Cerpen, Insan Budi Maulana, Republika

Ingin Pensiun dengan Damai

3.5
(8)

Rahmawati Lestari telah menjadi jaksa senior sejak beberapa tahun yang lalu. Ia menyadari, tuntutan hukuman terhadap terdakwa ada yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku meski tidak sedikit tuntutan berdasarkan pesanan atau perintah dari atasan, orang-orang “penting” yang terpaksa harus diikutinya.

Ada juga tuntutan pesanan dari keluarga korban agar terdakwa dihukum maksimal. Sebaliknya, ada pula dari keluarga terdakwa mengharapkan tuntutan yang ringan karena terdakwa menjadi tulang punggung keluarga. Ia tidak pernah lepaskan atau bebaskan terdakwa yang telah terpenuhi unsur-unsur pidananya.

Jelas, tuntutan ringan atau berat itu memengaruhi masa hukuman terdakwa yang tentunya tidak gratis. Sering ada imbalan yang ia terima dengan baik yang ia anggap sebagai rezeki. Ia meyakininya, tindakan itu bukan jual-beli perkara!

Kini, Rahmawati Lestari menyadari tindakannya di masa lalu dan ia bertobat! Ia berharap, Tuhan memberikan kesempatan kepadanya menjadi jaksa profesional dan amanah. Ia melakukan taubatan nasuha, beristikharah sebelum menuntut terdakwa.

Ia pun berkanaah. Kekayaan yang ia peroleh dari orang-orang yang pernah memberi rezeki kepadanya telah disedekahkan kepada lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. “Aku ingin hidup damai dan tenteram dan mengandalkan kehidupanku dari gaji bulanan saja, toh suami masih bisa memberikan uang belanja bulanan,” katanya dalam hati.

Sejak keputusan bulat hatinya itu, ia merasa tenteram walau sakit hipertensi dan diabetes tetap melekat.

***

Menjelang ia pensiun, atasannya meminta ia menangani kasus pengedar narkoba dari Cina. Ia dibantu oleh Sukoco, jaksa senior, dan Amir, jaksa junior, sebagai tim jaksa penuntut umum (JPU) untuk memproses perkara itu. Ia menelaah berkas perkara dengan seksama dan meyakini sementara bahwa para terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagai pengedar narkoba.

Rahmawati Lestari tidak bisa menolak perintah atasannya, tugas terakhir sebelum pensiun. Ia merasa tenang dan bersemangat mendengar wejangan atasannya agar para terdakwa dituntut secara adil. “Jika terbukti bersalah, tuntut hukuman mati,” kata atasannya.

Ia pun mewanti-wanti rekan JPU agar profesional dan menjaga martabat korps Kejaksaan. Ia sadar, menangani kasus narkoba terbesar itu perkara berat.

“Apakah tidak sebaiknya para terdakwa dituntut dengan hukuman seumur hidup, Pak Sukoco dan Bu Rahmawati? Kita perlu berikan kesempatan kepada para terdakwa bertobat. Dan untuk menjaga hubungan diplomasi yang baik dengan pemerintah Cina.” Amir mengusulkan kepada Rahmawati Lestari dan Sukoco saat mereka membahas tuntutan yang akan dibacakan kepada majelis hakim sehari sebelum persidangan.

Baca juga  Kupu-Kupu Gunung

Rahmawati dan Sukoco menanggapi dengan bertanya, “Loh kenapa hanya dituntut hukuman seumur hidup, Mir? Berdasarkan saksi-saksi dan bukti-bukti dalam persidangan telah terbukti secara nyata bahwa para terdakwa telah mengedarkan narkoba tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga di negara-negara tetangga. Pemerintah Cina pun memberitahukan bahwa para terdakwa adalah buronan interpol. Jika mereka kembali ke negaranya juga bakal dihukum mati.”

Seminggu setelah tuntutan dari JPU, para pengacara yang membela para terdakwa menyampaikan pembelaan dalam persidangan. Mereka mengingkari bukti-bukti yang pernah disampaikan pada persidangan sebagai milik para terdakwa dan keterangan saksi-saksi yang mengatakan bahwa terdakwa sebagai bandar narkoba.

Para terdakwa terpaksa mengedarkan narkoba karena tidak mengetahui isi barang-barang yang dibawanya dan keluarganya di Cina sedang mendapat ancaman jika tidak mengedarkan narkoba tersebut. Para pengacara yang mendampingi para terdakwa mengharapkan kepada majelis hakim agar mereka dihukum seringan-ringannya dan diberikan kesempatan memperbaiki kelakuannya.

***

Sehari menjelang putusan, di saat tanggal gajian, Rahmawati keheranan ketika memeriksa saldo tabungan di rekening banknya yang bertambah ratusan juta rupiah dari pengirim yang ia tidak kenal sama sekali. Nama pengirim hanya ditulis Ching Chang dengan catatan, “Terima kasih telah menuntut hukuman mati!”

Tak seorang pun tahu nomor rekening bank miliknya kecuali bagian keuangan yang ia yakin tidak pernah memberitahukan kepada siapa pun. Ia pun bertanya kepada orang bank tempat ia membuka rekening bank itu. Orang bank itu menyampaikan jawabannya, “Saya tidak tahu siapa pengirimnya, hanya diketahui itu berasal dari luar negeri, Bu.”

“Siapa yang mengirim uang sebanyak itu? Apa maksudnya? Jika dari sindikat terdakwa seharusnya meminta hukuman ringan, tetapi pesannya justru berterima kasih atas tuntutan hukuman mati yang diucapkan di persidangan,” gumamnya.

