Koran Tempo, Puisi, W Priatmojo

Bermalam di Pasar Swalayan

4.3
(6)

Bermalam di Pasar Swalayan

.

1. Rak Bunga

.

Harum bunga-bunga mewarnai kaca

dan kita adalah serangga.

.

Harum itu tumpah juga ke lantai

dan dinding pasar swalayan.

Menghadirkan bayangan rumah

dan membangunkan rasa lapar

kita yang purba.

.

Kita lekas

menghisap nektar hingga tandas.

.

2. Rak Buah dan Sayuran

.

Mata kita adalah ruang kosong dan dingin.

Warna buah dan sayuran adalah lengan

atau selimut yang menghangatkan.

.

Kau selalu berharap hidup lama.

Aku hanya berharap masa depan

ada bagi kita.

.

Barangkali, masih ada jejak keabadian

pada apel yang mengkilat itu.

.

Kita lupa, siapa yang kemudian

telah mengatakannya.

.

3. Gerai Roti

.

Harum gandum membuat rasa lapar kita

semakin menguat. Musik mengalun lambat,

dan langkah kita terasa berat. Kita memutuskan

bermalam di sini. Aku menyiapkan nyala api,

menemani kita bercerita hingga pagi.

.

Kita mesti membangun kemah!

.

Tapi kau senantiasa memimpikan,

kita adalah Remus dan Romulus.

Kau ingin membangun kota baru,

di antara rak tisu toilet dan kapur barus.

.

4. Rak Bumbu Masak

.

Dua jam setelahnya, api kita

masih tinggi menyala. Masih sanggup

untuk memanggang beberapa buruan.

.

Kau membidik dua. Lekas habis kita makan.

Beberapa buruan kaubawa lagi setelahnya—lalu lagi,

dan lagi, dan begitu seterusnya.

.

Api padam. Seluruh bumbu sudah

kita gunakan. Kita tercenung menyadari,

separuh pasar swalayan sudah kita habiskan.

.

—Adakah di luar sana, hal yang tiada habis-habisnya?

.

5. Rak daging dan ikan

.

Lalu aku membayangkan nelayan. Jutaan ikan

melayang di atas kepalanya. Di bawah perahu

mereka, jutaan plastik berenang-renang.

.

Tapi kita tak akan mampu menjadi nelayan.

Kita tak akan paham kerinduan kail pada ikan.

Baca juga  Batang, Alas Roban, Terompet, dan Lainnya

Kita hanya paham soal lapar, dan laut

adalah meja makan.

.

6. Rak Obat-obatan

.

Kita adalah obat yang saling menyelamatkan.

.

Aku tak pernah bisa lepas dari obatmu

yang menenggelamkanku ke dalam mimpi,

lalu kau menjelma sebagai kopi

atau cahaya hangat di pagi hari.

.

Aku mencoba menjadi obat yang

menjauhkanmu dari mimpi

dan lamunan masa depan.

.

Dan aku, setengah mati,

membuatmu ketergantungan.

.

7. Kasir

.

Di pintu keluar, orang-orang mengambil

barang berharga dari tas dan dompetnya,

seakan di kepala mereka hanya tersisa

barang bekas yang tak pernah dipakai

sekian lama.

.

Lalu kau melihat, di dalam kepalaku,

pasar swalayan itu telah habis terbakar:

menjadi abu.

.

(2020)

.

Memesan Masa Depan di Pangkas Rambut

.

1. Menghadap Cermin

.

Di depan cermin, aku terpejam. Seperti

saat menikmati lagu favorit yang sering

berulang-ulang kau putar. Pita kaset itu

telah putus, dan tak dapat disambung

kembali.

.

Ingatan-ingatan yang patah menyusun

dirinya lagi. Membentuk bahaya yang

tak bisa kuhindari.

.

Di depan cermin, aku terpejam. Tak sanggup

melihat apa yang ditawarkan masa depan.

.

2. Gambar Model Potongan Rambut

.

Bayang-bayang memilih di mana ia akan

tumbuh. Aku menyiapkan petak tanah

subur di kepalaku.

.

3. Gunting dan Sisir

Bayang-bayang menjelma

tunas yang tumbuh di kepala.

Aku menyiraminya tiap pagi saat

berangkat kerja atau malam hari

ketika tak mampu memejamkan mata.

.

Beberapa tunas mekar menjadi bunga

dan aku menamainya. Beberapa lainnya

layu bahkan sebelum sempat kuberi nama.

.

Aku memotong yang telah layu, dan merapikan

bayang-bayang di kepalaku. Beberapa tumbuh

lagi menjadi tunas, lalu mati, lalu tumbuh

sekali lagi—juga tunas yang kunamai

dengan namamu.

.

(2021)

W Priatmojo lahir di Bekasi, 23 April 1993. Aktif dalam Gerakan Menulis Buku Indonesia. Ia menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!