Achmad Al Hafidz, Cerpen, Fajar Makassar

Kunang-Kunang di Bukit Cahaya

4.8
(5)

Aku duduk di depan rumah. Rumah tembok ini menghadap pada sebuah bukit. Malam Sunyi tidak seperti biasanya dan angin berdesir kencang kadang pelan. Lampu kecil di angkasa serta remang-remang cahaya ditemani bulan yang hampir sempurna menerangi bukit yang membawaku kepada lamunan dan rasa penasaran. Remang-remang itu samar hilang berulangkali diterpa angin dengan cahayanya yang memberikan pencerahan di tengah gelapnya malam.

“Nduk, cepat masuk sudah malam. Kamu besuk terlambat sekolah lho.”

Tiba-tiba panggilan Ibu membuyarkan lamunanku. Aku masih menaruh tanda tanya dengan cahaya remang-remang tepat di puncak bukit itu. Berdenyut di kegelapan malam. Dihempas angin sehingga terlihat samar lalu terang berulang kali. Seakan memberikan kesunyian yang nyaman. Kadang seseorang perlu berhenti sejenak untuk berhenti dan mengamati alam.

“Manusia hanya bagian terkecil dari dunia dahsyat ini,” pikiranku larut dalam sunyi.

“Nduk, cepat masuk nanti kamu masuk angin. Sudah jangan melamun di luar. Emang kamu lagi melamun apa, Nduk?” Ibu heran mengapa akhir-akhir ini anaknya yang manis, ceria, cerewet lebih suka merenung malam-malam memandangi bukit cahaya.

“Ndak ada apa-apa, Buk, Sumirah hanya memandangi bukit cahaya itu.” Aku sambil menunjuk ke arah bukit itu.

Hari itu Ibu sedang menjahit beberapa celana ayah yang sedikit robek karena sudah bertahun-tahun Ayah tidak punya uang untuk membeli celana baru. Sambil aku membuatkan Ibu secangkir teh. Aku juga memandang Ibu yang sedikit lelah menjahit dua celana itu kemudian aku bertanya-tanya cerita tentang Bukit Cahaya.

Lantas Ibu bercerita tentang riwayat Bukit Cahaya itu. Tepat di atas bukit terdapat padang ilalang yang dipenuhi oleh kunang-kunang. Di tempat dimana cahaya tak pernah padam merupakan tempat paling suci. Dari mulut-mulut warga desa, bahwa besok akan datang anak-anak bukit cahaya turun dan menari-nari. Mereka akan bermain permainan tradisional di setiap gang lalu berjalan beriringan kembali menuju bukit kembali. Wajah mereka tidak kelihatan karena cahaya yang menyilaukan setiap warga desa yang melihat langsung hal ajaib ini. Anak-anak bukit cahaya seumuran atau lebih muda dari Sumirah. Wajah dan tubuh mereka sama persis, jadi takkan ada yang bisa membedakan mereka satu per satu. Tak ada yang tahu pasti asal-usul darimana anak Bukit Cahaya ini muncul dan mereka bisa muncul kapan saja. Tapi satu hal pasti, di atas bukit sana ada tempat dimana Swargaloka berada.

Baca juga  Darah Daging

“Lalu apa yang terjadi setelah itu, Bu?” Sumirah menyimaknya dengan serius.

“Mungkin besok saja ini sudah larut malam nanti kamu terlambat sekolah.” Suara datar Ibu yang sedikit menegas membuatku mau tak mau beranjak ke kamar dan melanjutkan tidur.

