Arafat Nur, Cerpen, Jawa Pos

Undangan Bertemu Teman Lama

3.2
(6)

Teriak kawanan beruk yang ditingkahi kicau dan cericit burung-burung memecah kesunyian rimba di pagi hari.

MUBARAK yang mengenakan jaket gelap, celana jins hitam, dan sepatu kulit melangkah sendirian meninggalkan barak dengan sisa empat prajuritnya yang masih hidup. Embun tipis yang tersangkut di dedaunan dan rumput menyaput celana jins dan bawahan jaket yang menjadikannya sedikit lembap. Begitu tiba di kampung terdekat nanti dia segera menanggalkan jaket dan sepatunya dan cukup dengan kemeja biru lengan panjang tanpa alas kaki, layaknya petani.

Sekalipun sangat berbahaya, dia telah memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dia keluar seorang diri. Seorang diri lebih baik daripada dia turun beserta empat prajuritnya yang malah nanti segera mengundang perhatian orang-orang yang melihatnya. Terutama perhatian pasukan serdadu pengintai yang berkeliaran di mana-mana dan terus saja nekat memburu kelompok pejuang sampai ke pinggiran hutan.

Tentu saja Mubarak sangat sadar akibat yang menimpanya bila saja dia tertangkap pasukan musuh. Nasib baik bila serdadu langsung menembaknya mati sehingga dia terhindar dari derita penyiksaan yang sangat mengerikan dan menyakitkan, yang biasanya dimulai dengan pemukulan babak belur, berlanjut penyetruman di pos jagal, pemotongan anggota badan, hingga kemudian dikubur hidup-hidup.

Mubarak tetap membulatkan tekad, siap mempertaruhkan nyawanya turun ke kampung sendirian demi memenuhi undangan untuk bertemu seorang kawan lamanya. Khalid adalah kawan sekolah menengah atas yang sangat berarti dan sudah seperti bagian dirinya sendiri yang tidak bisa dipisahkan. Dia selalu terkenang-kenang dan merindukannya, melebihi kecintaan terhadap kekasihnya yang telah diperkosa dan ditembak mati oleh segerombolan serdadu musuh.

“Ini sangat berbahaya, Komandan. Sebaiknya Komandan menunda dulu turun ke kampung,” cegah seorang anak buahnya yang begitu cemas, beberapa saat sebelum Mubarak meninggalkan barak tempat persembunyian.

“Hmm,” deham Mubarak membuka lagi selembar surat tulisan tangan Khalid yang sudah lusuh.

“Lebih baik aku mati daripada membatalkan janji saudara sendiri. Bukankah kalian sudah mengenal baik siapa aku?”

“Kami tidak menyangka kalau isi surat itu bisa membuat Komandan jadi sangat nekat….”

“Hmm,” deham Mubarak terdiam.

Sebelum keluar, Mubarak membaca dan mengamati sekali lagi tulisan tangan Khalid yang begitu rapi. Berdasar tanggal yang tertera di situ, 15 April 2000, surat itu tiba ke markasnya setelah sebulan lebih lamanya tertahan sampai ke tangannya, yang berkali-kali berpindah tangan, mulai jasa kurir, petani, pembantu pejuang, mata-mata, prajurit rendah, prajurit menengah, hingga akhirnya diterima Mubarak.

Aku akan menemuimu sendirian di kedai kopi kampung kita. Kupastikan Selasa sore, 25 Mei 2000. Tidak akan meleset. Kau harus datang, tulis Khalid.

Ya, tepat hari ini!

Bila Mubarak berangkat sekarang, dia akan tiba di kedai kopi di kampungnya sore nanti. Mubarak pun melangkah keluar dengan pasti. Hanya sepucuk pistol buatan Italia yang menemaninya, yang diselipkannya di pinggang.

Baca juga  Seorang Tua yang Mengakhiri Cerita

Keempat prajurit yang berada di bawah pimpinannya itu sebetulnya sangat tidak setuju dengan tindakan komandan mereka yang bagaikan pergi untuk menyongsong bahaya. Mereka menganggap tindakan sang komandan terlalu berlebihan dengan mempertaruhkan nyawa hanya untuk bertemu teman lama yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan perjuangan mereka.

“Situasi kita sudah sangat terjepit, Komandan. Tapi, Komandan malah turun ke sarang musuh….” seorang prajurit lainnya coba mengingatkan Mubarak yang seketika menghentikan langkahnya di pintu.

“Aku tahu kalian sangat mencemaskanku. Percayalah, aku akan menjaga diriku baik-baik. Bila tidak memungkinkan turun, aku akan mundur dan kembali kemari lagi,” tegas Mubarak sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.

“Tapi, tindakan Komandan itu gila. Tidak masuk akal!” tiba-tiba saja seorang prajurit lain yang sedari tadi diam dengan wajah tegang tidak bisa mengendalikan diri.

