Alfiatun Umi Latifah, Cerpen, Radar Bojonegoro

Retak

3.7
(3)

Pernahkah kamu merasa ingin sendiri dan takut ditinggal sendiri dalam satu waktu yang sama? Menikmati sepi dari ingar bingar kehidupan. Namun saat yang sama takut bila kamu akan kehilangan orang kamu sayang karena mereka menganggap dirimu tak peduli dengan mereka.

DAN semakin kamu menyendiri, dirimu semakin dalam terjebak pada nyamannya kesunyian tanpa topeng. Lalu pada waktu yang sama, orang-orang yang menyayangimu dan kamu sayangi menjauh dan bahkan menghilang.

Aku pernah merasakannya. Cukup sering hingga selalu aku tepis hasrat indah kesendirian itu dan menyeimbangkan dengan kebutuhanku sebagai makhluk sosial. Semua berawal pada pagi acara minum teh.

Pagi itu aku membawa cokelat panas ke acara minum teh. Tidak berdosa kan membawa cokelat panas saat acara minum teh? Dewa tidak begitu menyukai teh atau kopi. Dengan pelan dan pasti, ia menyesap cokelat panas sedikit demi sedikit dari bibirku.

Aku pun mengulurkan pahit dan manis cokelat secara bersamaan ke bibirnya yang segera disambut dengan senyum bahagia. Aku tahu senyum bahagia itu bukan karena manis gula atau pahitnya cokelat. Tapi, hadirnya Dewi di sampingnya, yang juga menyesap cokelat tanpa gula.

“Nggak pahit Dewi? Mau tambah gula sedikit?” Dewa menepiskan anak rambut Dewi yang dimainkan angin.

“Aku suka rasa khas cokelat yang pahit. Cukup hadirmu menjadi gula alami untuk cokelat hidupku.” Dewi sering berbicara penuh makna yang tak pernah aku mengerti, meski kita memiliki nama yang sama. Kami sungguh berbeda.

Dewa hanya terus tersenyum dan mencium kening Dewi. Mereka sungguh bahagia. Bahkan ‘Dewa’ yang berada di genggaman Dewi pun tersenyum bahagia meski ia selalu mengulurkan cokelat pahit ke bibir Dewi selalu merah alami.

Selama Dewa dan Dewi berpelukan di sofa sambil menunggu sinar mentari pertama menyapa keduanya, aku dan ‘Dewa’ duduk berdampingan. Aku sangat bahagia berada di samping ‘Dewa’, dan terus membaca hingga hafal tulisan di tubuh kami berdua yang diukir sama.

“As long as I’m with you, I’m ready.” Aku tidak cukup memahami maknanya, tapi Dewi sering mengatakan hal itu berulang-ulang bersama dengan Dewa. Dari Dewi dan Dewa, aku tahu bahwa itu adalah simbol komitmen di antara mereka.

Dari sini aku yakin kalian pasti bingung dengan nama Dewa, Dewi, dan ‘Dewa’. Namaku ‘Dewi’, dengan tanda petik satu. Aku adalah mug milik Dewa. Aku diukir dengan foto mereka berdua dan sebaris kalimat komitmen mereka untuk selalu bersama apapun keadaannya.

Baca juga  Hikayat Kota Kabut

Sebaliknya ‘Dewa’ adalah mug milik Dewi. Kami kembar identik dengan warna biru gelap bagian dalam. Hanya ukiran nama yang membedakan kami. Aku menyayangi ‘Dewa’ karena beberapa alasan.

Sebenarnya ada dua alasan yang menjadi favorit, yaitu rupa kami yang sama. Aku bisa melihat diriku pada diri ‘Dewa’ tanpa perlu bercermin. Dan alasan kenapa kami diciptakan kembar dan berada di sini bersama. Ya di sini, di genggaman Dewa dan ‘Dewa’ di genggaman Dewi.

