Cerpen, Medan Pos, Wahid Kurniawan

Di Klinik Ibu dan Anak Takahashi

3.3
(3)

“Kau yakin dengan keputusanmu? Kalau kau berubah pikiran, masih ada waktu untuk kembali,” kataku sambil menggenggam erat tangannya.

Ayumi menggeleng. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.”

Setelah mengatakan itu, ia kembali membuang wajah ke jendela. Aku menghela napas pelan. Lalu merebahkan kepala ke sandaran kursi. Kupandangi langit-langit kereta ini.

Ayumi diam seperti detik-detik sejak perjalanan dari Tokyo tadi. Sementara sekarang, kereta sudah meninggalkan stasiun Tokyo sejak beberapa saat yang lalu. Dan, kota kecil tujuan kami, Kamakura, kutaksir berjarak kurang lebih tiga puluhan kilometer lagi. Cukup lama. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum kami tiba di sana.

Kau tahu, perjalanan ini seharusnya tak perlu kami lakukan kalau Ayumi tak memaksa. Sejak awal hubungan kami dulu, aku sudah mengira-ngira risiko ini akan terjadi. Oleh karena itu, aku siap menghadapinya, sekalipun harus menunda sejenak studi kami sebagai dua sejoli dari Waseda University. Kami bisa menundanya, lalu kuajak ia pulang ke kampung halamanku di Okinawa, dan berkeluarga di sana. Usaha toko alat-alat pancing peninggalan ayahku kurasa cukup untuk menghidupi kami berdua. Namun, Ayumi menolaknya.

“Taka, aku belum siap. Setidaknya, aku ingin membahagiakan kakakku terlebih dahulu,” ucapnya dulu.

Saat itu, ia menginap di apartemenku di sekitar stasiun Keisei Kanamachi. Tempatnya memang tak begitu lebar, sewa per bulannya enam puluh ribu yen, tetapi tak pula membuat kami sesak bila ia datang menginap.

“Apa kau tak cukup percaya padaku?”

Ayumi menggeleng. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan ke muka jendela. Di luar, salju tengah meluruh dan membuat pemandangan terhalang. Bodohnya, Ayumi justru membuka jendela. Dengan pakaian tidur seperti itu, ia jelas bisa kedinginan setengah mati. Untuk itu, kuambil selimut dan kututup bahunya, kemudian kurengkuh ia dari belakang. Bisa kudengar degup jantungnya secara samar-samar.

“Kau tentu mengerti kalau aku tidak mungkin mengecewakan dia. Kakakku sudah bekerja keras siang dan malam, mengurusiku sejak orang tua kami meninggal sewaktu aku SMA dulu, dan membiayaiku sampai sekarang. Kita harus merelakannya, Taka.”

“Apa kau sudah memberitahunya?” tanyaku dengan bodohnya, baru tersadar Ayumi tidak mungkin melakukan hal gila semacam itu.

“Apa kau pernah membayangkan lereng gunung Fuji yang dipenuhi salju, lalu tiba-tiba ada sebongkah batu mengenainya?”

“Tidak. Apa hubungannya dengan pertanyaanku?”

“Lereng bersalju itu hati kakakku. Kau sudah menebak batu itu sebagai apa, bukan?”

Aku menggeleng.

“Jangan pura-pura bodoh. Kita sama-sama mengetahuinya, Taka.”

Tentu saja, itu kuketahui dengan jelas. Aku hanya merasa tak rela kalau Ayumi sampai hati melakukan itu. Bertahun-tahun yang silam, calon adikku meninggal ketika ibu terpeleset di dermaga. Ibu yang tengah hamil tua terjatuh dan tubuhnya menghantam batu. Kala itu, kami bukan main paniknya sewaktu Ibu tak sadarkan diri, ditambah ada darah mengucur di paha Ibu. Darah itu membuat permukaan air berubah warna menjadi merah. Begitu dibawa ke klinik terdekat, Ibu tak mengalami luka yang serius. Namun, tidak dengan bayi di kandungannya. Ia meninggal.

Baca juga  Burung Kalimbang Hujan

Ingatan itulah yang terus bermain-main di dalam kepalaku. Saat memikirkan Ayumi, wajah Ibu yang pingsan tergambarkan juga, dan itu membuatku teramat gelisah. Aku sudah pernah mengalami kehilangan yang mendalam. Dan kini, sejujurnya, aku tak ingin mengalami hal itu untuk kedua kalinya.

“Taka, kita sudah sampai.”

