lulus SMA.

Dengan berat hati, gadis berusia 16 tahun itu pun melepas bayangannya untuk sekolah di Negeri Kanguru. Brosur-brosur kampus di Australia yang digenggamnya, dia tatap lekat-lekat.

Kisah Ellis menjadi kisah pembuka dari buku Neng Koala. Perempuan memiliki peran ganda yang dapat dikatakan berlipat dibandingkan laki-laki. Terlebih ketika seperti Ellis dan Melati, yang menuntut ilmu di Australia. Mereka adalah pelajar, sekaligus ibu, sekaligus istri, bahkan bisa jadi juga masih sebagai pekerja/karyawan. Sebuah beban yang tidak ringan.

Baca juga  Bunga Lima Warna

Kadang tumpang-tindih peran ini menimbulkan banyak dilema dan pilihan yang sama-sama susah. Misalkan kisah Nadia yang harus memilih mengurus keluarga atau melanjutkan kuliah.

“Saat itu saya sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia dua tahun yang sedang lucu-lucunya,” kata Nadia.

Meski belum dapat gambaran akan seperti apa, suami dan ibu mendukung Nadia untuk tetap melanjutkan niatnya kuliah, berbekal beasiswa dari ADS. “Jalani saja. Ada Mama. Anakmu akan baik-bak saja,” begitu sang ibu memotivasi Nadia.

“Anak kok ditinggal? Jangan egois. Nanti dapat mama baru loh. Nanti pulang, anakmu enggak mau sama kamu loh,” begitulah segelintir omongan orang saat tahu dia lulus dan mendapatkan beasiswa.

Dengan berat hati Nadia harus meninggalkan anaknya di Tanah Air. Belum lagi cobaan datang ketika ibunya masuk ICU dan kritis. Terpaksa Nadia harus pulang lebih dahulu ke Tanah Air, padahal dia baru masuk semester pertama di Australia.

Jika Nadia terpaksa meninggalkan buah hatinya di Tanah Air, Efalia Lumban Gaol nekat membawa serta Billy, anaknya yang baru berusia satu setengah tahun ke Canberra. Sebelum merealisasikannya, Efalia melakukan survei singkat selama enam bulan pertama dan berusaha mencari tahu dukungan fasilitas yang tersedia di Australia, untuk anak-anak.

Lain lagi dengan kisah Sri Murni. Menjelang keberangkatannya ke Canberra, dia terganjal oleh pemeriksaan kesehatan. Hasil laboratorium menyebutkan dia tengah berbadan dua, dengan usia kandungan sekitar empat minggu. Sri akhirnya tidak bisa melakukan x-ray paru sebagai bagian dari syarat pemeriksaan kesehatan.

Butet Manurung, Direktur SOKOLA yang juga alumnus Australian National University, mengatakan keinginan para perempuan untuk tetap melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang tertinggi bukan bermaksud untuk melampaui laki-laki. Pun bukan untuk meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai ibu dan istri di rumah.

Baca juga  Laba-Laba yang Disiplin

Gaya betuturnya membuat pembacanya bisa dengan mudah memahami situasi yang terjadi. Meskipun kisahnya sebelas dua belas miripnya, tetap saja ada yang unik pada setiap kalimat yang dituturkan. Secara keseluruhan, buku ini memberikan perspektif lengkap suka duka perburuan beasiswa dan realitas kehidupan sehari-hari para mahasiswi Indonesia di Negeri Koala.

Sekaligus menebalkan pesan bahwa perempuan tidak bisa selalu dianggap lemah, di baris nomor dua di belakang laki-laki, kemudian tidak berambisi kuat dalam meraih pendidikan tinggi. Pendidikan hak semua bangsa dan jenis kelamin, termasuk perempuan.

 

JUDUL : Neng Koala

PENULIS : Melati, dkk

TERBIT : Cetakan pertama, April 2018

PENERBIT : Gramedia Pustaka Utama

HALAMAN : XX + 254 halaman

ISBN : 9786020384009

 

Khoimatun Nikmah, Mahasiswi Teknik Sipil Universitas Semarang.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!