“Benar,” sahut Mubarak. “Aku memang gila. Kalian bisa menganggap aku gila karena kalian tidak mengerti betapa pentingnya pertemuan ini bagiku. Sama juga seperti pasukan serdadu yang tidak memahami kenapa kita rela hidup bersusah payah, bahkan rela mengorbankan jiwa dan raga kita demi menjadi pejuang….”

“Tapi, ini masalahnya beda, Komandan.”

“Memang beda, sebab aku tidak bisa menjelaskannya dengan contoh lain yang lebih tepat. Aku hanya ingin kalian bisa memahamiku.”

Mereka semua terdiam dan membiarkan saja komandan mereka melangkah sendirian di pagi hari yang baru saja terang. Di mata keempat prajurit itu, mereka melihat pimpinan mereka pergi menyongsong bahaya besar. Tidak seorang pun di antara mereka yang mampu mencegahnya lagi.

“Dia hanya pergi untuk bunuh diri,” gumam seorang prajurit begitu kesal.

***

Waktu itu, setelah hampir tiga puluh tahun gagal melenyapkan kawanan pemberontak yang berkeliaran di Aceh, pemerintah mengirimkan ratusan ribu pasukan pemburu khusus yang membuat para pejuang terpukul mundur. Hampir setengah pejuang yang mati dalam pertempuran terbuka yang terjadi di kota-kota kecil dan kampung-kampung terpencil.

Memang tidak sedikit tentara pemerintah yang tumbang, tetapi pasukan demi pasukan baru terus dikirim ke tengah medan gerilya dengan kendaraan tempur dan senjata canggih yang membuat pasukan pejuang kemerdekaan terdesak dan terpaksa lari dan bersembunyi di hutan-hutan besar yang belum terjamah manusia.

Pasukan pejuang di bawah pimpinan komandan masing-masing terpecah belah. Banyak yang terpaksa menyerahkan diri karena terdesak dan demi menyelamatkan keluarga. Sebagian ditembak mati di depan umum. Hanya mereka yang setia, menyelamatkan diri di tengah hutan yang lantas hidup dalam kelaparan dan penderitaan, sebagaimana pasukan yang dipimpin Komandan Mubarak.

Namun, anehnya, dalam situasi yang demikian pelik, Mubarak malah turun ke sarang musuh hanya untuk memenuhi janji bertemu teman sekolah, yang katanya teman paling setia.

Baca juga  Kematian adalah Kebahagiaan

***

Khalid adalah teman sekelas yang tinggal satu kampung dengan Mubarak. Mereka selalu bersama tanpa mengenal waktu, dari saat di sekolah, pulang sekolah, pergi mengaji, hingga tidur satu bilik di dayah—pesantren tradisional di Aceh. Seusai subuh mereka baru pulang, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah bersama.

Pernah sekali waktu saat Mubarak sakit di sekolah, Khalid-lah yang menggendongnya pulang yang jaraknya lebih dari satu kilometer. Khalid bersikeras menggendong dan kadang menuntunnya perlahan-lahan melangkah ketika pinggang dan kakinya pegal.

Khalid yang terbilang keluarga berada tidak pernah membuat perhitungan dalam uang jajan. Hampir setiap hari dia memberikan setengah uang jajannya untuk Mubarak. Apa pun bantuan yang diberikan Khalid kepadanya bersifat tanpa pamrih, seolah-olah kebutuhan untuk dirinya sendiri. Bahkan, Khalid rela melepaskan seorang gadis yang sama-sama mereka cintai untuk Mubarak. Perihal inilah yang tidak bisa dipahami Mubarak hingga sekarang.

Lain waktu, selepas pengajian, Mubarak dan Khalid pernah mengikrarkan sumpah bahwa apa pun yang terjadi kelak mereka akan tetap menjadi saudara yang tidak bisa dipisahkan. Mereka membayangkan kelak ketika telah menikah akan membangun rumah saling bersebelahan agar setiap hari mereka bisa saling mengunjungi dan terus bersama.

Namun, itu semua dulu, ketika kedekatan mereka dipenuhi bayang-bayang harapan dan khayalan remaja labil yang setiap hari banyak membahas tentang bagaimana cantiknya gadis-gadis yang hendak mereka taklukkan. Dan ketika itu, sekitar lima belas tahun yang lalu, pemberontak hampir lenyap dibantai pasukan khusus pemerintah dan dikubur di tempat-tempat rahasia.

Tidak ada yang menyangka kalau kemudian pejuang kemerdekaan bangkit merajalela kembali yang membuat pasukan serdadu begitu sibuk dan berang. Pemberontak itu seperti rumput yang segera tumbuh hijau subur saat hujan. Dan Mubarak adalah generasi masa kini yang menuntut balas atas kekejaman pemerintah yang telah membantai saudara-saudaranya.

