Bulan Nurguna, Cerpen, Suara Merdeka

Warisan

2
(2)

Dia putuskan memakai mobil baru untuk pulang ke Bali, meski bukan mobil penumpang, melainkan mobil barang. Dua mobil terdahulu pernah dia pakai pulang kampung. Pertama, Carry tidak ber-AC. Kedua, sedan bekas ber-AC, sedikit mewah tetapi sering bermasalah. Namun Ayah-Ibu serta saudara-saudaranya di kampung belum pernah melihat mobil ketiga itu. Meski itu bukan tanpa konsekuensi; ketiga anak perempuannya harus berada di belakang, tempat yang seharusnya untuk barang. Dia duduk di kursi pengemudi dengan istri dan anak yang masih bayi duduk di sampingnya.

Istri dan anak sulungnya menolak keputusan itu. Bagaimana tidak? Anak perempuan itu sudah membayangkan akan pusing terombang-ambing di atas mobil tanpa kursi, yang rencananya diletakkan selembar matras. Ayahnya pikir ia dan adik-adiknya akan santai di mobil, tetapi ia pikir tidak. Si ibu khawatir anak kedua dan ketiga akan melompat dari bak mobil, yang hanya setinggi betis anak ketiga yang berumur tujuh tahun. Ia takut tidak bisa leluasa mengawasi anaknya.

Berbeda dari sang ayah, yang begitu percaya diri, seakan semua sudah digariskan tanpa perlu banyak berpikir. “Semoga ini saat terakhirku menjadi penurut. Tuhan, besarkanlah aku cepat-cepat supaya bisa bekerja,” kata si sulung dalam hati setiap kali sang ayah punya rencana atas hidupnya.

Karena malas berdebat lebih lanjut, si istri menerima. Si sulung tak kuasa menolak. Jadilah mereka berangkat menggunakan mobil barang. Mobil baru kebanggaan sang ayah.

Mobil barang itu tidaklah buruk dinaiki manusia. Bagian depan sama seperti mobil penumpang umumnya. Bagian belakang dipisah dari bagian depan dengan sekat kaca. Bagian belakang tidak diisi barang yang melekat. Hanya ada atap hasil modifikasi. Itu disesuaikan dengan usaha keluarga sebagai agen sembako, kosmetik, peralatan rumah tangga, sampai minuman keras. Atapnya sangat penting untuk melindungi barang dari panas dan hujan.

Mereka sekeluarga berangkat dari kota tempat tinggal. Si suami sangat gembira, berbeda dari anggota keluarganya. Anak nomor dua dan tiga selalu terlihat sendu bila hendak menempuh perjalanan jauh, sebab tahu di jalan akan mual dan tidak jarang muntah, seperti yang sudah-sudah. Anak terakhir, yang masih berusia dua tahun, kepanasan karena mobil itu tidak ber-AC, apalagi ibunya ragu membuka kaca lebar-lebar, salah-salah anaknya masuk angin.

Sampai di kapal feri, mereka mengambil tempat di no smoking area. Bukan merasa terbebas dari rasa mual, malah bertambah-tambah. Terutama bagi tiga anak perempuan itu. Sebab, kapal feri bergoyang-goyang, ditambah bau dari mesin kapal yang menguar, serta kapal tidak begitu bersih; sampah belum dikeluarkan ABK, kebanyakan sampah dari makanan dan minuman.

Baca juga  Makam Nyai Malinda

Saat seperti itu, si anak sulung sungguh membenci ayahnya. Musim liburan bukan bersantai di rumah, bangun siang, nonton TV, atau bermain bersama teman-teman. Ia malah harus mengikuti acara ayahnya, yang parahnya selalu menyesuaikan dengan libur panjang sekolah. Ayahnya dengan wajah gembira merusak saat terbaik hidupnya.

