Cerpen, Hafizh Pragitya, Koran Tempo

Laporan No. 72 (Distrik 437, 963, & 5)

0
(0)

Pesan incognito diterima

Dari M kepada Q

Aku tidak bisa menuliskan laporan perjalanan di dua distrik sebelumnya karena beberapa kendala—yang sebenarnya tak ingin kuceritakan. Namun, pencatatan terhadap lingkungan, iklim, populasi, fenomena, kebangkitan sekte atau kultus, dan khususnya perkembangan misi ini, seperti yang sudah kita sepakati, sangat diperlukan. Di sisi lain, harus kuakui, bahwa penulisan laporan ini bisa menjadi salah satu pelipur lara untuk menjauhkanku dari kesepian, trauma, kegilaan, dan takhayul yang sering mengganggu kepala juga jiwaku. Ya, kewarasan dan ketahanan kami para pustakawan memang benar-benar diuji dalam perjalanan misi ini.

Aku juga sudah dengar kabar yang kau dan atasan lainnya sengaja sembunyikan perihal banyak dari kami yang tidak kembali ke perpustakaan pusat, entah sengaja menetap termakan takhayul sejumlah kultus, menggila karena horor dari peperangan dan teror dari iklim ekstrem, tertangkap dan tersiksa (lalu kemungkinan besar terbunuh) oleh asosiasi penghancur buku, atau mati oleh makhluk-makhluk buas serta suku kanibal. Tak bisakah kalian berinisiatif untuk setidaknya memberi tahu kabar-kabar tersebut kepada kami yang mati-matian mengejar mimpi kita bersama? Tak peduli kah kalian pada kami yang menempuh ribuan kilo untuk mencari buku diambang kehancurannya? Atau, lebih baik lagi jika kalian menambahkan biaya perjalanan kami untuk pangan, sandang, senjata, transportasi, juga hal lain seperti bubuk merica dan bibit tanaman sebagai alat tukar di banyak sekali distrik. Aku harap saran ini bisa kalian pertimbangkan.

Sungguh, aku tidak bermaksud marah, tapi tekanan beberapa bulan terakhir ini, juga kurangnya dana, persediaan pangan, dan alat tukar seperti yang kusebutkan di atas, membuatku sangat frustasi. Namun, dari semua kesulitan dan keresahan dalam misi ini, yang paling membuatku tertekan adalah hasilnya. Dari Maret sampai September, setelah menempuh perjalanan ke banyak sekali distrik, aku hanya bisa menemukan dua buah buku: jilid kelima dari A la recherche du temps karya Marcel Proust dan Ziarah karya Iwan Simatupang—yang akan kukirimkan secepatnya setelah menemukan pengiriman teleportasi yang “bersedia” mengirimkan objek terlarang ini. Buku pertama kutemukan di distrik 437, sedangkan yang kedua di distrik 5. Yang tak berhasil kudapatkan dan keburu dibakar oleh asosiasi penghancur buku terdapat di distrik 963 (mungkin kau akan tercengang mendengar detail kisahnya).

***

Sebelum berhasil sampai di distrik 437, aku sempat terlibat perkelahian di distrik 358 dengan seorang anak buah saudagar air mineral yang hampir mendahuluiku untuk menggunakan teleportasi jika saja aku tidak membuatnya jatuh pingsan. Aku terpaksa melakukannya karena keberadaanku telah diketahui oleh beberapa intel yang bersemayam di tiap distrik. Jumlah intel makin banyak dan beragam, mulai dari gembel, orang pura-pura gila, pedagang organ manusia dan binatang buas, buruh oksigen buatan, sampai ke pemuka sekte. Kau tahu kan, pengisian energi teleportasi untuk mengantarkan sebuah objek, apalagi yang berdaging macam manusia, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kalau saja ia mendahuluiku (karena kita datang berbarengan), leherku sudah digorok oleh para penghancur buku itu.

