Bermalam di Pasar Swalayan
.
1. Rak Bunga
.
Harum bunga-bunga mewarnai kaca
dan kita adalah serangga.
.
Harum itu tumpah juga ke lantai
dan dinding pasar swalayan.
Menghadirkan bayangan rumah
dan membangunkan rasa lapar
kita yang purba.
.
Kita lekas
menghisap nektar hingga tandas.
.
2. Rak Buah dan Sayuran
.
Mata kita adalah ruang kosong dan dingin.
Warna buah dan sayuran adalah lengan
atau selimut yang menghangatkan.
.
Kau selalu berharap hidup lama.
Aku hanya berharap masa depan
ada bagi kita.
.
Barangkali, masih ada jejak keabadian
pada apel yang mengkilat itu.
.
Kita lupa, siapa yang kemudian
telah mengatakannya.
.
3. Gerai Roti
.
Harum gandum membuat rasa lapar kita
semakin menguat. Musik mengalun lambat,
dan langkah kita terasa berat. Kita memutuskan
bermalam di sini. Aku menyiapkan nyala api,
menemani kita bercerita hingga pagi.
.
Kita mesti membangun kemah!
.
Tapi kau senantiasa memimpikan,
kita adalah Remus dan Romulus.
Kau ingin membangun kota baru,
di antara rak tisu toilet dan kapur barus.
.
4. Rak Bumbu Masak
.
Dua jam setelahnya, api kita
masih tinggi menyala. Masih sanggup
untuk memanggang beberapa buruan.
.
Kau membidik dua. Lekas habis kita makan.
Beberapa buruan kaubawa lagi setelahnya—lalu lagi,
dan lagi, dan begitu seterusnya.
.
Api padam. Seluruh bumbu sudah
kita gunakan. Kita tercenung menyadari,
separuh pasar swalayan sudah kita habiskan.
.
—Adakah di luar sana, hal yang tiada habis-habisnya?
.
5. Rak daging dan ikan
.
Lalu aku membayangkan nelayan. Jutaan ikan
melayang di atas kepalanya. Di bawah perahu
mereka, jutaan plastik berenang-renang.
.
Tapi kita tak akan mampu menjadi nelayan.
Kita tak akan paham kerinduan kail pada ikan.
Kita hanya paham soal lapar, dan laut
adalah meja makan.
.
6. Rak Obat-obatan
.
Kita adalah obat yang saling menyelamatkan.
.
Aku tak pernah bisa lepas dari obatmu
yang menenggelamkanku ke dalam mimpi,
lalu kau menjelma sebagai kopi
atau cahaya hangat di pagi hari.
.
Aku mencoba menjadi obat yang
menjauhkanmu dari mimpi
dan lamunan masa depan.
.
Dan aku, setengah mati,
membuatmu ketergantungan.
.
7. Kasir
.
Di pintu keluar, orang-orang mengambil
barang berharga dari tas dan dompetnya,
seakan di kepala mereka hanya tersisa
barang bekas yang tak pernah dipakai
sekian lama.
.
Lalu kau melihat, di dalam kepalaku,
pasar swalayan itu telah habis terbakar:
menjadi abu.
.
(2020)
.
Memesan Masa Depan di Pangkas Rambut
.
1. Menghadap Cermin
.
Di depan cermin, aku terpejam. Seperti
saat menikmati lagu favorit yang sering
berulang-ulang kau putar. Pita kaset itu
telah putus, dan tak dapat disambung
kembali.
.
Ingatan-ingatan yang patah menyusun
dirinya lagi. Membentuk bahaya yang
tak bisa kuhindari.
.
Di depan cermin, aku terpejam. Tak sanggup
melihat apa yang ditawarkan masa depan.
.
2. Gambar Model Potongan Rambut
.
Bayang-bayang memilih di mana ia akan
tumbuh. Aku menyiapkan petak tanah
subur di kepalaku.
.
3. Gunting dan Sisir
Bayang-bayang menjelma
tunas yang tumbuh di kepala.
Aku menyiraminya tiap pagi saat
berangkat kerja atau malam hari
ketika tak mampu memejamkan mata.
.
Beberapa tunas mekar menjadi bunga
dan aku menamainya. Beberapa lainnya
layu bahkan sebelum sempat kuberi nama.
.
Aku memotong yang telah layu, dan merapikan
bayang-bayang di kepalaku. Beberapa tumbuh
lagi menjadi tunas, lalu mati, lalu tumbuh
sekali lagi—juga tunas yang kunamai
dengan namamu.
.
(2021)
W Priatmojo lahir di Bekasi, 23 April 1993. Aktif dalam Gerakan Menulis Buku Indonesia. Ia menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media.
Leave a Reply