Cerpen, Fanny J Poyk, Pikiran Rakyat

Marmer Cake Pesanan

4.5
(6)

DARI adonan mentega, gula, telur, dan campuran lainnya, telah kucipta perpaduan rasa yang menukik di kedalaman kecap lidah nan lezat dan menggoda. Rasa itu menyusuri pori-pori yang ada di indra perasa, kemudian menggiring opini pada satu kalimat bernada bangga bahwa marmer cake-ku adalah kue yang terenak di jagat ini.

BARANGKALI akan ada kalimat yang berbunyi “Marmer cake bikinan Oma Nini memang lezat dan top markotop!” Itu imajinasi yang tercipta tatkala Oma Nini melamun di dapurnya sembari menatap handphone-nya, menunggu pesanan kue muncul di WhatsApp-nya.

Harapan Oma Nini tak pernah pupus tiap kali bunyi pesanan muncul, rasa bahagia meruar di wajah dan sinar matanya. Itu berarti rupiah akan masuk ke dompetnya. Ketika pesanan kue kian banyak, ia mulai mengolah kreativitasnya, Oma membuat rajutan rasa yang lebih spektakuler lagi, yang meninggalkan ingatan rindu ketika gigitan terakhir bertahan di lidah.

Namun, rasa bahagia akibat pesanan kue yang banyak, kadang mempermainkannya, dan hal ini membawa kepedihan di hati perempuan yang beranjak menua itu. Oma Nini lalu berada di lajur yang tidak diperkirakan sebelumnya, seseorang telah membuat marmer cake dengan rasa dan kelezatan yang sama.

Entah siapa orang itu. Oma Nini gundah dan gelisah. Tuduhan bernada negatif kemudian merambah ke mana-mana, jangan-jangan ada yang membocorkan resep marmerku pada seseorang sehingga para pelanggan berpaling dariku. Hari ini mengapa tak seorang pun memesan marmer cake-ku, keluhnya.

Ketika pesanan benar-benar mulai menyusut, rasa curiga semakin memenuhi benaknya. Orang pertama yang ia curigai adalah Mpok Ocah, asisten rumah tangga yang sudah hampir 30 tahun ikut dengannya.

Mpok Ocah menjadi tertuduh utama karena selain dia, tak ada lagi orang yang tahu resep rahasia pembuatan marmer cake-nya. Bisa jadi di balik wajah lugunya ia menyimpan karakter lain yang tidak seorang pun tahu. Atau ada sosok terselubung yang diam-diam menjebak Mpok Ocah sehingga tanpa ia sadari, perempuan paruh baya yang latah itu keceplosan mengungkapkan seluruh proses pembuatan marmer cake-nya. Ini asumsi pertama. Oma Nini memasukkan Mpok Ocah ke dalam catatan orang yang ia curiga.

Baca juga  Perempuan di Sudut Kafe

Curiga pada anak-anak dan menantunya? Tidak mungkin, Oma Nini membantah. Mereka orang-orang sibuk yang milenial, lebih memilih benda seperti laptop dan handphone-nya ketimbang urusan perkuean.

Oma Nini kemudian memasukkan daftar kecurigaannya pada sang suami. Sebab selentingan, ia mendengar gosip suaminya mulai kerap ngobrol dengan janda manula berusia 65 tahun, tetangganya yang setahun lalu ditinggal mati suaminya.

Satu pemuda tanggung lalu menjadi pengikut bayaran yang mematuhi semua keinginan Oma Nini. Marmer cake yang telah menjadi sumber petaka, kini bukan saja memiliki sumbu pemicu dengan nyala api yang membara, namun sewaktu-waktu siap meledak apabila batas panasnya telah berada di ujung titik kulminasi yang paling maksimal.

Berita tak mengenakkan berkaitan dengan marmer cake Oma Nini merebak, katanya ada sayap kecoa yang digigit pembeli. Nama Oma Nini kian terjatuh hingga di titik yang paling terendah dari bisnis perkuean.

Pemuda tanggung yang jadi mata-matanya memberikan hasil kerja yang tidak memuaskan. Selain doyan makan dan bermain gim di hape, pemuda yang akrab dipanggil Bondan itu makannya kuat, Oma Nini semakin dikuasai amarah ketika menatap Bondan makan sampai tiga piring penuh. Ini penampakan yang buruk, selain rugi tak ada yang pesan marmer cake-ku, aku seperti memberi makan binatang peliharaan pemamahbiak yang kerjanya makan dan makan.

“Sudah, cepat selesaikan makanmu. Habis itu saya mau laporan langsung hasil insvestigasimu, mengapa jualan marmer cake-ku kian meredup. Kamu harus selidiki juga apakah ada unsur ilmu hitam bermain di dalamnya. Bisa saja ada pesaingku yang pergi ke dukun lalu mengirimkan ajian ‘kue tak laku’ ke daganganku!”