Lantaran memilih jalan perjuangan, sejak itulah hubungan Mubarak dan Khalid terputus tanpa jejak dan tanpa bekas. Mubarak sibuk bersama pasukannya berkeliaran di pinggir hutan yang sesekali turun mengintai dan menyerang markas dan tangsi serdadu, baik yang ada di jalan raya maupun yang berada di kota-kota kecamatan dan kota kabupaten.

Pernah sekali dia turun menyelinap ke rumah Khalid untuk mengajaknya serta berjuang. Namun, rumah Khalid telah kosong dan dikabarkan pindah keluar Aceh. Orang tua Khalid yang bekerja sebagai pedagang udang tiger tidak sanggup menghadapi rongrongan dan kekerasan, baik yang berasal dari kelompok pejuang maupun serdadu pemerintah yang menagih upeti liar dengan paksaan.

Begitu mendapati kenyataan bahwa Khalid telah meninggalkan kampung halamannya, Mubarak sangat terpukul layaknya orang yang mengalami patah hati. Dia masih mengingat sumpah, harapan, dan bayangan-bayangan indah yang pernah mereka rencanakan dulu. Semua itu menjadi kenangan yang tidak bisa dihapuskan dan Mubarak masih menaruh harapan. Kelak, ketika tanah ini telah merdeka, mereka bisa mewujudkan mimpi indahnya.

Baca juga  Selamat Hari Pahlawan, Mbah!

***

Dengan menyamar sebagai petani, Mubarak berhasil menyusup hingga ke kedai kopi di kampungnya tepat sore hari. Tidak terlalu sulit karena tidak ada hambatan di jalan. Sejumlah petani yang dijumpainya di ladang memberi tahu bahwa keadaan kampung aman-aman saja. Belasan tentara yang sebelumnya menduduki kampung itu baru saja ditarik ke kota setelah mereka menembak seorang pemuda yang dicurigai sebagai pemberontak, dan baru kemudian diketahui kalau yang mereka bunuh itu ternyata orang gila.

“Mubarak,” sambut Khalid yang langsung mengenalinya. “Kau sangat tinggi dan sangat beda sekarang!”

“Khalid?” balas Mubarak merentangkan tangannya. “Kau tampak bersih dan necis. Heh, hidungmu mancung sekali!”

Mereka pun berpelukan erat layaknya sahabat karib yang melepaskan rindu berat. Lalu, mereka duduk saling berhadapan di sebuah meja. Kedai kopi yang kini lebih luas dengan bangunan baru itu tampak sepi sekali. Hanya ada empat pengunjung yang kemudian pamit setelah menyalami Mubarak dan Khalid. Khalid tampak santai dan tenang, tetapi Mubarak kelihatan gelisah.

“Apakah kau sendirian?” tanya Mubarak kurang yakin.

“Tenanglah,” kata Khalid santai. “Di sini aman-aman saja. Makanya aku pulang. Aku pulang hanya untuk menemuimu. Kau pejuang yang sangat licin. Tidak ada pasukan tentara yang bisa mengendus jejakmu.”

“Ah, kau melebih-lebihkan,” balas Mubarak tersipu. “Kau kerja di mana?” tanya Mubarak mengalihkan perhatian.

“Itulah yang jadi masalah,” jawab Khalid seraya mengangkat tangannya seperti memberikan sebuah isyarat kepada orang-orang yang bersembunyi di suatu tempat, yang sedari tadi siap-siap menunggu perintah. “Sama sepertimu, aku juga komandan!”

Tiba-tiba saja dari dalam dan belakang kedai bermunculan belasan orang berpakaian preman lengkap dengan senjata laras panjang yang langsung diacungkan ke arah Mubarak. Seketika wajah Mubarak berubah sangat pucat dan tegang. Tubuhnya yang kurus dan dekil itu kaku tidak bergerak. Namun, Khalid tampak sangat tenang dengan roman mukanya yang tiada berubah sedikit pun.

“Bedanya,” lanjut Khalid menyeringai, “kau komandan pemberontak, sedangkan aku komandan dari pasukan pemerintah!”

Khalid menggerakkan ujung telunjuknya sebagai isyarat perintah yang sering digunakan komandan tentara untuk meringkus pemberontak dan penjahat berbahaya. (*)

Aceh—Ponorogo, 5 November 2020

ARAFAT NUR. Dosen bahasa dan sastra di STKIP PGRI Ponorogo. Novel Lampuki meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2011 dan memenangi sayembara DKJ 2010. Buku kumpulan cerpen terbarunya, Serdadu dari Neraka, sudah beredar luas.

Loading

Average rating 3.2 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. sebenarnya cerita sudah bisa tertebak kalau memang ending tidak jauh-jauh dari penghianatan.

Leave a Reply

error: Content is protected !!