Aku bersyukur bisa sampai di distrik 437 dengan teleportasi, meski menghabiskan lima bibit tanaman dan beberapa keping emas. Namun, harga sebegitu mahal memang sepadan karena jalur perjalanan darat menuju distrik gersang ini bisa langsung membuatku tamat karena radiasi yang masih aktif di gurun-gurun tak berpenghuni sekitar perbatasan distrik. Seperti yang kita ketahui, kawasan gurun di sekitar distrik 374-582 adalah sumber dan kawasan utama konflik Perang Jamur tiga belas tahun lalu yang menimbulkan perpecahan sejumlah suku juga fraksi politik dan keagamaan di berbagai sudut wilayah, termasuk distrik-distrik superior. Jadi, setelah membandingkan dengan transportasi udara yang tak jauh mahalnya dan masih ketat dijaga oleh banyak droid pengawas dan anggota asosiasi (karena penyelundupan bubuk merica dan sebuah buku berjudul Hewan-hewan Mutasi Pasca Perang Jamur [1]—yang masih berbentuk draf tulis tangan—beberapa bulan lalu), aku lebih memilih teleportasi yang sedikit lebih mahal.

Siang menjadi waktu berlindung dan waswas bagi penduduk distrik ini karena panas mentari yang tak segan-segan membakar kulit beserta isinya dan intensitas badai pasir yang akhir-akhir ini lebih banyak terjadi, sekitar tiga sampai lima jam sekali. Jadi, hampir dari seluruh aktivitas penduduk distrik dimulai sejak fajar tertidur sampai terbangun kembali. Kabar yang kau berikan perihal keberadaan enam jilid novel yang belum sempat kubaca itu (karena milikku, yang baru kubeli, juga ikut terbakar bersama seluruh isi perpustakaanku—brengsek!, benar adanya. Kebenaran itu kudengar di malam kedua aku menetap di distrik ini, tepatnya dari percakapan dua orang asing di kamar mandi kedai minum saat aku buang air besar. Dari percakapan mereka, aku bisa tahu bahwa dua orang asing itu akan melakukan penggeledahan rumah karena piutang si pemegang buku yang membengkak—kalau tidak salah karena biaya sewa tanah untuk ladang jagung yang belum lunas. Jika tak terbayar malam itu juga, maka enam jilid buku itulah yang akan jadi jaminan agar bisa dijual di pasar gelap. Setelah itu, langsung kusewa seekor kuda (karena biaya untuk motor atau taksi udara sangat mahal) untuk melaju ke kediaman pihak pemegang buku.

Baca juga  Skandal Parfum Nyonya Fin

Namun nahas, karena rumah si pemegang buku ternyata berada di kaki gunung yang cukup jauh dari kota, sesampainya aku di sana, darah sudah berceceran di dinding rumah berbahan kayu itu. Satu jasad wanita dewasa, sepertinya sang ibu, tergeletak di ruang depan dengan darah yang merembes dari perutnya. Satu jasad laki-laki dewasa, sepertinya sang ayah, tergeletak di dapur dengan lubang besar di bagian kepala. Dua jasad anak-anak, keduanya laki-laki, tergeletak di atas kasur dengan sayatan di leher masing-masing. Dan dari semua kebrutalan tersebut, aku tidak menemukan enam jilid novel yang sangat-sangat berharga itu. Aku tidak ingin menceritakan kejadian berdarah ini, tapi kedalaman diriku begitu terkoyak meratapi keluarga tersebut, yang jika kutemui duluan mungkin saja bisa kuajak berbincang perihal novel yang ingin sekali kubaca, yang jika kutemui duluan mungkin saja bisa kuselamatkan. Namun, melihat realitanya, kematian memang dekat, apalagi jika kau ikut melihat keadaan ladang dan rumah keluarga tersebut yang begitu terpuruk karena cuaca yang begitu ekstrem.