Benar saja setelah senja usai dan malam menyergap orang-orang sudah berkumpul di depan rumah mereka menyaksikan Anak-Anak Bukit Cahaya itu menari-nari, seperti tidak ada beban hidup yang harus ditanggung, Cahaya mereka emas dan kehijau-hijauan, beriringan bergandeng tangan menulusuri setiap gang kota, hutan kota, alun-alun, serta jalan raya. Sekejap kota menjadi terang emas dan kehijau-hijauan. Aku mengikuti beberapa warga mengikuti Anak-Anak Bukit Cahaya itu. Aku sangat gembira melihat mereka. Beberapa orang menggunakan kacamata hitam untuk melihat pemandangan yang jarang sekali karena cahaya dari tubuh mereka yang terlalu terang. Turis- turis mengabadikan setiap momen dengan kameranya. Setiap televisi menyirakan berita munculnya Anak-Anak Bukit Cahaya ini. Tak seorang pun berani menyentuh atau memegang Anak-Anak Bukit Cahaya ini karena peristiwa satu tahun lalu, dimana ada Suami Istri yang sudah lima tahun menikah dan tidak kunjung dikaruniai seorang bayi. Kemudian sang istri meminta Suaminya untuk mengadopsi satu saja anak dari Bukit Cahaya itu. Tapi apa yang terjadi mereka berdua hilang lenyap saat orang-orang asik melihat Anak-Anak Bukit Cahaya. Tiba-tiba tubuh mereka berubah menjadi kunang-kunang yang mengiringi Anak-Anak Bukit Cahaya menari dan bermain melewati setiap sudut kota.

“Jangan sampai anak kalian mendekat atau didekati Anak-Anak Bukit Cahaya!” teriak seorang Bapak di tengah kerumunan orang melihat Anak-Anak Bukit Cahaya. Anak-Anak Bukit Cahaya selalu menghipnotis anak-anak untuk ikut dengan mereka. Anak buangan, anak jalanan, dan anak rumahan sekalipun jika mereka sudah merasakan bahagianya Anak-Anak Bukit Cahaya sekejap mereka dihipnotis ikut menari dan bermain hingga kembali ke Bukit Cahaya. Konon Anak-Anak Bukit Cahaya akan mengambil anak yang merasa resah sedih dengan kehidupan mereka. Mereka juga akan mengambil beberapa anak yang asal muasalnya dari Bukit Cahaya. Di kota ini banyak anak-anak adopsi yang berasal dari bukit Cahaya sendiri. Banyak juga yang membuang bayi atau janin di Bukit Cahaya agar makhluk kecil ini abadi lalu diadopsi orang lain yang meminta di bukit itu.

Baca juga  Cerita dari Kampung Petalangan

“Adakah yang melihat putriku Sumirah?” ibu mencari anaknya yang pamit tadi.

“Ada orang yang sedang mencari-cari anaknya, lihat ibu itu. Sepertinya akan ada yang hilang malam ini. Mungkin dia bukan …” hanya perdebatan beberapa orang di sekitar peristiwa malam itu.

Aku ikut bermain menari mengikuti Anak-Anak Bukit Cahaya itu.

“Sumirah, berhenti…” Ibu terus memanggil namaku tapi seakan semua hal hanya tentang kebahagian abadi yang disungguhkan Anak-Anak Bukit Cahaya itu. Ibu terus berlari mengikutiku tapi aku tak sadar jika Ibu yang kucinta kusayang ada di sana. Ibu yang merasa putus asa karena tak sanggup lagi berlari menjemputku akhirnya tertunduk. “Ya, Tuhan, jika ini yang terbaik maka aku tidak bisa mencegahnya.” Ibu pulang duduk di mejanya sambil berpasrah merenung.

Aku sudah tak sadarkan diri. Tubuhku kulihat sudah menjadi hijau keemasan. Akulah salah satu Anak Bukit Cahaya itu. Aku dibuang oleh Ayah dan Ibu sebelum orang tuaku sekarang. Aku adalah hasil cinta yang gelap, tetapi beruntung aku bersinar di atas ini memandang langit yang indah dan akan terus menerangi kota ini. (*)

Achmad Al Hafidz, lahir 14 Oktober 1999. Karya prosa pertamanya dimuat di Radar Bromo, 2021, bermukim di Pati dan aktif dalam komunitas literasi Ranah Aksara. Ig: @achmad_alhafidz14

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!