Saat akan merapat di Pelabuhan Padang Bai, kapal itu tidak langsung bersandar, tetapi terapung-apung antre, karena ada kapal lain masih bersandar. Mereka mengantre hampir satu jam. Si ayah berpikir, untunglah sekarang sudah punya kendaraan. Kalau tidak, bagaimana dia mencari mobil untuk menumpang sampai Singaraja. Dia ingat beberapa tahun lalu, ketika belum punya kendaraan dan tiba di Padang Bai hampir tengah malam. Memang kendaraan umum masih ada beberapa, tetapi ongkosnya sungguh mahal. Tiga kali lipat dari harga waktu operasi pagi sampai sebelum tengah malam.

“Pak, ayo menumpang saja sama tiang. Apa tega membiarkan anak-anak terkena angin pantai yang dingin dan digigit nyamuk?” kata seorang sopir waktu itu.

“Maaf, kalau harganya tidak segitu saya tidak mau,” kata si ayah.

Lalu sopir itu pun pergi. Akhirnya, mereka menginap di Padang Bai, di pinggir pantai. Waktu itu si anak sulung baru berumur lima tahun dan anak keempat belum ada. Saat itu, mereka tidak punya uang selain untuk ongkos pergi dan pulang dari Bali. Lagipula, mereka terpaksa pulang kampung untuk meminjam uang pada kakak sang ayah, Bli Wayan. Uang itu sangat perlu untuk menyewa toko, dan hanya kakaknya yang mau meminjamkan uang sebanyak yang dia butuhkan. Saat itu, Bli Wayan paling kaya di antara enam saudaranya. Ia juga yang paling berpendidikan, S-2 di Inggris, mendapat beasiswa dari pemerintah. Maka, ia sering menjadi anutan bagi adik-adiknya.

Kini, tak ada lagi kerepotan karena tidak punya kendaraan. Dan mereka tidak hanya punya satu, melainkan tiga. Inilah sumber kegembiraan bagi lelaki itu.

Sesampai di Singaraja, hati lelaki itu makin berbunga-bunga. Dia bisa bertemu semua keluarga dan datang dengan keadaan lebih makmur dari sebelumnya. Masuk dia ke pekarangan rumah, melewati gerbang yang di depannya ada sungai yang biasa dipakai mandi perempuan-perempuan dari anak kecil hingga orang dewasa bertelanjang dada. Di pekarangan itu, tidak hanya ada satu rumah, tetapi empat rumah, dengan satu sanggah tempat sembahyang bersama. Rumah-rumah yang selain rumah bape-nya itu adalah rumah keluarga bape-nya.

Baca juga  Ciu dan Durian Tembaga

Meskipun saat itu telah lewat tengah malam ketika mereka datang, ada Bli Wayan yang menyambut mereka, juga bape dan meme-nya. Mereka pun berpelukan. Anggota keluarga lain membantu mengangkat barang dari mobil. Si anak sulung enggan tersenyum karena kesal dan sangat mengantuk. Dua adiknya juga sudah terpengaruh olehnya, memasang wajah masam.

Keesokannya, sudah banyak sepupu dari empat anak perempuan itu berkumpul di ruang tengah. Mereka senang ada tambahan teman bermain. Kali ini, si anak sulung sepertinya sudah lupa dengan kekesalan pada ayahnya, karena bertemu sepupu-sepupunya. Ternyata ayahnya sempat membelikan mereka banyak mainan. Ada ular tangga, halma, monopoli, catur, dan scrable. Karena anak perempuan itu sangat suka bermain monopoli, ayahnya pun membuka plastik mainan itu. Sebelumnya, mereka juga telah sering bermain bersama, jadi tidak perlu diajari lagi.

“Begitu ada kesempatan, empat rumah berwarna hijau ini bisa ditukar dengan satu hotel berwarna merah, tetapi selama-lamanya nilainya tidak akan pernah sama lagi,” begitu si ayah sering berkata ketika awal-awal mengajari bermain.

Mereka bermain sekitar dua jam, dalam permainan yang begitu seru. Pada akhir permainan, setelah menghitung surat tanah, harta tidak bergerak yang meliputi rumah atau hotel, dan uang milik pemain masing-masing, terbukti pemenang adalah anak perempuan itu. Ia merayakan kemenangan dengan berkata, “Hore! Aku mati dalam keadaan kaya.” Sang ayah merayakan kemenangan itu dengan gembira di dalam hati.

