Cerpen, Jawa Pos, Risda Nur Widia

Liang Kubur Eksekutif

3.9
(21)

BARANGKALI surga setiap orang sudah ditentukan sejak di mana kuburan mereka digali, pikir Karta. Sementara adiknya, Abullah, menganggap bahwa tidak ada hubungannya antara kuburan dan surga saat seseorang dikuburkan.

BAGI Abullah, semua kuburan itu adalah pintu menuju surga—dan pahala adalah kuncinya. Sayangnya, dua pemikiran ini saling bertentangan. Mereka percaya dengan keyakinan masing-masing yang sulit untuk dibenarkan secara langsung.

Demikianlah seluruh permasalahan ini dimulai ketika ayah mereka masuk rumah sakit di pagi hari, kemudian meninggal siang harinya. Mereka lantas segera membawa pulang jenazah tersebut ke rumah untuk diurus keluarga. Setelah dimandikan dan disalati, Karta dan Abullah malah berdebat sesuatu yang tidak ada solusinya.

“Pokoknya bapak harus kita kuburkan di kompleks kuburan bagi orang-orang seagama,” tukas Karta dengan tegas. “Bapak jangan dikuburkan pada kuburan umum atau kuburan agama lain.”

“Tidak ada bedanya bapak dikuburkan di mana, Mas,” sahut Abullah. “Karena pada akhirnya tubuh bapak akan menjadi tanah.”

“Kau jangan durhaka,” Karta menimpali. “Bapak bisa celaka kalau kita salah menguburnya.”

Karta kemudian menjelaskan kalau ayahnya bisa saja tersesat masuk surga orang lain bila salah dikuburkan. Abullah yang mendengar itu merasa geli. Namun, kakaknya bersikap seperti batu yang sulit dibelah.

“Yang lebih parah dari tersesat dan tidak bisa pergi ke surga karena kita menguburkannya di tempat yang salah,” lanjut Karta. “Bapak bisa dianggap murtad karena kita salah menguburkannya pada kuburan agama lain.”

Perselisihan itu terjadi selama satu jam. Karta masih tidak mau mengalah dengan keputusannya. Ia bersikukuh ingin menguburkan ayahnya pada kompleks pemakaman seagama. Akhirnya, Abullah mengalah. Ia mengikuti keinginan kakaknya karena tidak ingin menyiksa mayat ayahnya yang membutuhkan pemakaman hari itu.

***

Abullah dan Karta segera menuju pemakaman seagama yang jaraknya sekitar lima kilometer dari desa. Mereka ingin memastikan lebih dahulu apakah di sana ada lahan kosong yang akan digunakan untuk mengubur ayahnya atau tidak. Di sana mereka pun segera menemui seorang pengurus kuburan yang sedang bersantai.

“Mau ngubur, Mas?” tanya penjaga. “Kompleks kuburan ini sepertinya penuh, Mas. Pagi tadi lahan kosong yang tersedia sudah dipakai.”

“Haduh!” Karta mendengus. “Bagaimana ini?”

“Apa benar-benar tidak ada lahan lain di sini, Pak?” Abullah mengejar. “Kasihan jenazah bapak saya. Dia harus segera dikuburkan.”

Baca juga  Pengelana Laut

Penjaga itu melirik Karta dan Abullah dengan iba. Akhirnya, penjaga kubur itu mengajak Karta dan Abullah berkeliling untuk memastikan. Hanya, saat berjalan memastikan kompleks kuburan itu, Karta, Abdullah, dan si penjaga kubur terlibat pembicaraan kurang menyenangkan.

“Kompleks kuburan ini sebenarnya sudah sangat penuh sejak tahun lalu,” jelas si penjaga. “Banyak orang ingin di kubur di sini. Padahal, kuburan umum yang ada di desa mereka tersedia.”

“Memang apa alasan mereka ingin dikuburkan di sini, Pak?” Abullah bertanya lugu.

“Aneh alasannya, Mas,” penjaga kubur itu mengerling pada tamunya. “Mereka takut kalau saudara mereka tersesat atau menjadi murtad karena salah dikuburkan di tempat kuburan orang-orang tidak seagama dengannya.”

“Itu bukan aneh, Pak,” Karta jengkel menimpali. “Bahwa si mati bisa tersesat dan menjadi murtad, bahkan masuk neraka, karena salah dikuburkan itu, benar!”

