Agus R Munggaran, Cerpen, Pikiran Rakyat

Bukan Rokok yang Membunuhmu, Nak!

3.8
(5)

PINTU lembaga pemasyarakatan tampak dingin, kokoh, dan menyeramkan. Seakan mewakili suasana di balik pintu itu. Perpaduan sepadan dengan benteng tinggi berkawat duri yang mengelilinginya. Belum lagi setiap sudut di atas benteng berdiri pos penjagaan. Selama 24 jam, pos itu selalu dijaga petugas bersenjata lengkap, pemukul, senapan otomatis, dan lampu sorot. Seperti tak ingin memberi celah bagi para penghuninya bermimpi untuk melarikan diri.

TIGA mobil tampak parkir di halamannya yang begitu luas. Mungkin pemiliknya mempunyai kepentingan sama denganku, membesuk keluarga atau entah siapanya.

Aku melangkah perlahan mengimbangi satu-satu langkah istriku. Sejak menginjakkan kaki di halaman lembaga permasyarakatan ini, istriku tampak sedikit gontai. Berbeda sekali saat tadi keluar dari rumah. Pada jadwal besuk kali ini menantu perempuanku tidak ikut serta karena cucuku, anak semata wayangnya, kurang sehat. Dia hanya menitipkan makanan kesukaan suaminya.

Setelah melapor serta mengikuti segala prosedur pemeriksaan yang sudah ditentukan, aku dan istriku diantar ke sebuah ruang tunggu. Di ruangan itu kami disuruh menunggu. Tak berapa lama anakku sudah berdiri di hadapanku dikawal oleh petugas.

Dia mempersilakan kami saling melepas kerinduan. Kutatap wajah anak tunggalku yang pucat dan sedikit kurus. Tak tampak rasa percaya diri dalam tatapan matanya. Jauh berbeda dibandingkan dua bulan sebelumnya, selalu ceria dan penuh percaya diri.

Istriku yang biasanya tegar tampak berurai air mata. Dia langsung memeluk anak kami tanpa berucap sepatah kata pun. Setelah lepas dari pelukan ibunya, anakku langsung menghampiri dan mendekapku.

“Apa kabar, Pa? Papa sehat?” suaranya lirih.

“Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak?”

“Baik, Pa, hanya agak susah tidur.”

Kembali kutatap wajah pucat anakku dengan perasaan tak menentu. Kami duduk berhadapan, terhalang sebuah meja yang tak begitu besar. Istriku menyodorkan makanan dari menantuku. Ada rasa haru yang sulit kulukiskan, andai saja tak ingat bahwa aku seorang laki-laki mungkin air mataku sudah tumpah.

Baca juga  Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon

Sungguh ini suatu pertemuan yang istimewa bagi kami. Meski penuh haru karena dalam kondisi berbeda tapi tetap membahagiakan, sehingga waktu kunjungan terasa begitu singkat. Kami pun harus taat pada aturan, meski hal ini tidak kami sukai, tapi perpisahan tetap saja terjadi.

Perjalanan pulang terasa begitu membosankan. Istriku yang biasanya banyak bicara, kali ini diam seribu bahasa. Sopirku sepertinya paham, hanya sesekali bertanya yang dirasa perlu.

“Kita langsung pulang, Pak?” ujarnya.

Aku hanya mengangguk. Setelah itu kembali hening, kembali pada lamunanku sendiri. Kurasa istriku pun tak jauh berbeda. Sepanjang perjalanan ingatan tentang anakku terus mengganggu. Betul-betul diluar dugaan kalau anakku harus mengalami nasib seperti sekarang, hidup terhina sebagai penghuni hotel prodeo. Godaan limpahan uang telah menjerumuskanya ke sana.

Dalam pandanganku sebagai ayahnya, perjalanan hidup anakku begitu mulus. Tidak begitu lama setelah selesai kuliah dia memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan bonafide dengan posisi bagus. Rezekinya seakan mengalir deras, bahkan sebelum menikah sudah mampu membeli sebuah rumah. Hal itu sangat membanggakanku sebagai ayahnya.

Sebagai seorang pria muda, anakku tampak menonjol dari kawan-kawan seangkatannya. Kehidupannya begitu lengkap. Jabatan tinggi, fasilitas rumah lengkap, didampingi istri yang cantik serta dikaruniai anak perempuan yang sehat. Hanya, kuperhatikan kesibukannya semakin meningkat.

Sulit sekali jika ingin bertemu dengannya. Kalau pun kami berkunjung kerap hanya bertemu dengan menantu dan cucuku yang belum genap satu tahun. Melihat keadaan seperti itu ada kekhawatiran yang aku rasakan tentang kesehatannya, rumah tangganya, bahkan tentang pekerjaannya.

“Biasalah, Pa. Sambil bekerja aku ada bisnis kecil-kecilan dengan rekan-rekanku. Mumpung ada kesempatan,” ungkapnya dengan senyum yang mengembang, ketika suatu saat aku tanyakan kondisi itu pada anakku.