Malamnya, sepupu-sepupu lelakinya mengajak dia ke pinggir jalan di dekat rumah. Mereka mengajak main momongan. Momongan adalah permainan judi dadu dengan seseorang yang menjadi bandar. Para pemain menaruh uang di salah satu dari 12 kotak. Kotak-kotak itu bergambar ular, ikan, naga, dan binatang-binatang lain. Para sepupu menaruh uang di salah satu kotak. Ia pun mengikuti. Ketika dadunya dikocok dengan wadah kecil dan keluar satu bulatan di dadu pertama dan dua bulatan di dadu kedua, semua uang dari sepupunya dan uang darinya serta merta diambil oleh bandar. Anak perempuan itu merasa ada yang salah dengan keputusannya. Maka ia pun berhenti bermain walau uangnya masih ada, sementara para sepupu terus bermain, sampai uang mereka habis.

“Kalau aku punya uang banyak dan kesempatan datang padaku, aku akan memilih jadi bandar,” kata anak perempuan itu.

“Kenapa?” tanya salah seorang sepupu.

“Sebab pemain hanya punya kesempatan satu dari sebelas kemenangan. Bandar punya sepuluh dari sebelas kemenangan.”

Baca juga  Alusi

Para sepupu tidak mengerti maksudnya, tetapi enggan bertanya lagi. Mereka telah mengantuk dan kalah judi membuat mereka kehilangan selera pada apa pun.

Keesokan paginya, satu keluarga yang pulang kampung itu duduk-duduk di pekarangan rumah di dekat kandang babi bersama Bli Wayan. Anak perempuan kedua minta ditemani kakaknya mendekati kandang babi. Mereka melihat-lihat babi, yang baru beranak delapan ekor. Ada seekor anak babi berlari lincah ke arah kakak-beradik itu. Si kakak tampak tenang, tetapi adiknya ingin berlari. Karena begitu panik, ia tersandung batu, dan jatuh. Ayahnya berjalan ke arah anak itu dan menggendong lalu menenangkan. Dari arah kanan, datang seorang tetangga yang juga masih sepupu si ayah, berusia kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari si ayah. “Wah, takut sama kucit ya. Ayo bawa saja satu ke rumah supaya latihan lihat kucit supaya berani. He-he-he.”

Ibu anak-anak perempuan yang mendengar hal itu bukan senang, melainkan meradang. Sebab anak-anaknya memang hampir tidak pernah melihat babi.

“Made pulang kapan?” tanya tetangga itu.

“Baru kemarin, Bli,” jawab si ayah.

“Wah, sudah punya anak lagi ya. Perempuan lagi ya?” tanyanya memastikan, sambil melihat kuping anak yang memakai anting.

Nggih, Bli.”

“Wah, bisa-bisa nanti warisan jatuh ke tangan sepupu-sepupu lelaki,” katanya ringan.

“Tidak, Bli,” kata Bli Wayan.

“Semua harta Made untuk anak-anak perempuannya. Sebab itu semua hasil jerih payah dia dan istrinya. Tidak ada yang berasal dari leluhur atau orang tua kami.”

Tamu tak diundang itu pun seperti orang yang tiba-tiba sadar dari sisa mabuk semalam. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah anak perempuan sulung, “Eh, sudah besar. Sudah SMP ya?”

Anak perempuan itu seperti menyadari semacam musuh bersama. Ia pun menjawab, “Tidak mau jawab, soalnya adikku diketawain. Wek!” katanya sambil memeletkan lidah.

“Eh, tidak boleh begitu,” kata ibunya, yang dalam hati sebenarnya begitu bangga. (28)

Gili Trawangan, 21 Februari 2020

Catatan:
Tiang: saya, bape: ayah, meme: ibu, nggih: iya, bli: kakak laki-laki, kucit: anak babi.

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ini bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!