Penjaga kubur itu melengos ke arah Karta. Penjaga kubur itu mendadak merasa bersalah karena telah mengucapkan hal itu. Si penjaga kubur meminta maaf. Abullah sendiri merasa kurang nyaman dengan sikap kakaknya.

“Saya ingin tanya,” suara Karta terdengar ketus. “Bagaimana rasanya bila bapak gagal masuk surga karena hal sepele, seperti salah dikuburkan di tempat yang bukan seharusnya?”

Penjaga kuburan itu hanya diam. Ia tidak berusaha menyahuti pertanyaan Karta. Sementara Abullah berusaha untuk mengalihkan suasana.

“Bapak sepertinya benar,” tukas Abullah di tengah keadaan yang memanas itu. “Kuburan di tempat ini sudah penuh.”

“Kita harus menguburkan jenazah bapak di kompleks pemakaman seagama!” potong Karta.

“Sebenarnya ada satu tempat yang cukup luas untuk menguburkan jenazah bapak Anda,” si penjaga kubur memberikan solusi. “Kompleks kuburan itu juga diperuntukkan bagi jenazah dengan agama yang sama dengan bapak Anda. Tapi, bagi siapa saja yang ingin dikubur di sana harus membayar.”

“Tidak masalah!” suara Karta meninggi. “Berikan kami alamatnya!”

Penjaga kubur itu segera memberikan alamat yang dimaksud. Karta pun segera pergi setelah mendapatkan alamat itu. Sementara Abullah meminta maaf dan berterima kasih kepada si penjaga kubur karena telah membantu mereka.

***

Karta dan Abullah segera menyeret gas motornya menuju kompleks pemakaman yang dimaksud oleh penjaga kuburan itu. Setelah sampai di kompleks pemakaman tersebut, mata Karta dan Abullah langsung mendapati keluasan dan kemegahan tempat tersebut. Bahkan sebelum memasuki pemakaman tersebut, mereka sempat melihat sebuah gapura dengan tiga pilar yang sangat besar. Kompleks kuburan itu juga sangat rapi. Setiap ujung rumput di tempat itu bagai dipangkas seukuran satu dengan lainnya.

Baca juga  Mengurai Kematian

Abullah dan Karta membawa motor mereka pelan ke arah kantor pusat pengurusan makam tersebut. Sesampainya di sana, mereka segera menemui bagian administrasi pemakaman.

“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya seorang petugas. “Silakan duduk.”

“Terima kasih,” jawab Karta dan Abullah. “Kami ingin memesan satu liang makam di sini.”

“Oh, ya, silakan buka katalog ini,” si petugas menyodorkan sebuah katalog kepada Karta dan Abullah. “Anda bisa memilih jenis kuburan macam apa yang diinginkan.”

Karta dan Abullah melongo melihat tiga katalog dengan warna yang berbeda tersebut, yaitu hijau, silver, dan emas. Namun, ketiga Katalog itu malah membuat mereka bingung.

“Mengapa ada tiga jenis katalog?” tanya Abullah. “Apa bedanya tiga katalog ini?”

“Jadi, Anda pasti baru pertama ke tempat ini,” si petugas tersenyum. “Katalog ini adalah kriteria dan kelas yang akan Anda pilih untuk memakamkan jenazah kerabat Anda.”

“Maksudnya?” Karta menyahut.

“Begini, Pak,” si petugas sabar menjelaskan. “Katalog kuburan warna hijau itu adalah kuburan kelas tiga. Biasanya dipakai untuk orang-orang kurang mampu. Katalog warna silver itu adalah kelas premium. Si mayat nanti akan mendapatkan tambahan layanan doa dan perawatan setiap pekan. Terakhir yang emas adalah kelas supereksekutif. Ini kuburan jenis paling mahal karena akan banyak bonus, seperti doa, perawatan kuburan, bunga, dan bila perlu tambahan orang untuk menangisinya. Konon semakin banyak orang yang melayati, si mayat akan semakin disegani sebagai seseorang waktu hidup dahulu.”

Abullah tercenung dengan tawaran tidak masuk akal tersebut. Ia baru kali pertama mendengar ada sebuah prestise kelas sosial dalam proses penguburan jenazah seseorang.

“Memang berapa harga satu liang kubur berdasar kelas warna ini?” tanya Abullah lagi.

“Murah sekali, Pak,” jawab si petugas. “Untuk katalog warna emas tiga puluh juta, warna silver lima belas juta. Untuk warna hijau lima juta. Tapi khusus warna hijau, kami kadang memakamkan jenazah dengan hewan peliharaan.”