Kuputuskan untuk kembali ke kota karena tak lagi ada harapan dan karena fajar beberapa jam lagi akan menyingsing. Para bandit sialan itu sudah mengambil enam jilid novel tersebut dan mungkin saja sekarang sudah mengantarnya ke distrik-distrik lain untuk dijual ke orang-orang pemerintahan yang masih naif untuk membaca buku tapi juga menyetujui kemusnahannya. Di jalan pulang, belum begitu jauh dari kawasan ladang yang sepertinya gagal panen, aku melihat seseorang yang merangkak di atas tanah kering. Saat kudekati, ternyata orang tersebut adalah seorang anak perempuan; wajahnya lebam, bajunya compang-camping, tangan serta kakinya penuh luka dan darah. Sebelum bertanya apa yang terjadi padanya, aku teringat keluarga petani jagung itu, lalu bertanya-tanya apakah… tapi kusimpan pertanyaan itu dan langsung mengangkut tubuhnya. Sesuatu terjatuh dari dalam bajunya. Masih dalam posisi menggendong tubuh anak perempuan itu, kucoba cek apa yang terjatuh. Karena cahaya rembulan cukup terang, dari jauh sudah cukup tampak meski agak buram sampul sebuah buku yang hampir koyak. Aku terkejut. Dan di sanalah tergeletak jilid kelima A la recherche du temps karya Marcel Proust yang ternyata berhasil diselamatkan gadis kecil ini. Kusimpan buku tersebut, mengangkut anak itu ke atas kuda, lalu kami bergegas menuju klinik seorang tabib di pusat kota.

Sayangnya, aku tidak bisa bertukar sapa dan berterima kasih pada jasanya karena dia masih belum sadarkan diri. Kutitipkan kepada sang tabib sepucuk surat, dua bibit tanaman, dan sekantung kecil emas untuk biaya penghidupannya (yang kuperkirakan bisa cukup selama tiga sampai empat bulan). Lagi-lagi, dengan sangat berat hati, aku mesti merebut sebuah peninggalan terakhir dari keluarga seorang anak perempuan yang bahkan belum kutahu namanya. Aku masih gelisah dan bertanya-tanya kenapa tak kubiarkan saja buku itu jadi miliknya karena itu memang miliknya. Untuk apa misi pengumpulan buku ini berjalan jika anak perempuan itu tidak bisa membaca buku berharga miliknya? Ya, seperti yang kita tahu, alasannya agar tidak dimusnahkan.

***

Masih trauma akibat peristiwa nahas di distrik 437, kuputuskan untuk menenggelamkan diri sesaat dalam sebuah motel di distrik 999, sebuah distrik kumuh di wilayah selatan tempat semua orang bisa berleha-leha tanpa mengenal waktu siang karena asap pabrik-pabrik di sini begitu tebal hingga sinar matahari pun tak dapat tertembus untuk menyinari permukaan. Sungguh, aku tidak berbuat hal yang aneh-aneh, hanya sekadar minum beberapa botol. Toh aku sudah sengsara, itu sudah cukup memabukkan jiwa ragaku. Aku minta maaf karena tidak langsung menuliskan laporan dan mengirimkan buku itu padamu. Rasa penasaranku kepada buku itu saja pudar, apalagi untuk membolak-balik halamannya. Aku juga minta maaf karena tidak langsung menuju ke distrik selanjutnya setelah surat tugasku masuk ke saluran pesan incognito, karena saat itu pikiranku masih terpaku pada tiap ceceran darah dan daging yang membuncah di rumah keluarga petani jagung itu.

