Nevatuhella, Resensi, Waspada

Borges, Biografis, Fantastis

3.5
(4)

Buku ini adalah karya terakhir Jorge Luis Borges sesudah ia beberapa kali dinominasikan sebagai penerima Nobel. Memuat 13 cerpen, yang menurut Borges dalam pengantar, berisi variasi dari berbagai tema favoritnya. Menggabungkan gaya sederhana dan menggunakan bahasa sehari-hari dengan alur yang fantastis.

Apa yang dimaksud gaya yang sederhana menurut Borges, bukan sebuah kesederhanaan umum. Sebaliknya sederhana atas kepiawaian Borges mengolah pikirannya berupa imajinasi dan realitas yang terjadi disekelilingnya––sebagai orang biasa dan intelektual.

Tema-tema favorinya termaktub di kumcer ini. Yang paling sangat biografis, menurutnya adalah Kongres. Berisikan kisah seorang peternak sukses Uruguay yang gagal menjadi orang nomor satu di negerinya. Ia berinisiatif mendirikan saja sebuah negara tanpa rakyat––hanya ada kongres—dan ia presidennya, presiden kongres.

Tak tanggung-tanggung, ia menyebut kongres atau parlemennya sebagai Kongres Dunia. Ia mengundang anggota dari seluruh dunia, mewakili semua profesi.

Demikianlah adanya, Borges menjadi salah seorang anggota kongres yang awal-awalnya sangat tidak diperhitungkan. “Ferri bisa menjadi wakil dari para gringos,” sindir orang-orang dekat Glencoe (hal. 25).

Apalagi selalu duduk di kiri dan sebelah kanan sang presiden, Don Alejandro Glencoe ada dua orang yang sangat-sangat menentukan berbagai keputusan. Yang seorang keponakannya, yang seorang lagi, laki-laki berhati sangat busuk dengan tubuh kurus jangkung––panglima talamnya––bernama Twirl.

Nama yang tidak cocok untuk seorang pahlawan apalagi pemuka agama. Kalau nama Borges sendiri, ia memilih Alejandro Ferri, nama yang menggemakan suara peperangan dan keagungan. Dan memangnyalah dalam organisasi ini, hanya Ferri dan seorang temannya penyair yang menjadi tokoh jujur yang sebenarnya dekat di hati Glencoe.

Ada sedikitnya 25 nama-nama, psikolog, politikus, seniman dan profesi lainnya yang mendukung Kongres. Cerpen seperti sebuah penyelenggaraan konser musik atau pertunjukan drama kolosal.

Baca juga  Bilal Mayat di Kuba

Pendek cerita, Glencoe, sang presiden Kongres akhirnya gila. “Dimabukkan atas kemenangan, dia membanjiri kami dengan ketetapan hati dan keyakinan. Tak seorang pun—tak sedetik pun—yang berpikir jika dia gila…. Kongres adalah ternak untukku. Kongres adalah ternak milikku, yang telah kujual dan bermili-mil tanah yang bukan lagi milikku.” (hal. 39).

Judul : Kitab Pasir
Penulis : Jorge Luis Borges
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Oktober 2020
Tebal : vi + 118 halaman
ISBN : 978-623-6631-97-3

Dua belas cerpen lainnya juga juga cukup membuat Borges di tempat teratas dalam pecerpenan dunia. Bentuk konvensional dan kontemporer menjadi genetis bagi karya-karyanya.

Dengan permainan plot yang mencerdasakan. Borges tak punya beban––sekalipun ia sedang memprotes kekuasaan. Makanya hingga kapanpun cerpen-cerpen Borges ini akan abadi dan setiap orang akan penasaran untuk membaca dan menelitinya.

Seperti apa yang disebutkan beberapa kritikus sastra, bahwasanyalah sebuah cerpen, walau pendek, memuat detail-detail kehidupan alam dan makhluknya sebanyak mungkin. Apa yang tak diungkap sejarah.

Sang Liyan sebagai cerpen pembuka, tak kalah pikuk dengan Kongres. Sangat-sangat imajinatif. Maklum tema cerita adalah mimpi yang menjadi kolosal dengan berbagai alasan. Hingga sebagaimana dalam hampir semua cerpennya, Borges menarik berbagai ahli dan karya sastra dan pemikiran ke dalam karya-karyanya.

Cerpen Avelino Arredondo, sang pembunuh presiden ke17 Uruguay ialah cerpen sejarah yang berdarah. “Arrendondo menarik sebuah revolver dan melepaskan tembakan, Idiarte Borda mengambil satu atau dua langkah, terjatuh dan berkata dengan jelas, “Aku tertembak!” (hal. 102). Tak payah-payah membunuh seorang presiden yang berkhianat. Menariknya, kini di kota Montevideo, nama Arrendondo diabadikan sebagai nama jalan.

Buku ini ditutup dengan cerpen Kitab Pasir. Unik, menjebak dan filosofis. Apa yang tersirat dari cerpen ini, bahwasanya orang akan terus menulis. Halaman demi halaman akan dilupakan. Kitab pasir, sebuah kitab tak menentu. Halamannya hingga ribuan.

Baca juga  Secangkir Kopi di Depan Tugu Pahlawan

Setiap kali menutup sehalaman, jangan harap, mendapatkan halaman itu kembali. Sebagaimana pasir yang tercurah dari gegunungan, siapa mau memilih pasir yang sudah membumi, bahkan sudah ada yang berada di kamar kita. Menjadi unsur bangunan dinding atau lantai rumah kita. Bahkan, bisa pula berada dalam pencernaan seekor ayam kampung.

Membaca cerpen-cerpen Borges, membuat kita merunduk dan menginsyafi diri. Kita belum apa-apa, baik sebagai penulis dan selengkapnya sebagai pembaca. (*)

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!