Cerpen, Koran Tempo, Silvester Petara Hurit

Ina Tonu

4.7
(18)

Ina Tonu, yang sudah lima tahun berbaring di tempat tidur, tiba-tiba dengan sekuat usaha bangun duduk begitu mendengar suara penegasan Pastor lewat pengeras suara dari mimbar gereja yang berjarak cuma tiga kali doa Salam Maria. “Kalau datang beribadah, sebaiknya pakai sarung tenun. Jangan datang dengan baju kain kurang atau celana umpan!”

Penegasan itu seakan membawa kembali Ina Tonu pada peristiwa silam ketika aparat keamanan atas nama pemerintah memaksanya membuka sarung tenun terakhir yang sedang dipakainya. Di kemudian hari, ia tahu bahwa malam sebelum hari yang sangat menyakitkan itu, mereka duduk dan bicara merencanakan semuanya dalam gelap di rumah pastoran.

Penegasan Pastor setelah peralatan tenun tak lagi ada, setelah kebun kapas dan tanaman pewarna sudah disulap jadi kebun mete, setelah tangan anak gadis tak lagi memintal benang karena sudah terlampau asyik dengan telepon genggam, tak ubahnya seperti sebuah olok-olok. Apa lagi yang tersisa? Sekuat usaha ia bangun mendongakkan wajah menahan pinggang dengan tangan gemetar melawan perih sampai memerah kedua matanya.

***

Seperti manusia, selembar kain tenun memiliki proses hidupnya sendiri. Kapas ditanam dan dirawat seperti halnya anak manusia. Sukacita memanennya sama seperti sukacita menyambut kelahiran bayi. Saat berumur 7 tahun, Ina Tonu sudah mulai fasih menyanyikan lagu menanam dan memetik kapas, memisahkan kapas dari bijinya, mengurainya untuk kemudian dipintal jadi benang.

Ketika dadanya mulai mekar, giginya dirapikan dengan batu asah, dan tubuhnya ditato dengan pewarna berupa jelagah dan cairan gula tuak, Ina Tonu sudah fasih menenun. Benang-benang diikat, dicelupkan ke dalam pewarna, dirangkai, disusun dengan sabar membentuk motif-motif. Benang demi benang dimasukkan di antara gambar motif, ditenun hingga memadat membentuk selembar kain utuh.

Ina Tonu ingat saat-saat sukacita di ranum remajanya. Menyanyikan lagu tenun bersama Nini, Nogo, dan Barek. Saat Ama Dowo—pemuda dengan bahu paling kokoh—lewat memikul selusin wadah bambu penuh tuak, mereka berlomba memperdengarkan siapa yang punya suara paling merdu.

Ibunya biasa mendehem, mengingatkan bahwa menenun, terutama menata motif, mesti dilakukan dengan sikap batin penuh hormat. Motif-motif dilahirkan gunung, diperanakkan bukit untuk merawat jiwa dan mendandani kampung.

Di mekar remajanya, Ina Tonu lebih tekun menenun sambil berharap Ama Dowo tertarik pada ketekunannya. Hingga saat separuh purnama muncul dari punggung bukit, di tengah malam, ia mendengar dari pucuk tertinggi lontar, suara merdu Ama Dowo menggema di seantero kampung. Gadis-gadis seusianya terbangun, juga orang tua mereka. Semua menyendengkan telinga mendengar kepada siapakah Ama Dowo yang betisnya kokoh serupa bambu petung itu mendaratkan pilihannya.

Baca juga  Penjual Angin

Ina Tonu melonjak bangun dan memeluk ibunya ketika ternyata perempuan dengan tai lalat di tengah lengkung alis kiri yang disebut-sebut dalam nyanyian adalah dirinya. Ibunya bilang, walau piatu dan orang tak punya, Ama Dowo adalah satu-satunya turunan dari leluhur mitologis di kampungnya yang digambarkan sebagai manusia yang kepalanya berbantal gunung, kakinya menjangkau pantai, napasnya guntur-kilat, dan tenaganya gempa bumi.

Saat purnama penuh dalam lingkaran tari dolo-dolo di nama tukan, tiba-tiba Ama Dowo menyempal dan meraih erat tangan Ina Tonu. Seperti tersengat, napasnya seketika memberat. Telapak tangan Ama Dowo bagai kulit kayu, namun alir gairahnya menjalar lembut memagut seluruh tubuhnya. Telapak tangan Ina Tonu basah. Ada kelembutan yang begitu gaib. Ingin segera rebah dalam ledak gemuruh gairah Ama Dowo.

