Cerpen, Republika, Sigit Widiantoro

Arjo Sarkum

Arjo Sarkum - Cerpen Sigit Widiantoro

Arjo Sarkum ilustrasi Rendra Purnama/Republika

4
(10)

Cerpen Sigit Widiantoro (Republika, 06 Juni 2021)

ARJO Sarkum mati mengenaskan. Ia ditemukan dengan tali melilit lehernya dan tergantung pada pohon sawo yang berada di pekarangan depan rumahnya, persis menghadap ke jalanan. Pada tubuh Arjo Sarkum ada pesan tulisan tangan di sehelai kertas karton berwarna cokelat, “Kiai Suleman yang saya hormati, dengan mati seperti ini, bisakah saya masuk surga?”

Kertasari geger. Orang-orang kaget, bingung, dan tak percaya. Mereka mengenal dan paham siapa Arjo Sarkum. Ia orang yang lucu, suka guyon, dan kerap ngedan. Di mana ada Arjo Sarkum, di situ pasti ada senyum dan tawa. Di mana ada Arjo Sarkum, di situ pasti ada bahagia dan canda. Jadi, mana mungkin orang seperti Arjo Sarkum nekat bunuh diri.

Orang-orang hanya tahu kalau di pagi buta, sebelum azan Subuh berkumandang, Mbakyu Narti yang berselimut mukena putih pada sekujur tubuhnya berteriak histeris membangunkan seisi kampung. Semua penduduk Kertasasi keluar dan mendapati wajah Mbakyu Narti sepucat mukena yang dipakainya.

“Itu! Itu!” Tangan Mbakyu Narti menunjuk tubuh Arjo Sarkum yang terkulai di pohon sawo.

Belum lagi pusing dengan ketidakpercayaan gantung dirinya Arjo Sarkum, rasa bingung orang makin bertambah dengan fakta bahwa Arjo Sarkum menulis pesan kepada Kiai Suleman. Kenapa Kiai Suleman? Kenapa bukan Kiai Abdullah, Ustaz Farid, Gus Ridho, Guru Badri, Lurah Damar? Lalu, kenapa pesan itu berurusan dengan surga, kenapa tidak harta warisan, rumah, atau sawah miliknya?

Kiai Suleman tentulah resah, tidak tenang. Ia jadi sulit tidur. Kiai yang sudah puluhan tahun bekerja keras ke sana ke mari untuk mengajar dan mendidik umat itu terpaksa menerima imbasnya. Puluhan orang yang datang di pengajiannya rata-rata bertanya mengenai Arjo Sarkum.

“Bagaimana Kiai, tentang Arjo Sarkum, apakah ia nanti bisa masuk surga?” tanya anak muda berwajah sekolahan, seminggu setelah Arjo Sarkum meninggal.

Kiai Suleman tersenyum kecut. Hatinya meradang. Ia tak senang ditanya masalah yang melenceng dari tema, apalagi urusan surga neraka seseorang yang pasti gaib.

“Surga atau neraka, semua ada di tangan Allah, haknya Allah. Hanya Allah yang tahu, apa Arjo Sarkum bakalan di surga atau neraka.”

“Bukankah bunuh diri termasuk dosa besar dan pelakunya tidak akan diampuni?”

“Benar. Tapi, kalau Allah ternyata mengampuni, bagaimana?”

“Berarti Allah melanggar firmannya sendiri dong.”

“Tidak pantas kamu bicara seperti itu sedangkan kematian Arjo Sarkum sendiri sampai sekarang belum ada kesimpulan yang pasti dari aparat.“

Baca juga  Kalam Ilahi di Balik Jeruji Besi

Diam. Hening. Dan, Kiai Suleman melanjutkan pengajian, sedangkan anak muda tadi memilih keluar masjid, pulang.

***

Sungguh, Kiai Suleman tidak ingin menyalahkan anak muda itu, juga orang-orang yang bertanya tentang nasib Arjo Sarkum. Tapi, ia paham konsekuensi jawabannya. Jika ia menjawab Arjo Sarkum tidak bisa masuk surga, tentu ini sikap yang tidak bijak. Bukan hanya bagi masyarakat, melainkan juga bagi keluarga Arjo Sarkum, termasuk ayah-ibu, adik-kakak, keponakan yang tengah berduka. Kiai Suleman tak ingin menambah luka kepada mereka.

