Galeh Pramudianto, Koran Tempo, Puisi

Mata Pelajaran Mendengar; Mata Pelajaran Menunggu; Selagi Ia Bertualang

5
(4)

Mata Pelajaran Mendengar

: Blue Velvet, Lynch

 

ia masih sekali lagi dan melakukannya untuk van Gogh

untuk dunia bising dan selalu ingin didengar

atau bukan apa-apa sama sekali

 

dari balik lemari dunia begitu misteri

menatap lewat lubang kunci

(guci yang dibungkus satin)

telah menganga setelah cinta

(merobeknya dalam-dalam)

 

ia masih mendengar tipis-tipis

dari mode siniar dan pertunjukan klandestin

telah menelusuk membran dan menjadi morse

bagi tubuh tropis yang hilang di pekarangan

 

ia hanya ingin didengar saja

tak harus disambar dengan lolong dan belati

khotbah dinihari atau ode bagi iota

sebelum semua terjadi

 

ia, atau selagi kita mewariskannya

didengarkan, ya hanya didengarkan

adalah nikmat tidur di ladang

dengan selimut rumput dan guling betung

tanpa menjadi lumbung

dengan durasi serba terhitung

 

2021

 

Mata Pelajaran Menunggu

: Oldboy, Park Chan-wook

 

di manakah kesedihan memiliki rumah

atau bertaut pada alasan

 

bila kesepian telah menghablur dendam

dalam penjara waktu sebrutal itukah bertalu-talu

 

rumah bagi kepahitan adalah pertanyaan

menggantung di langit-langit kamar

 

dari bawah tanah akar-akar geragas

batang pohon tumbuh menembus beranda rumah

 

meninggi dan hampir menantang langit pertama

seseorang tanpa nama mengambil kapak dari gudang tetangga

 

ia menebangnya diam-diam dari hari ke hari

menahan segala karena baginya secupak tak jadi segantang

 

ia angkut sisa batangnya untuk membangun gubuk seadanya

ia menemuiku setelah sebuah ratapan hanya berakhir di garba

 

terdengar tawa dari kejauhan dan merasa hidupnya,

hidupku dan hidupmu tak lagi sama.

 

2021

 

Selagi Ia Bertualang

: Alfred Russel Wallace

 

Baca juga  PESAN DARI SAPPHO

Aku menemuimu di Serawak

masih dengan kabut paralaks

 

Kau membawa surat perkenalan untuk dua Mesman

dan setelahnya adalah perjalanan menakjubkan

 

“Aku tinggal di rumah panggung dengan atap daun rumbia

sumur dalam di belakang untuk membersihkan segala macam demam

langit-langit serupa pelepah daun sagu, dan benteng Portugis di sekitaran,”

                                       tuturmu kala itu sambil merapikan perbekalan.

 

“Sebelumnya aku dibantu Allen,

di tanah kaya dan penuh teka-teki ini

aku bertemu seorang terampil: kau Ali.”

                                     pujianmu membuatku mawas diri

 

Awalnya aku hendak sebagai juru masak

lalu menguliti burung dan menyimpannya

dengan rapi di setiap kemasan

 

Di cadas basah, di bawah jeram

ia menatap bintik ribuan warna mengepak

di tajuk-tajuk pohon, segalanya merekah

 

Badrun dan Baco pun demikian

mereka membawa kotak hasil tangkapan

dan senyum semringah tiada hentian

 

Pada peta

dari selat itu

ia mengarsir garis

 

Di Hindia Timur, di Ternate ini

evolusi singgah lalu pergi

menemu pangkal tanpa ujung

 

Aku mendaduh pada anak-anak peninggalan:

hewan telah begandering di tiap perburuan

dan Darwin yang kerap berhutang

 

Ia telah mengekalkan pengetahuan

lalu rumah-rumah berpindah

dari serangan malaria dan pariwisata

 

Di masa depan membayang ini

nyanyian hutan-hutan

semoga masih terdengar riang.

 

2021

 

Galeh Pramudianto, berdomisili di Tangerang Selatan. Pengajar dan bergiat di Penakota. Buku puisinya, Asteroid dari Namamu, beroleh Acarya Sastra 2019.

 

Baca juga  GERILYA KALIJAGA - DONGENG ARKEOLOG

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!