“Loh, ini bukan makam manusia saja?” Karta bertanya bingung.

“Tentu ini makam manusia. Khusus untuk orang-orang seagama pula,” tambah si petugas. “Cuma, kami menyiapkan makam bagi hewan peliharaan si jenazah bila mati kelak. Jadi, bila mereka sama-sama telah mati bisa saling bertemu di alam arwah.”

Baca juga  Juragan Empang

“Tidak masuk akal,” Abullah memotong. “Harganya juga terlalu mahal.”

“Tidak masuk akal bagaimana, Pak?” si petugas bertanya.

“Tidak mungkin arwah seseorang yang sudah mati dapat bertemu,” sambung Abullah.

“Oh, itu kepercayaan orang saja, Pak. Kami hanya menyediakannya,” si petugas tetap ramah.

“Tapi, Anda menjual satu petak kuburan di sini sangat mahal,” tambah Abullah lagi. “Kami hanya ingin menguburkan jenazah ayah kami, bukan membeli tanah untuk dibangun rumah.”

“Bapak harus mengerti bahwa harga sebuah kuburan bisa menentukan masuk atau tidaknya seseorang ke surga, Pak,” balas si petugas dengan ketus. “Anda tidak perlu memaksakan pula bila tak mampu.”

“Gila!” sambar Abullah bangkit. “Ini tidak masuk akal!”

Abullah pun meninggalkan tempat itu. Karta sendiri bingung dengan tawaran-tawaran dan situasi yang terjadi. Akhirnya, Karta mengikuti langkah adiknya.

***

Sesampainya di rumah, Karta dan Abullah kembali berdebat. Seperti pertama masalah ini bermula, Karta masih kukuh dengan keputusan agar ayahnya dikubur pada kuburan orang-orang yang seagama dengan ayahnya. Tetapi, bagi Abullah semua kuburan tidak ada bedanya. Abullah juga menambakan kepada kakaknya, masuk atau tidaknya ayah mereka ke surga bukan karena di mana ia dikuburkan, melainkan amalnya semasa hidup.

“Kau tega melihat ayahmu tersesat dan masuk neraka karena tidak berkumpul dengan orang-orang seiman?” tanya Karta.

“Tapi, apa kau tahu kalau orang-orang yang seiman itu akan masuk surga juga?” bantah Abullah.

Kedua saudara itu terus berdebat hingga sore menjelang. Jenazah ayah mereka semakin dingin teronggok di ruang tengah. Para tamu pun sudah pergi karena begitu lamanya proses pemakaman tersebut.

Di tengah perdebatan sengit dua saudara itu, tiba-tiba salah satu anggota keluarga berteriak dari belakang.

“Jenazah bapak! Jenazah bapak!” teriakan itu menyeret semua orang berkumpul. “Jenazah bapak dibawa jutaan semut!”

Karta dan Abullah segera memeriksa. Mereka kemudian tertegun tidak percaya ketika melihat jenazah ayah mereka dibopong oleh jutaan semut menuju suatu liang besar di belakang rumah mereka. ***

RISDA NUR WIDIA. Alumnus PBSI UST dan Pascasarjana PBSI UNY. Buku tunggalnya, Berburu Buaya di Hindia Timur.

Loading

Average rating 3.9 / 5. Vote count: 21

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

  1. Kal

    Endingnya lebih dahsyat dari sinetron.azab.

  2. Rml

    Penulis terbaca kebingungan menentukan ending cerita. Jutaan semut yang membawa jenazah di akhir cerita, terkesan sebagai cara mengakhiri cerita secara instan. Tidak ada pengantar di awal yang bisa memberikan alasan kenapa semut bisa muncul di akhir cerita, dan kenapa mayat tersebut dibawa ke belakang rumah.

    Ide pokok cerita ini menarik. Uraian pengantarnya pun sangat menyenangkan. Tetapi pada bagian akhirnya, khususnya terkait intrik penutup ceritanya, bagi saya, sangatlah mengada-ada, kalau tidak mau dibilang sembarangan dan mengecewakan.

    • nah, mungkin itulah. ending itu memperjelas mengapa semua terlihat mengada-ada karena ya kuburan aja dikasih kelas. bahkan masuk surga saja diperhitungkan dari dikubur di mana. lucu.

Leave a Reply

error: Content is protected !!