Namun, apabila Kiai Suleman memilih jawaban bahwa Arjo Sarkum bisa masuk surga sekalipun mati bunuh diri, pernyataan ini akan menjadi kaidah berkepanjangan karena menyalahi syariat pada umumnya. Bisa-bisa Kiai Suleman dituduh kiai yang tidak paham fikih atau celakanya ia malah dituduh memberi persetujuan atas kematian melalui cara bunuh diri. Jelas repot nantinya.

Kiai Suleman jelas menolak disalahkan dari peristiwa kematian Arjo Sarkum. Ia ingin selamat dari amarah dan gunjingan. Bahkan, bila mungkin, Kiai Suleman ingin membuat kematian Arjo Sarkum layaknya kematian biasa. Bukankah mati bunuh diri sebenarnya adalah mati juga, tidak beda dengan matinya orang sakit, mati ditabrak mobil, atau mati tenang di atas tempat tidur?

Cuma, sepertinya tak mungkin. Pasti Kertasasri takkan menerima di kampungnya ada kiai berpandangan seperti itu. Bagi orang banyak, mati bunuh diri adalah mati dengan menyelisihi takdir. Ia mati saat Sang Pemberi Hidup belum lagi memberi batas akhir buat napas berhenti. Maka, mati bunuh diri merupakan kejahatan yang serius karena ia melawan ketentuan dan kehendak Tuhan.

“Sampai hari ini, kami belum bisa memastikan Arjo Sarkum bunuh diri atau tidak. Kami masih menyelidiki bukti-bukti dan menanyai saksi-saksi. Mungkin dalam waktu dekat, kami baru bisa memberi jawaban,” begitu kata kepala polisi di kota saat Kiai Suleman dan beberapa tokoh desa mendatangi kantor polisi.

“Apa tak bisa dipercepat penyelidikannya, Pak Komandan?” tanya Kiai Suleman.

“Kami sudah cepat, Kiai. Bahkan, kasus ini lebih kami utamakan dibanding kasus-kasus lain karena begitu besarnya perhatian masyarakat.”

“Soalnya, kalau sudah ketemu jawabannya, insya Allah kami semua tenang.”

***

Arjo Sarkum sukses membuat Kertasari menggelegak. Sayang, bukan gelegak yang membuat banyak orang tergelak atau menahan tawa hingga sakit di perut, seperti biasanya. Sayang juga, ini untuk terakhir kalinya. Waktu telah memutus, takdir telah menghapus, hingga Arjo Sarkum tak mungkin lagi mampu membuat seisi Kertasari bergunjing membicarakan dirinya.

Baca juga  Lebaran Tinggal Dua Hari Lagi

Namun, mengenang Arjo Sarkum memang seperti memutar waktu untuk mengingat kejahilan, kelucuan, dan kegembiraan. Arjo Sarkum pernah membuat ribut seisi masjid tatkala shalat Tarawih di malam pertama bulan Ramadhan. Ketika itu, Arjo Sarkum yang duduk di saf paling akhir tiba-tiba bergegas berdiri dan keluar dari masjid sebelum shalat Witir dimulai.

Tanpa diketahui siapa pun, Arjo Sarkum menukar sandal para jamaah. Sandal biru ditukar dengan sandal merah, hijau, atau kuning sehingga sandal biru sekarang berpasangan dengan sandal merah, hijau, atau kuning. Sandal perempuan ditukar dan berpasangan dengan sandal laki-laki. Sandal anak-anak berpindah, menyatu dengan pasangan baru, sandal orang dewasa.

Akibatnya, bisa ditebak. Saat shalat Tarawih berakhir dan semua jamaah keluar dari masjid, keributan terjadi. Orang-orang berteriak. Keras. Riuh rendah. Jamaah mencari pasangan sandalnya masing-masing.

“Hei, mana sandalku! Kenapa jadi beda-beda!”

“Astagfirullah! Siapa yang bikin seperti ini!”

“Aduh! Pelan-pelan dong. Jangan main dorong, hampir jatuh nih!”

Di pojok pintu masjid, Arjo Sarkum menyaksikan semua kejadian itu. Mulutnya tak kuasa menahan tawa. Matanya tak henti menitikkan air mata. Perutnya sakit. Apalagi, ketika pandangan matanya menyambar pantat-pantat perempuan berkain yang saling bertubrukan, Arjo Sarkum tidak kuat lagi. Ia keluar dari persembunyiannya dan meledakkan tawanya.