“Haruskah aku laporkan penerimaan uang itu kepada atasanku? Perlukah aku tanyakan kepada Sukoco dan Amir, apakah mereka juga menerima uang? Jika aku tarik uang itu, kepada siapa harus aku serahkan? Bagaimana aku menjaga integritas, profesionalisme, dan taubatan nasuha jika mereka tahu aku menerima uang? Mau ditaruh di mana mukaku? Aku ingin pensiun dengan damai, ahhh, kok susah ya?” Hatinya begitu bimbang.

Baca juga  Robohnya Surau Kami

“Tanpa ada kiriman itu, aku dan Sukoco sudah setuju menuntut hukuman mati kepada para terdakwa berdasarkan alat-alat bukti. Walau Amir mengusulkan para terdakwa dihukum seumur hidup, tetapi akhirnya ia menyetujui juga. Tidak ada alasan meringankan hukuman. Jumlah narkoba yang disita lebih dari 500 kg. Patut dituntut dan dijatuhi hukuman mati! Jika kami tuntut hukuman ringan bisa dicurigai masyarakat.” Rahmawati Lestari bergumam.

***

Pagi hari hujan turun begitu deras. Langit pun tampak gelap. Sesekali, petir menggelegar. Lampu ruangan sidang dinyalakan agar terlihat terang-benderang. Pegawai pengadilan pun mempersiapkan perangkat pengeras suara agar suara majelis hakim dalam persidangan dapat didengar dengan jelas, tidak terganggu suara hujan deras atau petir menggelegar. Pengeras suara di luar ruang sidang utama juga difungsikan agar masyarakat yang antusias ingin mengetahui putusan perkara narkoba yang menghebohkan itu dapat mendengarnya seksama.

Majelis hakim membuka persidangan pukul 10.00, membacakan putusan dengan kalimat pembuka, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Hakim menjelaskan perkara, data terdakwa, keterangan para saksi, bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, menjelaskan pertimbangan hukum dan alasan-alasan yang meringankan serta alasan-alasan yang memberatkan pemberian hukuman kepada para terdakwa. Dengan suara jelas dan lantang, akhirnya ketua majelis hakim memberikan keputusan hukuman mati kepada dua orang terdakwa, A Seng dan A Liang.

Penerjemah menerjemahkan putusan majelis hakim ke bahasa Mandarin kepada para terdakwa. A Seng menundukkan kepalanya, tetapi A Liang terlihat kaget dan kesal. Ia merasa dikorbankan oleh sindikatnya, meski mereka diberi tahu bahwa sidang itu telah diatur oleh sindikatnya.

“Kami akan pikir-pikir dulu Yang Mulia,” jawab para pengacara hampir serentak setelah berdiskusi sejenak dengan para terdakwa setelah ketua majelis membacakan putusan dan menanyakan sikap para terdakwa.

Tiba-tiba, ada seorang pengunjung sidang yang duduk di baris kedua pinggir-tengah bangkit dari duduknya. Ia menerobos aparat polisi yang duduk di bangku baris pertama dan mengambil dua bilah senjata tajam dari dalam tasnya dan memberikan sebilah kepada A Liang; kemudian ia menghampiri Amir, JPU junior sambil menghunus senjata tajamnya seraya berteriak dalam bahasa Mandarin yang artinya, “Pengkhianat! ” Amir mengelak, langsung mundur, menepisnya ke arah kiri dan senjata tajam itu mengenai dada sebelah kanan Rahmawati Lestari yang tak sempat menangkisnya.

Baca juga  Kaki Sewarna Tanah

A Liang yang menerima senjata tajam dari pengunjung itu menyeruduk ke anggota majelis yang duduk di sebelah kanan ketua majelis yang telah menerima uang dari anggota sindikat narkoba. Ia menghindar, sambil melemparkan berkas-berkas yang ada di meja sidang kepada A Liang yang lebih rendah posisinya dibandingkan posisi meja majelis hakim.

Seketika terjadi kehebohan di ruang sidang, di saat hujan semakin deras! Dua orang polisi yang duduk dibangku pertama langsung mencabut pistol dan menghujamkan timah panas kepada pengunjung yang menusukkan senjata tajam kepada JPU. Seorang polisi lain menembak A Liang. A Liang dan pengunjung yang menusuk Rahmawati tergeletak di ruang sidang bermandi darah.

Rahmawati Lestari terduduk lunglai sambil memegang dada kanannya yang berlumuran darah ditemani Amir dan Sukoco yang memberikan sapu tangan untuk menutupi lukanya seraya memberikan semangat agar Rahmawati tetap sadarkan diri. Polisi segera membawa A Seng, terdakwa, ke ruang tahanan dan mengantarkan majelis hakim ke ruangan hakim. Ruang sidang bersimbah darah!

Berselang beberapa menit kemudian, petugas medis dan beberapa pengunjung sidang membantu polisi membopong Rahmawati Lestari ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Para pelaku pembunuhan tetap tergeletak menunggu tim penyidik kepolisian tiba.

Tak berapa lama muncul di medsos grup para jaksa dan teman kuliah Rahmawati: Innalillahi waina illaihi rojiun, semoga husnul khatimah. Sedangkan media elektronik Humas Pengadilan memberitakan, “Para majelis hakim selamat. Satu pelaku penusukan, dan A Liang, terdakwa, tewas oleh polisi yang bertindak tegas. Sementara itu, Ibu Rahmawati yang dilarikan ke rumah sakit masih dalam perawatan tim medis. Kami mohon doanya.” ■

Insan Budi Maulana, praktisi hukum, dosen di FHUI, dan FH Usakti. Telah menulis lebih dari 15 buku tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Cerpennya pernah dimuat di Republika dan ada yang diterbitkan di Urban (is) me pada 2020, sekumpulan cerita pendek alumni Kelas Cerpen Kompas 2018.

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!