Tubuh dan pikiranku baru benar-benar bangkit ketika televisi motel menghadirkan pemandangan distrik tropis tempat tugasku selanjutnya, distrik 963. Setahuku, distrik itu masih memiliki beberapa daerah yang terhinggap radiasi akibat Perang Jamur, namun pemandangan di sana masih cukup indah (meski tak ada yang benar-benar indah saat ini). Dan sayangnya, pemandangan yang dihadirkan oleh siaran langsung di televisi itu bukanlah keindahan yang kumaksud, melainkan kobaran api yang sedang melahap tiap sisi kehidupan di sana. Dari siaran langsung tersebut, diberitakan bahwa cuaca ekstrem lah yang menyebabkan kebakaran dahsyat di setiap sudut distrik. Tanpa mengulur waktu, kurapikan seluruh barang (termasuk buku karya Prost itu yang sengaja kukeluarkan dari carrier agar menghantuiku), mengenakan pakaian, lalu langsung mencari teleportasi bawah tanah yang biasa digunakan untuk mengirimkan barang-barang ilegal. Sialnya, setelah sampai di sana, seorang imigran gelap telah mendahuluiku.

Baca juga  Rindu Menjelang Senja

Itu adalah satu-satunya teleportasi bawah tanah yang kutahu di distrik bobrok ini, dan butuh lima sampai enam jam untuk mengisi energi alat tersebut, jadi kuputuskan untuk langsung berlari ke stasiun untuk menaiki kereta cepat antar distrik [2]. Karena mengambil waktu sekitar tiga sampai empat jam perjalanan, meski penuh waswas untuk menghadapi resiko apa pun di distrik 963 yang sedang penuh kalut oleh kebakaran, aku hanya bisa diam meratapi kehancuran planet yang dua ratus tahun lalu meski sudah rusak masih tampak biru. Selama perjalanan, aku melihat kepulan asap tebal yang menutupi langit dari beratus-ratus corong pabrik di distrik 999 yang penuh laknat ini, hujan lintah di distrik 985 dengan ceceran lendir dan darah yang mengotori jendela kereta, perang antar sekte di distrik 973—kalau tidak salah antara sekte penyembah jamur dan sekte penyembah mesin, banjir bandang yang menenggelamkan seluruh distrik 968, dan kebakaran besar dengan asap mengepung langit di distrik tujuanku, distrik 963.

Dari peron stasiun, orang-orang yang masih bisa menyelamatkan diri berebut masuk ke dalam gerbong kereta, dan secara berlawanan aku mencoba keluar ke neraka dunia. Dan ternyata, dari belakang mereka, deretan droid pengawas sedang memukuli dan menembaki orang-orang ini. Aku benar-benar ingin turun dan mencari buku itu (kau mesti tahu itu), tapi penyiksaan dan percobaan pembunuhan massal ini sudah kelewat batas, dan batas itu belum bisa kutapaki. Jadi, tubuhku berhenti bergerak dalam gerbong, ditubruki orang-orang yang masih ingin hidup. Pikiranku masih mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dari televisi motel tadi pagi, yang kusaksikan hanya kebakaran, bukan pembunuhan massal macam ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Perihal kebakaran dan pembunuhan massal di distrik 963, ternyata berhubungan kuat dengan buku yang seharusnya kutangani.

Kereta akhirnya melanjutkan perjalanan, aku dan mereka yang selamat bisa pergi dari distrik jahanam itu beserta sepasukan droid pengawasnya yang brutal. Tentu jantungku belum berhenti memacu sadar dalam diri ini, tapi informasi adalah yang kubutuhkan saat itu. Setelah kutanya ke seorang wanita yang baru saja berhasil menidurkan anaknya, ia menjelaskan bahwa sudah lama orang-orang di distrik 963 menyembunyikan, mendiskusikan secara diam-diam, dan saling tukar buku-buku yang mereka miliki, dengan aturan tak resmi dari mereka bahwa satu keluarga hanya berhak memegang satu buku. Jadi, informasi darimu kalau hanya satu buku di distrik ini, yaitu Al-Hikayatal-Ajiba wa’l-Akhbar al-Ghariba, yang masih bertahan, ternyata salah. Ada ribuan bahkan ratusan ribu buku yang masih bertahan di distrik yang—seperti yang kubilang—indah ini. Masalahnya, ternyata sejak sebulan lalu, seorang intel menyelinap ke dalam distrik tersebut untuk mengamati keganjilan yang pesat dari kegigihan dan konsistensi penduduk dalam mengkritik keputusan-keputusan otoriter pemerintah distrik atau pun pusat. Karena kinerjanya berhasil, dinihari di tanggal 5 Mei adalah permulaan berkobarnya api jahanam bagi penduduk distrik 963. Yang dapat kusimpulkan dari peristiwa ini adalah: pertama, aku mengakui diriku salah dan tidak bertanggung jawab karena tidak langsung mengerjakan tugas untuk mencegah genosida dan bibliosida serta kehancuran peradaban yang besar; kedua, jika saja kau dan dewan perpustakaan pusat memberitahuku bahwa di distrik ini tiap keluarganya secara diam-diam mempunyai buku, aku bisa saja menyelamatkan peradaban besar ini! Mengapa informasi yang kau berikan bisa berbeda jauh dengan keadaan sesungguhnya? Aku tidak bisa habis pikir. Dan kesimpulan yang ketiga, di sisi lain, aku merasa takjub bahwa masih ada peradaban yang menjaga dan menghargai buku.

