Cerpen, Jawa Pos, Ranang Aji SP

Topeng Ireng

3.3
(7)

Suatu malam, ketika tengah tertidur di kursi bambu ruang tamu, tiba-tiba aku terbangun dengan perasaan waswas. Aku mendengar suara berisik di luar pintu. Suara itu terus saja mengganggu. Tapi, setelah benar-benar terjaga, aku tak lagi mendengar suara apa pun.

AKU menduga suara itu berasal dari kucing-kucing liar yang biasa berkeliaran di malam hari. Maka, aku putuskan untuk mengabaikan itu dan kembali memejamkan mata sembari menyelimuti tubuhku dengan kain sarung. Tapi, saat mulai tertidur lagi, tiba-tiba pintu rumahku terbuka dengan suara keras disertai angin yang dingin. Aku tersentak begitu melihat sosok pria berdiri di hadapanku.

“Siapa kau?” tanyaku dengan suara parau dan bergetar.

Pria itu asing bagiku. Mungkin usianya sekitar 40 tahun, berperawakan besar, berkulit gelap, dan mengenakan kemeja hitam. Kedua matanya bersinar redup dan tampak sengsara. Melihatnya secara tiba-tiba seperti itu membuat tubuhku gemetar. Jiwaku seolah merasakan sebuah tekanan yang begitu kuat. Semacam terjebak dalam ruang kecil yang dipenuhi hawa teror dan mengancam. Aku menduga dia hendak merampokku. Tapi, harta apa yang dia inginkan, pikirku. Bahkan, aku tak memiliki benda cukup berharga yang bisa dijual. Dalam keadaan terdesak, bahkan aku pernah berpikir untuk mencuri. Dia salah tempat jika ingin merampokku.

“Jangan khawatir,” katanya menyela pikiranku. Sepertinya dia tahu apa yang meresahkanku. “Aku Gepok,” lanjutnya memperkenalkan dirinya. Ia memberi isyarat dengan tangannya agar aku diam.

Aku melongo, memandangnya dengan tatapan khawatir. Tapi, ada perasaan sedikit lega ketika dia berkata seperti itu. Jika benar ingin merampokku, tentu dia tak perlu memperkenalkan dirinya, pikirku. Tetapi, tetap saja kelakuannya sungguh kurang ajar karena berani masuk rumah tanpa izin.

“Kau tak punya hak masuk ke rumahku?” Suaraku terdengar parau memprotesnya.

“Tenanglah… Kau harus menolongku, aku mohon.” Pria itu mengabaikan amarahku dan justru memohon.

Baca juga  Manusia Kantong Plastik Hitam

“Menolong bagaimana? Aku tak mengenalmu.”

“Kau bisa menolong orang tanpa harus mengenal, bukan?”

Suara berat pria yang mengaku bernama Gepok itu terdengar seperti racauan yang bergema. Tak begitu jelas ucapannya. Dia kemudian menyeret kursi dari dekat pintu dan duduk di atasnya, menghadap padaku yang duduk miring dan masih sedikit linglung. Matanya letih menatapku. Sinar di matanya terlihat lebih seperti berharap. Bau aneh semacam bangkai tikus tiba-tiba tercium secara samar dan menggelitik hidung. Bau itu membuat perutku mual.

“Kau belum pernah mendengar namaku?” tanyanya.

Aku mencoba bersikap tenang, mengumpulkan seluruh kesadaranku dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Aku memandang wajahnya yang dingin, gelap, dan pucat beberapa saat. Aku memang belum pernah mendengar namanya. Tapi, tiba-tiba saja secara samar aku mengingat sebuah pertunjukan topeng ireng di sebuah desa, jauh di kaki bukit Menoreh. Mungkin sekitar enam bulan lalu. Di antara keriuhan suara gamelan dan penonton yang melingkar di arena, ada satu orang yang kuingat mirip wajah pria ini di antara para penggamel. Tapi, aku tak yakin apakah pria itu adalah pria ini.

“Aku mengenalmu,” katanya lirih. “Aku melihatmu di pertunjukan itu.”

Aku menegakkan punggung mendengar ucapannya. Bulu tengkukku berdiri seperti waspada. Kursi bambu berderit bersamaan dengan suara serangga malam yang berdenging. Pria bernama Gepok itu kemudian menjelaskan bahwa dia mengetahui aku sebagai bagian anggota tarian topeng ireng dari anak-anak tari kenalannya.

