Cerpen, Hilmi Faiq, Pikiran Rakyat

Membincang Nasib

4.2
(13)

KETIKA jumlah orang yang tertular virus baru dua, orang-orang sibuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi di dalam rumah. Tentu saja sebelumnya memborong masker, pencuci tangan, dan pasokan makanan agar tak kelaparan dalam persembunyian. Mereka tak peduli yang lain tidak kebagian.

SEKARANG, ketika jumlah orang yang tertular virus mencapai ratusan ribu, orang-orang tak ada lagi yang sembunyi di rumah. Mereka bebas berkeliaran di mana saja, termasuk di pasar dan pusat hura-hura, dua tempat yang dulu mereka takuti karena menjadi pusat penyebaran virus. Jika ditanya mengapa mereka keluyuran, apakah tidak takut dengan penularan, jawabannya mereka hanya takut pada Tuhan.

Begitu sering kali kau ungkapkan kegelisahanmu kepadaku setiap kali kita bertemu. Entah lewat chat atau seperti sekarang ini, di restoran dengan meja bersekat. Katanya biar ludah kita tak mudah melompat-lompat. Ludah menjadi kendaraan penularan virus jahat. Tapi, dari sini, aku bisa dengan jelas menangkap air mukamu yang bersungut-sungut.

“Tuhan juga menciptakan buaya, singa, harimau. Apa mereka tidak takut hidup sekandang dengan mereka? Itu sama saja dengan membahayakan diri berkeliaran di tengah pandemi,” katamu dengan mata menyala dan urat leher menegang.

Aku tertawa ringan.

“Aku setuju denganmu. Seutuhnya. Tanpa ragu. Tapi, apakah semua orang harus setuju denganmu jika mereka juga tidak masalah ketika kau tidak setuju dengan mereka?”

“Bukan begitu. Ini soal hidup dan mati.”

“Jika mereka bertahan di dalam rumah, siapa yang menjamin kehidupannya?”

Kau yang semula duduk setengah bersandar kini membetulkan posisi dengan mendorong badan ke depan. Bola matamu diam menatapku dengan alis mengernyit. Aku menduga kau sedang mencerna kata-kataku yang tidak sepenuhnya kau mengerti. Atau, kau kaget dengan kata-kataku tadi.

“Maksudmu bagaimana?”

“Kau mungkin sedang naif. Tidak semua orang punya cukup tabungan untuk bisa membeli makanan dan di rumah rebahan. Banyak dari mereka bahkan tidak tahu harus makan apa hari ini.”

“Ini mestinya tugas pemerintah.”

Baca juga  Tetapi ...

“Dua kali kau naif. Kita sama-sama tahu, pemerintah tak berdaya dihantam virus ini. Berapa kali mereka mengambil langkah tolol. Mulai mengatakan kita kebal virus sampai membuat kalung antivirus.”

“Tapi, membiarkan diri masuk ke dalam kemungkinan tertular, bukankah itu juga ketololan?”

“Aku menduga, jika disuruh memilih, mereka lebih rela mati tertular virus daripada sembunyi di rumah dan mati kelaparan.”

“Kira-kira, cara berpikir bagaimana yang bisa menjelaskan semua itu?”

“Mereka itu seperti aku dan kau. Sama-sama percaya bahwa semua ini kehendak Ilahi. Kehendak Tuhan.”

“Bagaimana mungkin?”

“Sangat mungkin.”

“Maksudku, bagaimana mungkin Tuhan diam saja melihat manusia mati sengsara?”

“Tidak. Tuhan tidak diam saja. Dia sedang mematuhi hukum yang Dia buat sendiri.”

“Coba jelaskan padaku!”

“Kau tentu masih ingat tahun lalu ketika kita ke pasar burung, membeli seekor merpati dan melepaskannya ke udara. Apa yang terjadi dengan merpati itu?”

“Sore harinya dia kembali ke sangkar penjual burung.”

“Mengapa itu dia lakukan?”

“Mungkin karena merpati itu beranggapan nasibnya memang tinggal di sangkar yang sempit itu. Tidak ada lagi masa depan yang lebih baik di luar sangkar.”

“Nah, itu. Padahal, merpati itu sudah kita kasih kesempatan untuk mengubah nasibnya. Mungkin dia tidak menyadari itu dan lebih percaya pada anggapan bahwa nasibnya hidup di sangkar. Nah, orang-orang ini tidak ingin terkurung dalam arus itu. Mereka tidak ingin patuh di dalam rumah menunggu kematian datang. Mereka ingin mengubah itu dengan keluar rumah.”

“Hmm… menarik.”

“Menurutmu, mengapa kita harus bertemu di sini, hari ini? Karena kita saling merindui. Kita bosan berjauhan. Fisik kita mungkin aman di rumah saja, tetapi batin tersiksa. Maka, kita merancang rencana. Bertemulah kita di sini.”

Kau membetulkan anak-anak rambutmu yang jatuh. Aku selalu suka dengan gerakan khasmu itu. Ini yang membuatku rindu.

“Tapi, kita tetap patuh pada protokol untuk menghindari virus ini. Jadi, tidak masalah.”