Dewa sering salah mengambil mug dengan ukiran namanya. Dan dia akan meringis ketika menyadari cokelat di mug itu pahit dan terukir namanya. Aku suka melihat wajah meringis Dewa saat terlambat menyadari ia meminum cokelat milik Dewi.

Pernah suatu kali, aku dan ‘Dewa’ berkumpul dengan cangkir lain saat acara minum teh bersama yang lebih besar. Seperti biasa, aku dan ‘Dewa’ membawa cokelat, bukan teh atau kopi. Ada banyak sekali mug, cangkir, gelas dan lainnya. Kami saling beradu ramai sekali di meja dapur. Aku menyadari keengganan ‘Dewa’ berkumpul dengan yang lain. Itulah kenapa selama sisa pagi itu aku selalu berada di sampingnya.

Tapi ‘Dewa’ pagi ini tak seperti ‘Dewa’ yang biasanya. Ia terkesan menjauh dariku. Atau aku dibawa menjauh oleh Dewa dari hiruk pikuk pagi yang seharusnya tenang seperti biasanya? Entahlah.

***

Setelah pagi ramai dalam acara minum teh bersama, aku tidak lagi pernah membawa cokelat panas untuk Dewa. Bahkan ‘Dewa’ pun juga berada di tempat yang sama denganku. Aku tidak tahu kenapa Dewa dan Dewi tidak pernah minum cokelat panas di pagi hari lagi.

Atau mereka sudah memiliki mug lain lebih indah dari kami. Aku marah pada Dewa dan Dewi jika sampai mereka menggunakan mug lain dalam acara cokelat pagi mereka. Adakah yang lebih istimewa dari kami? Yang dibuat dengan cinta dan terukir komitmen dan janji mereka.

Setiap Dewa membuka tempat gelas, aku selalu berharap Dewa mengambilku, menuangkan cokelat bubuk dan gula lalu menuangkan air panas ke dalam diriku. ‘Dewa’ yang disampingku kini juga mulai merana dengan sarang laba-laba di lingkaran birunya. Dan aku, keadaaanku tak lebih baik dari ‘Dewa’. Debu tipis kini mulai menebal di bagian tubuh luarku. Aku tidak berani melihat bagian lingkaran biruku. Aku tak sanggup membayangkan sarang laba-laba di sana.

Baca juga  Hidayah di Ujung Sya’ban

Sungguh aku tak tahan. Tidakkah Dewa dan Dewi sedikitpun ingat untuk sekedar mengelap kami. Ke mana saja mereka?

Entah sudah berapa lama aku dan ‘Dewa’ berada di dalam laci lemari ini. ‘Dewa’ sudah tak bisa diajak bicara atau bercengkerama. Rindunya pada cokelat pahit dan bibir Dewi yang tak pernah absen menyeruputnya tiap pagi sudah tak terbendung. ‘Dewa’ telah mati rasa. Oh bukankah kami adalah benda mati? Lalu apa jadinya bila rasa kami pun telah mati.

Hanya aku terus berusaha hidup. Mengenang cokelat panas dan lembut bibir Dewa serta senyumnya tak dapat didefinisikan hanya dengan satu kata bahagia.

Pagi ini aku mendengar barang-barang yang pecah. Atau mungkin sengaja dibanting. Oh Tuhan, apa aku dan ‘Dewa’ akan dibanting juga?

Kulihat Dewi dengan mata sembab dan air mata masih menebal di pelupuk matanya siap terjun membelai pipi halusnya. Ia membuka lemari. Dan dengan bibir bergetar ia mengambil ‘Dewa’, memasukkannya di tas paling luar.

Tampak olehku ‘Dewa’ terbangun dari mati surinya. Ia tesenyum, namun hanya sebentar. Senyumnya hilang berganti dengan segaris wajah sedih saat menyadari kami takkan bersama lagi menikmati sinar mentari pertama di pagi hari. Dan kami takkan mengulurkan cokelat panas ke bibir lembut Dewa dan Dewi.