“Syukurlah. Pesan Papa hanya satu, jangan pernah ada yang kamu langgar, dan ingat, Nak, jaga kesehatanmu.”

“Papa tenang saja. Percaya sama aku, tidak ada yang harus dikhawatirkan.”

Saat itu rasanya begitu menenteramkan jawaban anakku. Aku pun bukannya tidak punya alasan untuk mempercayainya, sejak kecil anakku sudah terbiasa hidup tertib. Kalau pun pernah nakal, tapi hanya sebatas kenakalan anak remaja. Aku jadi terkenang bagaimana semasa dia masih kelas dua SMP.

Baca juga  Ngaput

***

TAK jauh dari sekolahnya, anak-anak sekolah berseragam putih biru bergerombol di sebuah pertokoan yang rolling door-nya tertutup. Mungkin mereka sudah pulang sebelum waktunya karena ada pelajaran kosong. Seperti biasanya, saat anak-anak seusia mereka berkumpul, banyak hal yang mereka lakukan. Bercanda, tertawa bersama, dan bahkan merokok bersama.

Mereka bergantian mengisap rokok, mungkin satu batang diisap oleh empat atau lima orang dengan gaya orang dewasa.

Mobil kuparkir agak jauh dari mereka, karena kulihat Arman ada di antara mereka. Sama dengan kawan-kawannya dia pun ikut mengisap rokok. Ini kali kedua aku memergokinya sedang merokok. Padahal, pada kali pertama ketahuan merokok, dia sudah berjanji tidak akan melakukanya lagi.

Ingin rasanya aku hampiri anakku dan mendampratnya, tapi tentu dia akan sangat malu oleh kawan-kawanya. Aku khawatir akan berakibat buruk buat anakku.

Baru pada malam harinya aku panggil dia dan menasihatinya. Lagi-lagi amarahku tersulut, dia bersikukuh dengan pendapatnya bahwa itu sekadar pergaulan.

“Baiklah kalau itu mau kamu. Ambil ini!” sergahku setengah berteriak sambil melemparkan dua bungkus rokok ke atas meja. “Tapi ingat! Mulai besok kamu tak usah sekolah lagi. Terserah kamu mau jadi apa nantinya!”

Anakku hanya tertunduk diam mendengar ancamanku. Aku berharap dia bisa berpikir positif dan mau mengubah sikapnya, dan memang pada akhirnya dia pun berjanji dengan sungguh-sunguh tak akan mengulanginya.

“Sebaiknya kamu pun berhenti merokok, Pa,” ujar istriku pada suatu kesempatan lain. “Biar kamu jadi lebih sehat dan menjadi contoh baik buat anak kita.”

Sejak saat itu aku berusaha mati-matian menghentikan kebiasaan burukku. Berat memang, tapi demi anakku, demi harapan satu-satunya usaha itu aku jalani. Tidak hanya itu, aku pun lebih banyak memperhatikan anakku, bahkan berusaha jadi sahabat buat dia. Sering kami berbincang berdua tentang segala hal, kawan-kawannya, kesukaannya atau apa pun.

Baca juga  Fragmen Hirup

“Aku jarang melihat Papa merokok sekarang,” ujar Arman pada satu ketika di teras belakang rumah. Tempat ini jadi salah satu tempat favorit kami berbincang-bincang.

“Papa lagi berusaha menghentikanya. Papa ingin sehat dan panjang umur agar bisa menyaksikan keberhasilanmu suatu saat nanti.” Dia tampak terharu dengan ucapanku.

“Aku sama kawan-kawanku pun sekarang tidak pernah merokok lagi. Di samping takut kecanduan, pengawasan dari para guru pun semakin ketat.”

Akhirnya kerja keras dan perjuangan menghentikan kebiasaan burukku membawa hasil yang baik. Aku berhasil mengucapkan selamat tinggal pada rokok yang sudah menemaniku selama belasan tahun. Hal yang paling menggembirakan, anakku sampai menyelesaikan studinya dari perguruan tinggi tak pernah sekalipun kulihat menyentuh rokok.

***

BEGITU sampai di rumah rasa lesu menyergapku. Bahkan makan malam yang disiapkan istriku sama sekali tak aku sentuh. Tak biasanya aku merasakan hal seperti ini, begitu tersiksa oleh perasaan bersalah yang terus membayangiku. Aku menyesal kenapa begitu tak berdaya untuk mengingatkan anakku hanya karena silau dan bangga akan keberhasilannya. Bodohnya, aku malah sangat mensyukuri semua kesuksesan yang diraihnya.

Berbeda denganku, istriku tampak lebih tabah, bahkan sepertinya berusaha menenangkan kegelisahanku.

“Sudahlah, jangan terus bebani pikiranmu dengan hal itu, Pa. Kita serahkan saja semuanya pada Sang Pemilik.”

Kenyataannya sia-sia saja, kata-kata istriku tidaklah mampu mengusir semua kegelisahanku. Lama kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Rasa sesal yang kian dalam terus membayangiku. Andai aku bisa lebih keras memperingatkan anakku seperti saat melarang dia berhenti merokok dulu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. ***

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!