Tas Hitam di Bandara Ketika Pintu-Pintu Tertutup
/
koridor ini masih remang-remang
cahaya lampu muram dan gigil
dalam gaduh yang sunyi
waktu dan jarak dilipat dengan sempurna
dengan hitungan cermat seperti Sysiphus
menghitung jerit batu melintasi bukit demi bukit
/
embun di kaca-kaca mencoba mengabadikannya
sesaat sebelum petugas cleaning service muda
menghapusnya dengan lap kumal yang basah
—“ini ruang publik yang sekarat, tak ada lagi
tempat kau menitipkan riwayat di sini!”
/
pagi beranjak makin berani
matahari miskram meluncur perlahan
kubayangkan deru pesawat segera tiba
mengusung jejak riwayat dalam perjalanan kembali
sebagai bongkah batu diluncurkan dari bukit ke bukit
tapi pintu-pintu tetap enggan terbuka
koridor masih juga lenggang dan remang-remang
sunyi yang sempurna mengutukku menjadi pertapa
yang harus betah mengabadikan musim yang gagap
pada seribu puisi meraung dalam pintu-pintu tertutup
/
Ngawi, 2021
/
Membaca WhatsApp Emeley Sore Hari
/
Emeley, sore ini
di bandara Juanda langit lindap seusai hujan
tak ada lagi orang lalu lalang memburu waktu
di pojok sebuah cafe yang cuma satu-satunya buka
aku baca WhatsApp statusmu tentang kota-kotamu
yang mendadak kelabu dan bisu seperti kubur raksasa
katamu di Lombardy, Vanetto, dan Venesia orang-orang
telah dikutuk jadi pertapa
/
kubayangkan getar bibirmu yang ranum bicara,
wajahmu yang mendadak gerhana angslup
dalam segelas leci yang bersanding secarik nota
apa yang dapat kubaca dalam matamu yang biru
selain bayang jagat yang makin hoax dan bungkuk
langit hilang tepinya dan bidadari-bidadari hilang selendang
peta-peta tak lagi terbaca lusuh dan asing dalam saku kemeja
/
Emeley,
ranum bibir dan telaga biru matamu mendadak kandas dalam gelas
di kedalamannya aku menggelepar dalam raung yang lapar
“mana rumahmu, mana alamatmu!”
sedangkan aku sendiri kini gagal mengeja alamatku sendiri
jejakmu perlahan melarut
diparut musim disesatkan cakrawala
udara mendadak makin gigil menikamku
dengan kelebat kenangan tentang rambutmu yang berkibar-kibar
melambai-lambai lancip ujungnya menembus jakun leherku
juga sepasang lengkung alis matamu
yang rajin mencucuki korneaku
/
Emeley,
kupesan lagi secangkir kopi
sendiri tanpa gula juga tembakau
seperti punggung batu sabar ditumbuhi lumut
dan gemuruh yang menjelma denting sempurna
di pojok bandara ini menunggumu
kubiarkan panas aroma kopi perlahan dingin dan basi
kenangan yang mendekam serupa hitam kopi
mengendap sempurna di cangkir waktu
yang saban malam kuharap kau
selalu dapat menghikmat kembali aromanya
/
Ngawi, 2020
/
Nubuat Laut
/
Laut kecubung dalam mantel kabut kelabu
kutebak riak-riak buihnya menyimpan notasi asing
lamat-lamat di sepanjang antara jantung dan jakun
ketika seekor ikan menggelepar-gelepar di hulunya
saat seseorang menembakkan lutta di lobang karang
/
Laut kecubung berlabuh dalam nadi
lembing-lembing taufan menghunjamkan hujan
menatahnya pada ceruk-ceruk kasar karang batu
tempat sesekali burung-burung alit menyambanginya
menawarkan hening missa saat embun menyentuh pagi
kidung-kidung perih menyeret jejak
menyeberangi seribu tahun yang hitam
menatap bulan membenam dalam impan
/
Laut warna kecubung pasang dalam nadi
rangka-rangka hujan menggali kubur para moyang
dari tengkorak Tatahe hingga Tanjung Berdarah
dalam derap taufan dan bulan yang pingsan
meninggalkan gemuruh geloranya sendiri
mentakzim sunyi pada tahun-tahun membatu
bersama bisik-bisik yang semakin sayup
sebelum melarut dalam senyap halimun
sebelum seribu rindu kujelmakan jadi puisi
/
Melonguane, 017/020
/
Leave a Reply