“Mungkin iya. Tapi, kau juga perlu ingat, orang-orang yang kau tuduh keluar rumah dan berkerumun itu sebenarnya juga setia pada protokol. Protokol mereka sendiri.”

Baca juga  Elegi Mawar

Asyik berdiskusi, pesanan makan siang kita datang. Aku memesan burung dara goreng mentega, sementara kau pesan ayam goreng penyet. Restoran ini memang mempunyai kelebihan dalam mengolah makanan berbahan daging sejenis burung, seperti ayam dan burung dara yang gurihnya sampai ke tulang.

“Kau suka sekali gigit-gigit tulang burung dara. Memang enak?” tanyamu melihat ulahku yang bagimu memalukan.

“Barang siapa tidak suka menggigit ujung tulang belulang burung dara, sesungguhnya dia kehilangan setengah kenikmatan dunia.”

“Ha-ha-ha, gombal.”

“Ngomong-ngomong, jangan-jangan ini burung dara yang tempo hari kita beli di pasar itu.”

“Bisa jadi.”

Kau mulai menyusun belulang ayam goreng di tepi piring. Lalu entah apa yang ada di benakmu, kau mengambil salah satu tulang paling tambun, mungkin itu tulang paha. Lalu menggigit ujungnya.

“Enggak enak, ah,” katamu buru-buru meletakkan tulang itu.

“Lha, kan, itu bukan tulang burung dara, haha-ha.”

“Ngomong-ngomong, aku masih penasaran bagaimana kau bisa santai sekali melihat tingkah orang-orang ini?”

“Soal virus tadi?”

“Iya.”

“Coba perhatikan jam dinding di dekat kasir itu.”

Kau buru-buru menoleh seolah jam dinding itu segera hilang.

“Iya, kenapa?”

“Setiap jarum merah keliling satu putaran, jarum panjang hitam bergerak satu titik. Setiap jarum hitam panjang bergerak satu putaran, jarum hitam pendek pindah angka. Begitu seterusnya. Itu cara kerja jam dinding menandai waktu. Jika jarum merah tidak bergerak, jarum lainnya juga diam.”

“Terus apa hubungannya dengan orang-orang dan virus?”

“Begitulah cara Tuhan bekerja. Dia sudah menentukan hukum-hukumnya. Kalau boleh aku ibaratkan secara sederhana, Tuhan itu layaknya seorang pembuat jam. Dia tidak perlu lagi memutar setiap jarumnya untuk menunjukkan perubahan waktu. Cukup membiarkan prinsip-prinsip jam tadi berjalan begitu dihidupkan.”

“Aku masih belum bisa memahami secara utuh maksudmu.”

“Contohnya begini. Jika kita mendekatkan jari ini ke lilin yang menyala, dia akan melepuh. Jika jari ini aku taruh ke dalam es selama beberapa saat, dia akan beku. Jika mengirisnya dengan pisau, darah akan mengucur. Ada tindakan ada konsekuensi.”

Baca juga  Fragmen Hirup

“Lalu?”

“Nah, orang-orang ini, sadar atau tidak, sebenarnya sedang bergelut dengan hukum Tuhan itu. Mereka sedang menentukan nasibnya sendiri, menolak tunduk pada nasib yang ditentukan rezim protokol virus.”

“Dengan begitu, apakah berarti nasib itu dinamis?”

“Tentu saja. Sebab, Tuhan bukan satu-satunya penentu nasib. Manusia mempunyai andil atas nasibnya sendiri, bahkan nasib orang lain. Kita saling terkait.”

“Kok, bisa begitu?”

“Bayangkan kalau waktu itu tidak ada orang bepergian. Apakah mungkin virus ini menyebar seluas ini dan akhirnya menjebakmu berbulan-bulan sembunyi di rumah untuk rebahan?”

“Iya, ya.”

“Kira-kira begitulah nasib bekerja.”

“Itu menjawab pertanyaanku mengapa Tuhan diam saja ketika manusia sengsara. Ternyata Dia tidak diam saja, melainkan sedang menjalankan hukum-hukum-Nya seperti yang kau bilang tadi. Kita, manusia, diberi sedikit kekuasaan untuk mengubah nasib.”

Aku diam sambil memperhatikan kau yang lagi-lagi membetulkan anak-anak rambut yang jatuh di dahi. Kali ini aku kepergok. Kau menatap aku. Kita bertatapan. Lalu saling tersenyum. Ini sungguh menyembuhkan, remedi bagi kesepian dan kesendirianku selama pandemi. Aku ingin menggenggam tanganmu, tapi sekat plastik ini tak mengizini.

***

ITU pertemuan terakhir kita sebelum akhirnya kau tumbang. Aku masih kagum dengan rencana Tuhan. Kau yang begitu ketat dengan protokol pencegahan penularan virus justru tumbang digerogoti virus karena lelah. Lelah melihat orang lain berulah. Lelah menjaga protokol untuk diri sendiri. Kau lelah dengan keyakinanmu sendiri. ***

Green Village Bintaro, 18 Juli 2020

Hilmi Faiq, wartawan kelahiran Lamongan, kini tinggal di Tangerang Selatan. Buku kumpulan cerpennya dalam proses penerbitan.*

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 13

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!