Aku tergeragap bangun, mengusap-usap mata. Di depanku, Ayumi mencoba tersenyum.

“Tidak biasanya kau ketiduran seperti ini. Biasanya kau paling suka menikmati perjalanan.”

Apa aku terbangun di dunia lain? Dengan Ayumi yang lain? Kenapa ia tampak lebih cerewet ketimbang sebelumnya?

“Jangan memasang wajah dungu seperti itu,” Ayumi memegang sebelah pipiku, “kau berjanji akan menemaniku melewati semua ini, bukan?”

Aku mengerjapkan mata sekali.

“Selain kakakku, kau penguat dalam hidupku, Taka. Aku melakukan ini demi kita. Bukan untuk diriku sendiri.” Aku meraih tangannya, lalu mengecupnya pelan.

“Aku tahu, aku tahu.”

“Ayo, kita turun sekarang.”

Kami turun dan berjalan bersisian di sepanjang peron stasiun. Kamakura kota tepi pantai, dipenuhi tempat-tempat wisata berusia tua, dan kerap dikunjungi pelancong. Konyol saja mengingat kedatangan kami kemari bukan untuk melancong ataupun bersenang-senang. Mungkin terdengar melankolis, tetapi sungguh, perjalanan ini tidak lebih dipenuhi kegelisahan dan kesenduan. Menyadari sebentar lagi ada yang harus pergi untuk selama-lamanya bukan hal yang mudah diterima begitu saja.

“Aku membuat janji pukul sepuluh, masih ada setengah jam lagi. Aku tak ingin membuatmu menunggu lama, Taka. Sebaiknya kita tiba di sana tepat waktu saja,” katanya saat kami keluar dari stasiun.

“Tidak masalah, aku terbiasa menunggu lama. Kita langsung saja ke klinik itu. Eh, ke mana arah kliniknya? Kau hanya memberitahu namanya.” Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Ayumi Cuma bilang nama klinik itu, Klinik Ibu dan Anak Takahashi.

“Tidak, aku ingin ke Kuil Tsurugaoka Hachimangu terlebih dahulu.”

Tanpa sempat membiarkanku menjawab, Ayumi buru-buru menggamit tanganku. Katanya, perjalanan ke kuil itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Jaraknya tak terlampau jauh, jadi kami tak perlu naik kereta.

“Kau harus tetap fit, Ayumi. Berjalan sepuluh menit cukup melelahkan,” protesku.

“Aku justru merasa lebih segar.”

Baca juga  Yusril Faisal

Kami terus berlajan menelusuri jalan Danzakura yang dipenui pepohonan sakura. Sayangnya, saat ini bukan bulan bagi bunga ini untuk mekar. Pepohonan itu tak lebih seperti pohon penuh rating yang tampak biasa saja.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai. Kuil tampak ramai dipadati wisatawan. Aku tak heran, Kamakura memang kota yang cukup populer di kalangan pelancong. Tapi kami bukan salah satunya. Sampai sejauh ini, seperti yang kubilang tadi, aku justru masih merasa gelisah.

“Aku harap kunjungan ini membuatmu mempertimbangkan hal itu lagi,” kataku sewaktu kami menaiki anak tangga.

“Keputusanku sudah bulat, Taka.”

Aku terdiam. Lalu terus begitu sepanjang langkah, sepanjang kunjungan kami, dan sepanjang sesi berdoanya. Setelah selesai, di kereta menuju ke klinik itu, aku bertanya, “Kau berdoa untuk apa?”

Ayumi yang tengah memandang jendela tersentak sejenak.

“Ah, maaf, aku tak bermaksud mengejutkanmu,” kataku.

“Aku berdoa semoga keputusanku ini memang tepat.”

Aku menyerah. Tidak, maksudku, aku tetap ingin ia membatalkannya. Hanya saja, aku juga tak ingin membuat perasaannya tak keruan dengan menceritakan tragedi yang menimpa Ibu. Cerita itu jelas akan membuatnya terguncang dan aku lebih tak ingin hal itu terjadi. Maka, aku tetap tak berkata apa-apa sampai kami sampai di sana.

Klinik itu kecil saja. Ukurannya tak lebih besar dari toko-toko di sebelahnya. Bangunannya pun tampak menyatu dengan bangunan di sebelahnya. Yang membedakan, selain cat putih yang menyelimuti sekujur bangunan, juga plang nama di depannya. Plang nama itu mencetak tulisan Klinik Ibu dan Anak Takahashi berwarna hitam. Dengan papannya yang juga berwarna putih, tulisan itu sudah terlihat jelas dari kejauhan.