***

Ina Tonu pernah memiliki masa yang paling membahagiakan ketika mengetahui dirinya mengandung. Ia semakin tenggelam dalam khusyuk menenun karena percaya bahwa menenun kain sepenuh kasih adalah menenun jiwa-batin buah hati yang tengah tumbuh di rahimnya. Ama Dowo lebih bersemangat. Saban pagi dan petang, di atas dahan-dahan lontar mendendangkan puja bagi sulur bunga lontar supaya sudi memberikan sari terbaiknya berupa tuak manis bagi kekasih jiwanya yang tengah mengandung anak sulungnya.

Ketika mengetahui bayinya perempuan, Ama Dowo segera membuat miniatur seperangkat peralatan tenun komplet sebagai senjata hidup saat ritus helet kebote. Perempuan punya tempat istimewa karena tugasnya menenun kehidupan. Merajut benang demi benang dan mengutuhkan bagian yang lepas-lepas. Dan itu lebih berdaya daripada tombak, panah, parang, serta busur laki-laki. Ia berharap agar anaknya tumbuh jadi perempuan penenun; wadah bagi segala rezeki dan berkah kehidupan serta melampaui kedua orang tuanya dalam segala keutamaan keindahan dan kebaikan.

***

Tahun-tahun setelah malam di mana orang-orang ditebas dengan parang dan  langsung ditendang ke dalam lubang yang disiapkan secara rahasia karena dituduh komunis, situasi di kampung yang teduh damai itu berubah. Mulut kawan dekat bisa menjadi setan pencabut nyawa. Dulu orang takut sama Kompeni dan Nipon, sekarang orang takut sama kawan, kerabat, bahkan saudara sendiri. Setiap orang harus memilih memeluk salah satu agama resmi negara jika tidak mau dituduh komunis. Setelah itu, guru-guru agama nongol dengan mulut lebih lebar dan lidah lebih fasih. Di gereja, mereka tampil memimpin ibadat, berkhotbah panjang-panjang mengecam dan mengutuk orang-orang yang sudah memeluk agama namun masih menjalankan tradisi leluhur.

“Terkutuklah para penyembah berhala, pemuja batu, kayu, dan segala benda mati! Manusia tak berguna, percaya sia-sia! Adalah lebih baik diikat batu pada leher dan ditenggelamkan saja ke dalam laut!” begitu diulang-ulang oleh Guru Martin di hampir setiap hari Minggu. Ina Tonu yang tak terlalu paham bahasa Indonesia berusaha setia mendengar walau merasa khotbah itu kelewat congkak dan semena-mena.

Baca juga  20 Keping Puzzle Cerita

Namun yang lebih buruk dari itu adalah setelah gading-gading tua, kalung batu-batu indah, rantai emas berukuran panjang, anting-anting perak, ketipa, patung-patung perunggu, kapak, serta piring-piring tua dilarang untuk disimpan apalagi dipakai, guru-guru agama itu membawa orang-orang dari luar datang memborongnya dengan harga yang terlampau menghina. Daripada disimpan tak berguna serta melahirkan luka, lebih baik dijual saja walau tanpa harga dibanding ketika leluhur membarternya dengan berlumbung-lumbung padi dan kayu cendana tua yang sudah beratus-ratus tahun usianya.

“Ini sarung berhala dan najis. Jangan pernah menyimpannya!” bentak aparat yang didampingi Guru Martin.

Ina Tonu merasa bagai dahan patah diempas badai. Ada yang terlepas dari dirinya saat sarung tenunan tua dari masa yang paling jauh ketika leluhur Ama Dowo masih mengenal Dewi Padi dengan nama Uto Gago Nini Holok, nama yang kini dikenakan pada anak perempuannya, dibawa pergi secara paksa.

***

Tahun-tahun tanpa menenun bagi Ina Tonu adalah tahun-tahun kesedihan. Ketika Ina Uto beranjak remaja, apa yang harus diajarkan kepadanya untuk memahami semesta dirinya sebagai perempuan?