Bondan sang spionase bentukan Oma Nini menatap dengan wajah melongo dan bibir setengah terbuka. Hasil akhir memang tetap seperti semula. Siapa yang membocorkan resep marmer cake Oma Nini tetap tidak menunjukkan wujudnya.

Baca juga  Seperti Kota Mati

Rasa tenteram di dalam rumah mulai terusik. Sang suami, Opa John yang sudah pensiun lima tahun lalu dan dikaryakan lagi sebagai tenaga administrasi di sebuah panti jompo yang juga memiliki panti asuhan, cemas jika sang istri terserang paranoid akut yang nantinya akan menggiringnya pada penyakit skizofrenia dengan tingkatan beberapa stadium.

Opa John khawatir bila sang istri akan seperti Oma Lili, penghuni panti jompo yang kerap mencurigai dan memaki serta menyumpahi orang-orang yang ada di panti dengan kata-kata kotor.

“Jangan curigaan dulu, Ma. Coba kamu telaah kembali, mengapa marmer cake-mu tidak dipesan orang lagi. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab di dalam pembuatan kuemu. Bisa jadi orang lain membuat marmer cake-nya lebih enak lagi, mereka menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi, misalnya dengan memakai mentega kelas satu, atau tepung dan keju yang halus dan gurih. Kamu jangan selalu menganggap kue buatanmu nomor satu. Di atas langit masih ada langit, Ma. Sudah, jangan terlalu dipikirkan, aku kan masih punya pensiun juga gaji yang cukup untuk makan kita. Perbanyak berdoa untuk mengurangi dosa,” nasihat suaminya.

Kata-kata bijak menguap bagai embusan angin senja yang bertiup semilir. Harusnya Oma Nini menyikapi ucapan sang suami dengan perasaan yang teduh. Namun nyatanya tidak.

Ia semakin bergemuruh. Kali ini yang ia curigai suaminya sendiri. Jangan-jangan resep itu dibocorkan suaminya ke teman-temannya, kemudian salah satu dari mereka mencatat resep itu dan mengkreasinya dengan formula baru dari bahan-bahan kue yang lebih enak dan mahal.

Atau, jangan-jangan benar dugaanku, suamiku punya selingkuhan perempuan jompo di panti, kemudian perempuan itu memberikan resep marmer cake-nya ke sang anak, lalu anaknya membuat kue berlapis cokelat itu dan menjualnya. Ya, bisa jadi begitu, pikir Oma Nini gelisah.

Maka sebelum semua pikiran jahat itu berubah menjadi racun yang menusuk setiap serabut yang ada di otak istrinya, Opa John mengambil langkah yang menurutnya dapat meringankan rasa cemas Oma Nini.

Baca juga  Cermin Cembung

Ia sedih tatkala melihat wajah istrinya selalu murung bagai tak ada semangat hidup. Bunyi mixer pengocok telur yang selalu terdengar serta aroma wangi butter Wijsman yang berharga mahal, yang selalu tercium tatkala kue akan mencapai tingkat kematangan yang sempurna, kini tak ada lagi, berganti dengan wajah sedih istrinya yang selalu menatapi siapa yang akan memesan kue di WA-nya.

Tepat di tanggal satu bulan kesepuluh, ketika tiap orang yang punya gaji menerima transferan dana dari instansi tempatnya bekerja, Oma Nini terbeliak membaca WhatsApp di handhpone-nya. Air mata hampir luluh membasahi pipinya.

“Mpok Ocaaah…!” teriaknya dengan segenap rasa gembira yang terkumpul di ujung tenggorokannya. “Cepat beli mentega, butter, terigu, e, telur, vanili dan keju. Ada pesanan 25 loyang marmer cake. Besok harus dikirim ke beberapa panti jompo dan panti asuhan. Nih, alamatnya sudah ditentukan. Duitnya sudah ditransfer, Mpok.” Aura gembira membias di wajah Oma Nini. Ia berjingkrak-jingkrak kesenangan.

“Ada pesanan 25 loyang marmer cake, Pa… yuhuuuu!” ucapnya pula sembari menunjukkan pesan di WA-nya pada sang suami.

Opa John meringis. Esok gajian, ia harus memberi alasan yang tepat pada Oma Nini, ke mana hampir setengah dari gajinya itu lenyap. Ia takut sang istri kembali sedih, sebab baginya hati yang gembira adalah obat. Ah, nanti sajalah itu kupikirkan, nanti saja… gumamnya sembari menyusun alasan yang tepat. ***

Fanny Jonathans Poyk, mengikuti jejak ayahnya, sastrawan Gerson Poyk, sebagai penulis karya-karya sastra sekaligus jurnalis. Menulis sejak 1980-an, dari cerita anak-anak, remaja, hingga dewasa. Fanny juga menulis novel, puisi, buku-buku motivasi, buku biografi, dan laporan perjalanan.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!