Sampai sebulan kemudian, aku masih mengikuti beberapa pengungsi dari distrik 963 yang akhirnya terpencar di banyak sekali distrik untuk menganalisa lebih dalam insiden yang masih tidak bisa kubayangkan itu. Hasil analisisnya akan kukirimkan setelah rampung.

***

Aku sempat kaget ketika membaca surat tugas yang kau berikan pada tanggal 2 Juni. Aku bertanya-tanya, bagaimana seseorang masih bisa menyimpan sebuah buku di distrik 5? Seperti yang kita ketahui, selain terkenal sebagai rahim para droid pengawas yang tiap harinya tak pernah berhenti melakukan produksi, sejak awal tahun, markas pusat asosiasi penghancur buku dipindahkan dan disatukan dengan markas pengawas di distrik ini karena terpilihnya Arnar Sveinn—biasa dipanggil Tuan Kindur karena rambutnya—sebagai Perdana Menteri distrik besar tersebut. Si Kindur itu sudah menjadi bagian dari asosiasi selama dua puluh dua tahun (lima tahun di akademi, sembilan tahun menjadi pekerja lapangan, sisanya mengatur strategi penghancuran buku—mulai dari operasi, pembiayaan, pengaturan kerja sama, sampai penentuan undang-undang), dan dikenal dengan kebengisannya karena tak pernah ragu membakar buku beserta orang yang menyimpan, yang pernah membaca, dan yang tahu keberadaan buku itu meski belum pernah menyimpan bahkan membacanya. Jadi, siapakah orang yang masih berani menyimpan buku di distrik 5?

Baca juga  Autobiografi Babi

Keesokannya, aku berangkat dengan menumpang ke sebuah kapal barang karena, seperti yang telah kujelaskan di atas, biaya perjalananku sudah menipis, dan di sisi lain, pengecekan barang di bandara distrik 5 tak perlu diragukan lagi keamanannya. Sesampainya di sana, aku langsung menuju alamat si pemegang buku agar tidak lagi terlambat entah untuk menyelamatkan buku—yang kau laporkan hanya satu, tapi karena kejadian di distrik 963 aku jadi ragu dan mesti mengeceknya sendiri—atau orang yang masih berani menjaga salah satu warisan budaya tersebut. Setelah berjalan beberapa kilometer dari pelabuhan, aku sempat bingung karena alamat yang kau berikan mengantarku ke sebuah pemakaman. Ketika memastikan alamat tersebut, seorang penjaga makam membenarkannya. Karena kebingungan, ia balik bertanya tempat tinggal siapa yang kucari. Awalnya agak waswas untuk menjawab pertanyaan tersebut, tapi khawatir terlambat, aku langsung menyebutkan nama si pemegang buku, Khareena Ivankov. Ia tampak berpikir untuk sesaat, seperti mencoba mengingat sesuatu. “Ah, Ivankov,” ucapnya setelah ingat, “untuk apa kau mencari alamat orang mati?” tanyanya. “Untuk ziarah,” spontan kujawab. Meski ia ikut kebingungan pada awalnya, ia bertanya lagi ada kaitan apa aku dengannya. Kujawab saja ibuku adalah teman baiknya. Tanpa rasa curiga (kukira sih begitu), ia langsung menunjukkan makam yang menjadi tujuanku. Ternyata, makam Khareena Ivankov berada di bagian para petinggi pemerintahan yang gugur di Perang Jamur. Namun anehnya, aku belum pernah mendengar namanya. Dan yang lebih aneh lagi, di mana keberadaan bukunya?

