Cerpen, Destriyadi Imam Nuryaddin, Tanjungpinang Pos

Selamat Jalan, Lao

4.3
(7)

BERHADAPAN dengan seorang pencuri seperti dia tidak membuatku serta-merta berniat menangkap atau melarikan diri. Duduk di atas bangku panjang bawah batang salam yang lebat ditambah siuh angin lalu lalang, seharusnya membuatku tertidur pulas. Mendengar ia mengungkapkan keadaan di dalam sana, membuat mataku segar kembali. Belum lagi tato yang berada di lengan tangan sebelah kanan dan kiri yang semula indah dan gagah tiba-tiba kehilangan karisma ketika kami saling terdiam sejenak memandang sebuah foto dari layar gawainya. Tubuh bugar yang biasa menghadapi gelombang Laut Cina Selatan saat mencuri ikan itu sementara waktu luluh akan keadaan yang sedang dihadapinya sekarang.

***

Hampir setiap sore, Lao datang lebih awal bersama kawan-kawan yang lain daripada tetangga yang ada di sekitar lapangan voli. Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti siapa nama lelaki itu ditambah lagi dia tidak mengerti bagaimana cara memberi tahu nama aslinya. Ibu-ibu di lapangan voli itu yang pertama kali menamainya sebagai Lao. Alasannya menurut informasi salah satu ibu-ibu itu, Lao berasal dari Laos. Juga kepada kawan-kawan Lao, ibu-ibu itu dengan sesuka hati memberi nama panggilan.

Jarak antara lapangan voli di dekat rumahku dan kantor kejaksaan tempat mereka ditahan tidak seberapa jauh. Hanya perlu lima belas menit berjalan kaki. Sampai di sana mereka berteduh duduk di pinggir lapangan sambil menggoreskan sesuatu di rumput, hanya garis lurus atau mengarsir sesosok yang sudah lama mereka rindukan. Beberapa di antara mereka juga ada yang masih sempat menghabiskan sebatang rokok yang didapat dengan dua cara, meminta kepada petugas dan beli dari hasil uang jualan mereka. Kedatangan mereka membuat tetangga lainnya merasa senang karena permainan voli setiap sorenya dapat dimainkan enam lawan enam.

Bahkan sampai harus menunggu selesai satu set untuk dapat giliran bermain. Sebelumnya, ibu-ibu kadang harus rela jika bermain empat lawan empat. Badan besar yang dimiliki Lao membuat lawan di seberang net menjadi takut, lebih lagi kawan-kawan Lao yang ada di pihak seberang kebagian yang kurus-gendut.

Tapi sebenarnya badan besar Lao tidak menjamin ibu-ibu yang satu tim bersamanya dipastikan menang. Sebab untuk urusan passing saja, Lao harus menyadari bola yang memantul dari tangannya membuat toser kewalahan mengejar ke arah yang tak dapat ditebak ke mana. Sempat sekali Lao meminta maaf karena passing-nya itu pas mengenai wajah toser, yang posisi sore itu diisi oleh ibu-ibu yang juga kaget menerima bola yang melaju ke wajahnya. Kehadiran mereka seringkali membuat ibu-ibu capai bukan karena serius bermain tapi menertawai tingkah mereka yang aneh, menirukan bahasa Indonesia dengan sumbang, saling memarahi di antara mereka karena bermain dengan kacau, jatuh tersungkur mengejar bola, dan menabrak net. Menjelang magrib Lao dan kawan-kawan harus segera pulang ke tempat tidur mereka sebelum petugas mengecek satu per satu dan mendapat imbalan bagi yang terlambat. Walaupun kami bermain di lapangan tanah hanya bergaris tali tambang ukuran sedang dengan net yang sobek sana-sini tapi untuk permainnya kami sudah bisa setingkat Asia Tenggara. Bagaimana tidak, dalam satu lapangan saja sudah ada beberapa perwakilan negara seperti Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, meskipun sebenarnya mereka adalah pemain amatir sekaligus pencuri ikan di Laut Cina Selatan. Sepanjang sore di hari-hari lain, ibu-ibu yang bermain voli atau orang-orang di sekitar tidak ada yang pernah melarang mereka untuk turut bermain hanya karena mereka telah mencuri. Malah kehadiran mereka membuat lapangan voli menjadi ramai dan tiada habis tawa. Mereka juga merindukan suasana semacam itu, berbaur di tengah yang lain sekalipun orang-orang membercandai mereka dengan bahasa yang tidak dimengerti. Tak ada masalah bagi mereka, karena hal itu yang akhirnya membuat Lao dan kawan-kawannya bahagia seakan-akan mereka lupa bahwa mereka seorang tahanan. Pikirnya, mungkin menertawakan tingkah lucu mereka oleh penduduk yang mereka curi ikannya adalah permintaan maaf sekaligus hukuman paling bahagia.