Setelah tamat SMA, pastor paroki datang berulang-ulang meminta agar Ina Uto bekerja sebagai tukang masak di rumah paroki. Setelah setahun bekerja, Ina Uto pulang ke rumah berurai air mata. Kedua orang tuanya bertanya kenapa ia pulang dan apa yang membuatnya menangis? Ia diam seribu bahasa, tak mau makan dan mengunci diri dalam kamarnya. Tak ada yang ia ceritakan. Hanya satu yang ia minta, yakni pergi merantau sebagaimana teman-teman sebayanya, yang selepas sekolah karena tak lagi menenun, mencari kerja ke Malaysia.

Langit terasa murung saat Ina Uto harus pergi ke Malaysia. Hanya seorang ayah yang paham artinya berpisah dari anak gadisnya. Nyanyian Ama Dowo terasa lirih dan getir dari atas pohon lontar. Enam bulan kemudian, bagai bara disiram air, berita duka datang. Ina Uto meninggal saat melahirkan bayinya seorang diri. Kesedihan meremukkan Ina Tonu. Dua minggu berselang, Ama Dowo ditemukan meninggal jatuh dari pohon lontar. Sungguh hidup terasa tidak adil.

Ina Tonu tak terlalu yakin suaminya meninggal akibat jatuh dari pohon lontar. Namun ia coba menepis semua perasaan itu. Tak ada yang lebih berharga kini selain benih yang tengah tumbuh di rahimnya.

Sejak saat itu, Ina Tonu tak lagi ke gereja. Kebiasaan menata motif tenunan sejak kecil ternyata setelah sekian tahun berlalu motif-motif tersebut hadir membentuk gambar-gambar cahaya dalam tidur dan mimpinya. Gambar-gambar cahaya tersebut berpendar pada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dan menghidupkan daya-daya tertentu di batinnya.

Baca juga  Penjual Lelucon

Ina Tonu paham sekarang kenapa orang-orang itu membinasakan tradisi tenun. Dari putranya ia dengar bahwa patung perempuan yang menenun sambil menyusui bayinya kini berada di sebuah galeri di luar negeri. Apakah pihak yang membelinya tersebut tahu bahwa itu perwujudan Dewi Hujan tempat masyarakat datang memohon berkah kesuburan? Mereka tak pernah tahu bahwa perempuan memendam gairah bumi. Saat khusyuk menenun, aroma gairahnya membubung ke angkasa dan bikin langit kasmaran. Ketika langit menghampiri bumi, hujan turun. Air susu bumi berlimpah ruah. Dari sanalah segala kehidupan bermekaran.

***

Sejak jatuh sakit dan hanya berbaring di tempat tidur, segala ingatan perih datang. Kemarahan Ina Tonu kerap menyeruak secara tiba-tiba. Ia marah mendengar bagaimana menenun dikampanyekan serupa kampanye politik serta diperagakan oleh tubuh-tubuh yang tak pernah paham bahasa dan rahasianya. Menenun itu menata diri agar selaras yang di dalam dan di luar, yang batin dengan yang lahir. Bukan seperti orang-orang besar itu yang bicaranya hanya soal bagaimana membisniskan hasil tenunan untuk meraup uang yang banyak tapi tak pernah tahu rahasia dan nurani tenun.

Sakitnya kian menjadi dan membuat Ina Tonu tak bisa lagi bicara. Ia hanya merintih dan mengerang melepaskan amarah dan sakit yang menggebuknya. Orang-orang yang rajin ke gereja menganggap itu sebagai siksa akibat meninggalkan gereja dan menjauh dari Tuhan. Maka, setiap kali selepas ibadah, kelompok-kelompok persekutuan doa datang mendoakannya. Semakin keras ia menjerit, semakin panjang dan kuat mereka berdoa supaya ia dibebaskan dari gelisah maut dan siksa api kekafiran. ***

Lewotala, Flores Timur, Oktober 2020

Daftar Istilah

Petung: betung, buluh berukuran besar

Nama tukan: tempat berlangsungnya tarian massal di tengah kampong

Helet kebote: ritus mengantar ari-ari/plasenta untuk digantung (disatukan) dengan pohon-pohon tertentu pada suku Lamaholot

Ketipa: kain sutra halus dari Gujarat, India

Silvester Petara Hurit, alumnus Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (sekarang ISBI). Ia giat menulis esai, cerpen, dan lakon. Pendiri Nara Teater. Kini ia tinggal di kampung halamannya, Lewotala, Lewolema, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 18

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Frans Berek

    Cerpen luar biasa. Dahsyat.

  2. Kristina

    Bagus sekali, sampai ikut terharu

Leave a Reply

error: Content is protected !!