Cerpen, Siti Maulid Dina, Waspada

Lebih Baik Ditampar Kejujuran

3.7
(3)

SEMUA bersorak menyanyikan kericuhan. Terdengar nada-nada berbeda di suatu daerah. Entah dari intro C, D, E, atau G. Terpenting nyanyian itu terus menggema. Sah.

Pengumuman itu diberitakan pada pagi dini hari. Aku tahu lelaki yang bakal jadi suamiku pun pasti ikut bernyanyi seperti mereka. Terlebih lagi ia seorang alumni mahasiswa yang kerap ikut dalam barisan pergerakan. Padahal, jauh sebelumnya perempuan itu sudah memastikan bahwa ini sudah berlangsung sejak zaman penjajahan seperti di lampirkan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia.

Ia juga sudah menyarankan agar sang kekasih banyak membaca teori. Memang, membaca memiliki makna cakupan luas. Tidak hanya membaca yang tersurat, melainkan tersirat juga. Tapi, pendahulu sudah duluan mengecapi rasa hingga mereka bisa menulis apa yang mereka rasai.

Maksudnya, tak ingin menggurui siapapun termasuk pembaca. Hanya sekedar mengingatkan bahwa kenali diri sebelum akhirnya membenci diri sendiri. Begitu pula sering dikabarkan padanya, namun ia terus menggebu bila rakyat terancam. Perempuan bernama Uli juga bingung, rakyat mana yang merasa terancam. Toh, dari dahulu rakyat hanya bisa menerima hantaman batu besar yang memukul hak hingga lebam.

Sudah berulang dikatakan padanya, jangan menggebu. Ia sudah mengingatkan, berhati-hati dalam organisasi. Bisa jadi sang kekasih dan teman lainnya dijadikan kuda untuk tunggangan atasan bernegosiasi pada lawan. Apa boleh buat, bila organisasi memiliki hierarki yang menyalahgunakan kekuasaan. Sama seperti pengkhianat.

Dimasukkan buku catatan untuk belanja persiapan pernikahan dengannya. Sang kekasih sudah berjanji menyiapkan semua keperluan resepsi pernikahan bersama Uli. Sejak masa pandemi, Uli sedikit lega. Sebab, sang kekasih banyak menghabiskan waktu bersama Uli bukan bersama adik-adiknya dalam organisasi. Pernikahan mereka tinggal menghitung bulan. Uli tak mau yang sudah dikonsep harus terbengkalai karena sesuatu hal sepele. Apalagi sang kekasih terlalu fanatik pada organisasi.

Uli meraba isi tas, mencari telepon genggam. Memeriksa pesan masuk dari aplikasi Whatssap, barangkali ia mengirim pesan agar bergegas lebih cepat. Tidak ada, satu pesan pun darinya tidak ada masuk. Tertanggal isi percakapan mereka tadi malam yang berjanji pergi ke toko souvenir pada pukul sembilan pagi. Sekarang, raja cahaya sudah beranjak dari timur, menerik seolah membakar kulit. Uli melirik jarum yang memutari tiga ratus enam puluh derajat di dinding kamar, menunjuk angka sebelas.

Baca juga  Mata Buta Mutiara

Huuu. Kemana dia?” Gerutunya dalam hati.

Uli menelepon Irawan. Namun tak ada jawaban. Ditelepon berulang kali, tapi tetap saja tak ada jawaban. Janjinya jam sembilan, sampai jam sebelas pun tak ada kabar. Tidak mungkin ia di perjalanan. Sedangkan jarak rumah Uli ke rumahnya hanya menghabiskan sekitar setengah jam.

“Apa mungkin masih tidur? Tidak, kalau masih tidur, biasanya teleponku dijawab walaupun lama. Lagian dia tak pernah ingkar janji.” Pikir Uli.

Dihempaskan tubuh di tepi ranjang. Memandang langit-langit kamar. Ia ambil ponsel layar sentuh, melampiaskan rasa kegaduhan dalam diri mengenai sang kekasih, dibuka aplikasi Facebook, dari atas sampai bawah beranda terdapat pemberitaan yang sama. Mengenai aturan baru yang mengancam kesejahteraan rakyat. Selaku kaum awam, Uli tak mengerti sandiwara apalagi yang diperbuat mereka di depan layar. Bisa jadi yang dilihat mereka melakukan objek A ternyata di balik layar melakukan objek B. Itu sebabnya perempuan berlesung pipi itu tak ingin mengambil pusing seperti orang-orang.

Belakangan, ia lebih memfokuskan diri pada buku-buku untuk menyiapkan bekal agar tak mau bergantungan pada dunia. Kelak, bisa menameng diri dari kekacau-balauan. Ini bukan berarti tindakan apatis, namun menjaga diri. Sebab, perlawanan apapun yang dibuat, hasilnya tetap sang penguasa memberi keputusan.

Saat Uli hikmat menyaksikan beberapa status orang dalam beranda Facebook, ada satu status yang membuat darahnya mendidih. Postingan adik di organisasi. Segera dilemparkan ponsel ke ranjang. Napas yang tak beraturan secepat mungkin diatur. Ia mencoba berdamai pada diri sendiri.