“Hei, Arjo Sarkum ternyata!”

“Wong edan! Nggak pernah tobat itu orang!”

Rasa malu, rasa takut, rasa khawatir, dan semua rasa yang ada pada Arjo Sarkum seolah lenyap. Ia hanya berpikir tentang dirinya dan yang hadir pada benaknya hanyalah dirinya. Arjo Sarkum memandang orang lain bak pelampiasan semata. Pelampiasan kejahilan dan pelampiasan tertawa. Arjo Sarkum seakan-akan lelaki yang kosong dari rasa.

Karena itu, tidak sedikit juga orang yang percaya bahwa Arjo Sarkum sebenarnya memang mati bunuh diri. Tidak ada rasa asyik yang lebih membelalakkan mata, membukakan telinga, dan mendebarkan jantung, kecuali bunuh diri. Arjo Sarkum sudah melakukan segalanya agar semua orang tersenyum, tertawa, atau terpingkal. Kini, saatnya mereka menikmati sajian lain dari Arjo Sarkum.

“Aku ingin bunuh diri. Bunuh diri adalah puncak dari segala kegilaan,” ujar Arjo Sarkum di hadapan banyak orang di kedai kopi Mak Jali.

Bagi orang-orang Kertasari, tidak pernah ada dalam lintasan pikiran mereka untuk bunuh diri. Hidup sudah enak. Sejahtera, nyaman, dan tenteram, khas perdesaan. Jadi, mendengar orang mengatakan ingin bunuh diri, apalagi dari orang seperti Arjo Sarkum, malah membuat mulut mereka tidak henti tertawa, tak percaya.

Baca juga  Gempa di Ujung Tahajud

“Orang yang tinggal di Kertasari adalah orang yang tidak mungkin bisa bunuh diri. Bunuh diri ada penyebabnya dan Kertasari tidak menyediakan sebab bagi orang untuk bunuh diri.” Begitu dalih mereka sembari terkekeh dan meninggalkan Arjo Sarkum sendirian.

Arjo Sarkum panas. Hatinya menggelora. Ia kemudian bersuara keras.

“Kalian boleh tertawa. Sepuasnya. Tetapi, kalian tidak akan bisa tertawa saat nanti melihat tubuhku diturunkan dari tiang gantungan.”

Benar, saat mayat Arjo Sarkum diturunkan dari tali gantungan, tidak seorang pun yang hadir bisa tertawa. Mereka diam, membisu. Mulut mereka terkunci rapat. Bahkan, ketika ambulans yang datang sudah membawa mayat Arjo Sarkum pergi untuk diperiksa dan diautopsi, puluhan pasang mata hanya mampu menatap mobil berwarna putih itu dengan pandangan kosong.

Meski tak terucap, beberapa orang paham pada tubuh Arjo Sarkum tak ditemukan tanda bunuh diri. Wajah Arjo Sarkum tidak membiru, matanya tidak membelalak, bahkan lidahnya tidak menjulur. Hanya ada bekas lilitan tali di leher dan pesan khusus untuk Kiai Suleman yang membuat Arjo Sarkum seakan gantung diri.

Polisi, petugas medis, dan aparat desa yang mendatangi lokasi kejadian juga tidak berani memastikan Arjo Sarkum bunuh diri. Sebulan setelah kematian, baru aparat keamanan berani memastikan kalau bujangan 40 tahun itu tidak mati gantung diri. Arjo Sarkum dibunuh?

“Terus, siapa pembunuhnya?”

“Ya, embuh.”

Kertasari kembali geger. Isu menyergap semua penduduk. Dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dari sawah ke sawah. Kiai Suleman kini tak lagi khawatir akan mendapat pertanyaan tentang nasib Arjo Sarkum di neraka atau surga, sebab pesan khusus dari Arjo Sarkum untuknya itu nyatanya palsu. ***

.

.

Taman Pagelaran, Bogor, 2021

Sigit Widiantoro menulis cerpen dan esai di media massa. Lahir di Banjarnegara, bermukim di Bogor. Belajar di Jurusan Sejarah UNY dan belajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UI. Bekerja di perusahaan penerbitan di Jakarta.

.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!