Pria itu memang benar. Aku memang salah satu anggota kesenian itu di desaku. Bagiku, iramanya yang rancak dengan beat yang memantul-mantul mendorongku pada rasa optimisme mengatasi persoalan hidup yang berat. Setidaknya untuk sementara. Pertunjukan topeng ireng seolah membantuku menutupi kenyataan bahwa hidupku terpenjara oleh semua kebutuhan yang selalu muncul tiba-tiba dan menuntut untuk diselesaikan. Namun, yang aku ingat, selama berkumpul bersama anggota topeng ireng di desaku, aku belum pernah mendengar nama Gepok disebutkan. Kami biasanya hanya membicarakan nasib topeng ireng yang mirip hidup kami yang pas-pasan.

Baca juga  Malam Ini Sunyi Sekali

“Mengapa aku harus menolongmu?” Aku mengulang pertanyaanku, mencoba menuntut penjelasannya. Matanya menatapku persis di mataku yang membuat jantungku seperti meloncat.

“Aku ingin kau menolongku!” ulangnya. Suaranya terdengar seperti tak ingin dibantah. Aku mulai tak nyaman dengan nada suaranya. Pikiranku pun semakin kabur. Aku ingin melawan dengan mengusirnya. Namun, suaranya seperti menghipnotisku.

“Apa yang bisa aku bantu?” Akhirnya aku harus mengalah. Aku sadar tak mampu melawannya. Kehadirannya yang misterius dan suaranya yang terdengar seram mengingatkanku akan keruwetan birokrasi di desaku. Tampangnya juga mengingatkanku pada rasa enggan mengurus sesuatu di kantor pemerintahan. Tapi, dia juga mengingatkanku akan rasa sepiku yang sunyi. Pria aneh itu tampak lega mendengar aku bertanya seperti itu. Wajahnya yang hitam legam tapi pucat memancarkan cahaya berkilat, walaupun lemah. Tiba-tiba dia duduk gelisah dan bernapas sengal. Sepertinya dia tengah menahan sesuatu di dadanya. Melihatnya seperti itu justru membuatku merasa khawatir. Tapi, aku menunggu.

“Beberapa bulan lalu, aku menagih utang dan aku terjebak,” katanya. Aku memandang mukanya yang gelap, mencoba menebak maksud dari apa yang dia katakan. Tetapi, tak kutemukan apa pun, kecuali sesuatu yang kosong seperti kegelapan angkasa. Jadi, aku tetap menunggunya meneruskan ceritanya. Udara semakin atis dan bau bangkai itu tak kunjung hilang.

Pria itu mengaku dirinya adalah pembuat mahkota berumbai yang biasa digunakan penari topeng ireng. Selain itu, dia seorang buruh rajang tembakau. Tinggal sekitar tiga puluh kilometer dari desaku. Katanya, dia berutang pada petani tembakau dan orang lain berutang tembakau padanya. Sampai di sana, aku mendengarkan ceritanya dengan perasaan gelisah.

“Aku tak pernah bertemu orang itu. Tapi, aku tak bisa pulang lagi ke rumahku.” Dia mengatakan itu dengan murung.

Kali ini dia mengatakan dengan nada yang sendu bahwa selama hidupnya mungkin tak begitu menyenangkan, tapi kali ini bahkan lebih dari itu. Dia seperti terpenjara dan sengsara. Dia kemudian mengatakan dengan nada seperti anak kecil mengeluh bahwa dirinya membutuhkan ibunya. Tapi, dia tak sanggup menyampaikannya. Dia tak sanggup membiayai. Karena semua selalu punya ongkos. Duniaku, katanya, adalah ruang gelap dan dihuni oleh semua jenis kematian. Tak ada cahaya, kecuali doa-doa yang berubah menjadi lentera. Aku masih diam meskipun mulai paham apa maksudnya. Pria itu butuh ibunya. Aku menduganya seperti itu.

Baca juga  Bulan Berdarah

“Jadi, aku minta tolong agar kau sampaikan pada ibuku agar ia menjemput jasadku,” katanya kemudian.

***

Kejadian itu benar-benar membuatku merasa seperti tidak waras. Aku tak habis pikir mengapa orang yang sudah mati itu bisa menemuiku. Tapi, semuanya memang terjadi dan aku sudah berjanji menolongnya. Aku kabarkan itu pada orang-orang dan ibunya. Saat kutemui ibunya, ia hanya terdiam. Matanya tak berkedip. Aku tahu ia sangat bersedih. Ia kemudian hanya mengucapkan terima kasih berkali-kali saat aku pamit.

Saat itu, tiba-tiba aku merasa ikut bertanggung jawab atas keadaan ibu itu. Maka, aku berniat akan selalu menemaninya. Aku tengah mempertimbangkan kemungkinan itu ketika tiba-tiba beberapa polisi datang menggedor pintu rumahku. Mereka membawaku ke kantor polisi dan meminta penjelasan atas kematian Gepok. Mereka tersenyum mendengarkan penjelasanku, tapi mereka tak percaya. (*)

RANANG AJI SP. Menulis fiksi dan nonfiksi. Naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pascamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nomine dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!