“Awas. Lihat saja nanti.” Ancamnya.

Pasti. Janji hari ini mengelilingi jalan Cirebon untuk mencari hadiah ucapan terima kasih dibatalkan. Ketimbang marah-marah tidak jelas di hadapan Mamak Bapak, maka ia lampiaskan tidur.

Baca juga  Catatan Kecil di Balik Foto

***

Tok tok tok, kreeekkk

Pintu kamar dibuka tangan lembut perempuan yang membesarkannya. Mamak melangkahkan kaki ke arah tubuh Uli yang tertidur pulas. Kekesalan diri membuat tubuh betah berbaring di atas ranjang tanpa sadar bahwa senja sudah mengintip dari balik jendela.

Nduk. Bangun. Sudah sore. Irawan sudah datang.” Bisik Mamak.

Mendengar namanya disebut, Uli memunggungi mamak. Buat apalagi menemui seorang pengingkar. Ia lebih memilih organisasi ketimbang pernikahan. Diacuhkan suara mamak. Uli memilih memeluk guling daripada bangun menemuinya.

“Bangun toh, Nduk. Udah sore. Kasihan Irawan dari tadi nunggui.”

Dari tadi? Sudah berapa lama ia menunggu. Apakah selama menunggu janjinya dari jam sembilan? Tanya Uli dalam hati.

Berhubung takut dimarahi mamak, terpaksa ia membangunkan raga. Duduk memandang mamak sambil mengucek mata. Hijab yang tadinya rapi, kini kusut akibat dibawa tidur.

“Yok, keluar. Jumpai Irawan.”

Uli langkahkan kaki mengikuti mamak dari belakang. Melewati lorong kecil menuju ruang tamu. Ia melihat Irawan tengah sibuk memainkan jari di atas layar ponsel. Mata sinis menatapnya tajam. Seolah Irawan, mangsa yang siap ditelan.

Mamak meninggalkan Uli di ruang tamu, perempuan separuh baya itu pergi ke dapur. Uli dudukkan badan di sofa, tepat di hadapannya. Lelaki bertubuh kekar itu mengernyit. Tak biasanya Uli duduk di hadapannya. Iya, selama ini Uli duduk di sampingnya. Perempuan itu membuang muka sambil melipat tangan di depan dada.

Irawan cepat mengangkat tubuh, berpindah duduk di samping Uli.

“Sayang, awak minta maaf ya.” Katanya.

Bibir Uli diam membisu, seperti ada perekat yang membuatnya enggan berbicara. Ia menggeserkan tubuh, membelakangi Irawan.

“Tadi, abang ada urusan keluarga sedikit.” Ujar Irawan.

Baca juga  Rumah Kopi Singa Tertawa

Hati perempuan itu membludak mendengar pengakuan Irawan. Padahal, sudah terbukti Irawan sedang berkumpul bersama adik-adiknya di organisasi. Uli membuka aplikasi Facebook, dicari nama adik yang membuat postingan ada Irawan dalam kumpulan yang membahas tentang peraturan baru yang disahkan. Peraturan tengah panas dinyanyikan masyarakat terutama mahasiswa yang bingung berjalan ke ranah mana selesai kuliah. Peraturan yang membuat kegelisahan mahasiswa yang merasakan kepedihan orangtua mereka selaku buruh.

Uli tahu betul perjuangan Irawan yang lahir dari rahim seorang buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit di kampung. Sudah pasti ada kegetiran dalam diri Irawan mengetahui peraturan yang sudah keluar. Ditambah lagi dengan nasib abangnya yang bekerja sebagai buruh harian lepas yang bakalan jadi karyawan tetap, namun khawatir keluarnya peraturan baru, ia takut abang dan keluarganya malah tidak sejahtera kehidupannya lantaran harus mengikuti peraturan.

“Urusan keluarga?” Tanya Uli sinis.

“Iya.”

Irawan berucap dengan ringan. Padahal sudah jelas ia tengah berbohong. Sedangkan Uli sudah mendidih darahnya. Perempuan itu menarik napas panjang, untuk mendamaikan diri. Ia tidak terima dibohongi dengan membawa label keluarga. Uli menyodorkan ponsel layar sentuhnya ke hadapan Irawan. Irawan menelan ludah melihat gambar yang ada di layar ponsel Uli. Ia tidak tahu adik di organisasi membuat postingan dan menandai akun Facebook Irawan.

“Dik, ini urusan keluarga. Keluarga abang semua bekerja sebagai buruh. Nasib keponakan abang ada di tangan buruh.”

Dengan kesal, Uli pergi meninggalkan Irawan di ruang tamu. Ia mengangkat tubuh dan melangkah. Saat Uli berjalan tiga langkah, ia menoleh sembari berkata, “Lebih baik ditampar kejujuran daripada diberi kasih sayang kebohongan.”

Siti Maulid Dina. Alumni Pendidikan Matematika UINSU Medan.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!