Agar terlihat seperti ziarah, akhirnya aku berdiri khusyuk di depan makamnya, menundukkan kepala, dan pura-pura berdoa seakan aku sangat mengenalnya, seakan-akan ia adalah teman ibuku yang sangat baik, sambil sesekali mencari petunjuk di sekitar makamnya yang mungkin saja ditinggalkan seseorang atau Ivankov sendiri sebelum mati untuk mengantarkanku kepada buku yang kucari. Tapi tidak ada. Makamnya hanya makam biasa. Karena sudah membuntu dan takut dicurigai, aku keluar dari pemakaman tanpa hasil. Apakah informasimu benar, itu yang kutanyakan berkali-kali. Namun, sebelum melangkah keluar dari gerbang pemakaman, si penjaga menegurku, membangunkanku dari lamunan penuh tanya. “Barusan, seseorang yang mengakui dirinya sebagai anak Ivankov berhenti di sini dan menitipkan ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan sebuah kotak kayu berukuran sedang. Tak lama ia pergi dari hadapanku, begitu juga dengan diriku dari hadapannya. Aku belum merasa gembira karena belum tahu apa isi dari kotak tersebut, walaupun di satu sisi aku yakin bahwa isinya adalah buku yang kau maksud.

Aku baru membuka kotak kayu itu saat sampai di sebuah motel di distrik 29. Ternyata isinya bukan hanya Ziarah karya Iwan Simatupang, melainkan surat-surat Khareena Ivankov kepada anaknya yang, setelah kubaca, banyak sekali membocorkan informasi rahasia dari pihak distrik-distrik superior saat Perang Jamur berlangsung (selengkapnya akan kukirimkan bersama dua buku yang berhasil kukumpulkan). Di antara surat-surat itu, aku menemukan sebuah kalimat yang sang ibu sampaikan kepada anaknya dengan sangat indah:

“Buku ini menemani ibu setelah kematian ayah, bukan untuk menangisinya, namun untuk mengunjungi relung terdalam jiwa ibu sendiri. Jika ibu tiada nanti, semoga ia bisa melakukan hal yang sama kepadamu, anakku. Perang ini tak akan memiliki akhir, akan berlanjut sampai akar masa lalu terhapuskan. Perang ini bukan soal membunuh satu sama lain, tapi soal melupakan satu sama lain. Dalam kondisi penuh gundah seperti ini, anakku, memori tidak akan bisa dipaksa menghilang karena akarnya sudah terikat kuat dalam jiwa dan pikiran. Semoga kamu bisa terus mengingat, meski untuk melakukannya perlu sembunyi dalam bayang atau dalam pelarian tak berkesudahan.”

Sepertinya, anak Ivankov sudah selesai untuk mengingat dan mengunjungi kedalaman dirinya, berarti sekarang giliranku dan mungkin kita semua. ***

Hafizh Pragitya, lahir di Jakarta, 8 November 1997. Baru saja menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa cerpennya dimuat di sejumlah antologi bersama, seperti Manuskrip Ruang (2019), Pamali (2019), serta Covid-20 dan Sepilihan Fiksi Lainnya (2020). Ia aktif di Komunitas Sastra Rusabesi, suka membaca dan menonton film, serta sesekali menulis dan menerjemahkan cerita. Sekarang, ia tinggal di Bogor.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!