Baca juga  Do Gani dan Kota Idi

Bagi kami, Lao dan para ABK kapal-kapal ikan ilegal dari negara berbeda-beda yang ditangkap saat mengambil ikan di wilayah Laut Cina Selatan sudah menjadi pemandangan biasa ketika mereka berkeliaran di jalanan. Kesulitan berbicara dengan kasir supermarket atau toko kelontong, berjalan di pinggir jalan raya sambil menjajakan sapu lidi dan ayunan rajut yang mereka buat sendiri, sering juga mereka berjalan jauh menenteng beberapa bungkus kantong plastik hitam dari dalam pasar, juga kemampuan mereka membuat miniatur kapal dan rajutan tali berukuran kecil dan warna-warni yang dibentuk menyerupai lobster atau hati dijajakan sepanjang jalan raya tidak membuat penduduk sekitar menjauh malah barang-barang itu dibeli karena dua hal, hasil kerjaan tangan mereka yang bagus atau kasihan. Dari hasil penjualan itulah mereka mendapatkan uang untuk sekadar membeli rokok atau ransum, sambil mereka mencari cara bagaimana uang kiriman dari keluarga sampai di tangan.

Tidak sebatas di lapangan voli saja. Lao dan yang lain sering main ke rumah hanya untuk mencari tempat teduh yang benar-benar tenang. Barangkali mereka juga butuh sosok wanita yang memberi perhatian. Sebab di sel tidak ada wanita. Sekalipun ada petugas seorang wanita, tidak ada kasih sayang. Ibu tidak pernah merasa terganggu, malah mereka diajak makan siang bersama. Walaupun Ibu sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan, tetapi tingkah mereka berhasil membuat Ibu tertawa sampai keluar air mata. Memanfaatkan pertemanan di FB, secara diam-diam dan hati-hati, Ibu membantu menerima uang kiriman dari keluarga Lao. Dan satu siang setelah mengabari melalui FB, Lao sendirian ke rumah mengambil uang itu, “Te-ri-ma kasih, Mama” ucapnya sebelum pulang.

Baca juga  Serpihan di Teras Rumah

***

Jari telunjukku menunjuk ke arah wallpaper gawai yang tiba-tiba menyala yang berada di tangan sebelah kanan Lao. Ia mendekatkan layar ke arahku. Seorang wanita memakai baju biru dan anak perempuan berambut hitam panjang sebahu terlihat tambah manis dengan aksesoris bando. Aku mengerti yang ia maksud dari foto itu adalah memberi tahu bahwa kedua orang tersebut adalah istri dan anaknya. Untuk meyakinkan apa yang aku terka, aku membuka kamus terjemahan daring lalu memilih penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa Laos. Lalu aku ketik kata rindu.

“Ya, ya. Lao khodid,” bibirnya melebar, kemudian kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. “Lao mau pu-lang,” ia berhasil menyelesaikan kalimat itu walau masih terlihat kaku. Ternyata ia tidak mampu menutupi kesedihan sekalipun ia sedang tersenyum.

Aku mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Meskipun aku harus mencari kata kunci yang dapat dimengerti Lao melalui kamus terjemahan daring. Kemampuanku mengartikan bahasa tubuh yang peragakan Lao sedang dilatih, setelahnya aku paham apa yang ia maksud.

Uang, jam, gelang, dan gawai milik Lao dirampas oleh seorang satpam yang badan seperti lidi kering. Lao tidak bisa melawan dan merelakan begitu saja barang-barang berpindah tangan. Gawai yang dipegangnya dibeli dari uang kiriman keluarganya. Kedatangan tamu tak diundang seperti Lao, membuat satpam itu berasa seperti bos. Pekerjaan tambahan seperti membeli rokok yang biasa ia lakukan secara otomatis berpindah tangan kepada Lao dan kawan-kawannya yang lain. Sesekali, satpam itu menyempatkan menumbuk perut Lao berkali-kali tanpa ia ketahui apa penyebabnya. Bisa jadi ingin melampiaskan sesuatu atau hanya iseng semata. Selama mereka di sana, Satpam merasa punya pesuruh yang penurut.

Baca juga  Pemanggil Air

Mungkin Lao tidak ingin lama-lama larut dalam emosinya itu, ia putuskan untuk pamit. Dari tangannya, ia menunjuk ke arah kantor tahanan dan kedua tangannya mengarah ke pipi sebelah kiri. Sebelum ia menjauh, aku memanggilnya dan langsung mengangkat tangan kanan membuka jari-jari seolah sedang melakukan smash. Setelah aku menunjuk ke arah lapangan voli yang ada di belakangku, ia semakin paham dan mengacungkan jari jempol ke arahku sambil berjalan kembali.

***

Seharusnya Lao menunggu setahun lagi sebelum dipindahkan ke Tanjungpinang untuk mengikuti proses persidangan selanjutnya. Namun berita kehilangan pompong milik nelayan ternyata mengejutkan ibu.

“Ia sudah berada di Laos. Berita kehilangan pompong tengah malam kemarin, Lao bersama kawan-kawannya yang membawa kabur.”

Untuk lebih meyakinkan, Ibu menunjukkan gawai ke arahku. Nasi yang semula sudah dalam genggaman kucurahkan kembali ke dalam piring. Lao mengirim pesan kepada ibu melalui FB, ia sudah di Laos dan mengirimkan foto bersama istri dan anaknya. Rajutan tali berbentuk hati bertuliskan nama Ibu yang bergantung di pintu kamarnya ternyata adalah salam perpisahan terakhir yang Lao berikan ketika mengambil uang kiriman.

Mata Ibu mengarah ke lapangan voli. Entah kenapa wajahnya begitu sedih pagi itu. ***

DESTRIYADI IMAM NURYADDIN, kelahiran Serasan, Natuna, 17 Desember 1997. Lulusan studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Saat ini aktif di komunitas Natunasastra.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!