Ayumi bilang, tiga hari yang lalu ia sudah membuat janji dengan dokter di klinik ini. Jadi, begitu kami masuk ke dalamnya, tak butuh waktu lama baginya untuk segera menemui si dokter setelah terlebih dahulu mengisi formulir di meja registrasi. Suasana klinik tampak sepi. Perawat yang menyambut kami terkesan ramah. Namun, suasana di dalamnya yang semuanya bercat putih begini membuat ingatan tentang Ibu datang dengan bertubi-tubi. Kepalaku mendadak terasa pening.

“Anda tidak apa-apa, Tuan?” Sekonyong-konyong perawat tadi mendatangiku. Ia baru saja kembali dari mengantar Ayumi ke lantai atas.

Aku memegang sisi kepala sebelah kanan, lalu menggeleng samar. “Tidak, hanya sedikit kelelahan.”

“Anda bisa duduk di kursi itu, Tuan. Beristirahatlah.”

“Butuh berapa lama baginya untuk menjalani proses itu?”

“Tidak lama, Tuan. Tidak sampai satu jam.”

Jawaban perawat ini tak memuaskanku. Jawabannya mengandung ketidakpastian. Aku benar-benar mengkhawatirkan Ayumi. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya? Bagaimana kalau proses itu membahayakannya? Atau, yang lebih buruk, bagaimana kalau jiwanya terancam? Aku harus mendampinginya.

Baca juga  Cinta Paling Hebat

“Apa saya boleh ke lantai atas?”

Dengan sedikit tergeragap ia menjawab, “Tentu, tapi alangkah baiknya An—”

Tanpa mendengar ia menyelesaikan kalimatnya, aku segera berderap ke lantai atas. Melewati lorong pendek sebentar, lalu di satu kamar, kulihat Ayumi baru saja masuk ke dalamnya. Aku berlari menuju kamar itu. Namun, pintu sudah tertutup begitu aku sampai di depannya. Dengan napas terengah-engah, dari kaca di pintu, kulihat Ayumi merebahkan diri di ranjang. Pandangan kami sempat bertemu. Dan dari pandangannya itu, hanya sedikit kulihat ketakutan di air mukanya. Selebihnya, ia tampak berusaha tegar. Bahkan, sebelum punggung si dokter menghalangi pandanganku, kudapati ia tersenyum.

Di luar kamar ini, aku gelisah bukan main. Aku berusaha menepis bayangan Ibu, dermaga, dan air laut yang berwarna merah. Kujatuhkan tubuh ke bangku yang ada di lorong, aku duduk saja di sana sambil dipeluk kegelisahan yang tak juga mereda. Apa Ayumi baik-baik saja? Pertanyaan ini tak henti-hentinya bersarang di dalam kepalaku. Bagaimana kalau dokter itu berniat jahat padanya? Sial, aku mulai mengada-ngada.

Aku beranjak berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di sekitar pintu kamar itu. Waktu satu jam yang dibilang perawat tadi serasa seabad lamanya. Kenapa Ayumi lama sekali? Aku mencoba mengintip lewat kaca di pintu, tetapi, pandangannku terhalang punggung dokter itu. Sial. Dan aku masih mondar-mandiri di sana ketika pintu kamar itu terbuka. Ayumi muncul kali pertama, lalu disusul dokter yang berjalan di belakangnya.

“Obatnya bisa diambil di bawah, Ayumi-san. Kalau nanti sakitnya lama, kabari lagi klinik kami. Tapi itu semoga tak terjadi. Asal Anda mengikuti semua prosedur obatnya, saya yakin prosesnya berjalan dengan lancar,” ucap dokter itu.

Setelah mengucap terima kasih, dokter itu pun pergi meninggalkan kami.

“Aku mengkhawatirkanmu.” Kurengkuh Ayumi dengan erat.

“Aku tahu, aku tahu.”

Kini, aku memang sudah terlambat sekali. Bayi itu sudah hilang. Ayumi telah merelakannya. Lalu, bagaimana dengan aku? Entahlah, mungkin aku masih merasa tak rela. Namun, yang terpenting, Ayumi baik-baik saja. Itulah yang melegakanku.

Wahid Kurniawan. Ia berdomisili di Lampung. Penikmat buku dan mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Akun media sosial : IG; @karaage_wahid.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!