Aku melepas kepergian ‘Dewa’ dengan diam. Apalagi yang bisa kulakukan selain diam? Aku terus mencoba menangkap pembicaraan Dewa dan Dewi dari jauh. Dewi berbicara di sela-sela isakannya.

“Sudah dua tahun kita bersama, dalam keadaaan apapun. Kau sendiri yang mengatakan kita akan tetap bersama meski orang tua tak merestui. Meski dalam kesulitan apapun kita tetap bersama. Tapi kenapa kamu berubah?”

“Aku nggak berubah, Sayang. Tapi keadaaan…”

“Nggak usah menyalahkan keadaan!” potong Dewi mengintimidasi. “Kita pernah berada dalam keadaan lebih sulit dari ini. Dan kita bertahan. Lihat ini! Lihat Wa!” Kulihat Dewi mengangkat ‘Dewa’-ku yang tak berdaya ke wajah Dewa. “Kamu masih ingat tulisan ini?”

Kulihat Dewa hanya diam menunduk.

‘Katakan sesuatu Dewa. Kumohon jangan biarkan Dewi pergi atau melakukan sesuatu pada ‘Dewa’-ku. Kau akan menyesal nanti’ rintihku yang pasti tak akan didengar oleh Dewa.

Pyar!

“Ini semua bullshit! Omong kosong!” Dewi melempar ‘Dewa’ entah kemana.

Baca juga  Maling Juga Manusia

Aku terkesiap mendengar suara tubuh ‘Dewa’ yang pasti kini tak lagi utuh. Aku masih sempat melihat tetes air mata ‘Dewa’ sebelum ia hancur dilempar Dewi. “Kita cukup sampai di sini, Wa. Kamu bukan Dewaku yang kukenal.”

Dan kulihat Dewi melenggang pergi dalam tangisnya. Aku marah! Saking marahnya aku tak bisa menangis. Aku marah karena aku tidak bisa mencegah Dewi untuk pergi. Aku juga marah pada Dewa yang tak melakukan apa-apa. Apakah dia benar-benar laki-laki? Apa dia benar-benar Dewa yang agung?

***

Setelah kepergian ‘Dewa’ dan Dewi, aku adalah pajangan. Aku bukan lagi mug berisi cokelat panas. Aku hanya pajangan bersama benda-benda lain di rumah ini. Benda-benda selalu ramai bergosip dan menertawakanku yang bertahan dengan perasaan seperti layaknya manusia.

Mereka selalu mencirbirku saat aku merindukan ‘Dewa’. Mungkin mereka ada benarnya juga, benda mati tak seharusnya punya perasaan layaknya manusia. Karena perasaan manusia itu plin plan. Bahkan cinta pun bisa se-plin plan itu.

Dalam riuh tawa mereka, aku mendekap diriku merindukan sunyi. Aku tak pernah nyaman dalam suasana ramai, apalagi tanpa ‘Dewa’ bersamaku. Semakin erat aku mendekap diriku. Sangat erat. Lalu aku rasakan retak di bagian tubuhku. Entah di mana. Namun retak itu tak lebih sakit dari hatiku yang tersesat dan takut dalam keramaian. ‘Dewa’ kamu di mana? Aku butuh kamu, aku ingin kamu di sini.

Bagaimana keadaan ‘Dewa’ku sekarang? Mungkinkah ia sudah pecah dan dibuang? Aku ingin kesunyian bersamamu, menikmati bibir lembut Dewa dan Dewi yang menyesap hangat cokelat di pagi hari, serta senyum bahagia setelah sesapan cokelat itu.

Aku rindu kesunyian kami berempat saat menunggu sinar matahari pertama menyapa tubuh Dewi yang menggigil dalam pelukan Dewa, dan membelai tubuh keras kami yang merapat bersedekap.

Kini tubuh kami sudah tidak utuh lagi seperti hati mereka. Aku yakin saat ini atau entah setiap pagi mereka saling merindu, namun terlalu egois untuk memulai bersama lagi. ***

Alfiatun Umi Latifah. Tinggal di Desa Sumurgung, Tuban.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!