Cerpen, MZ. Billala, Radar Malang

Batu Landak

5
(1)

SALAH seorang perampok membekap mulut Hariani sembari memegang tangannya kuat-kuat. Sementara perampok yang lain bergegas masuk ke kamarnya, mengambil sesuatu yang tampaknya menjadi target utama dan telah direncanakan untuk dicuri. Kedua perampok itu sama-sama menggunakan penutup wajah. Sehingga Hariani tak tahu bagaimana rupa dua perampok itu.

Pukul 12.30, selepas Zuhur, kedua perampok itu tiba-tiba saja datang ke rumah Hariani yang berada di ujung kampung dan langsung mengarahkan sebilah parang tajam ke wajah Hariani yang waktu itu sedang sendirian di rumah. Suaminya sedang di kebun menyadap getah karet, sementara anak-anaknya belum pulang sekolah. Hariani tak jadi berteriak minta tolong saking takutnya pada senjata tajam yang bisa menebas lehernya kapan saja.

“Bagaimana, sudah dapat?” tanya perampok yang membekap mulut Hariani.

“Sudah! Sudah, Bang!” seru perampok yang satunya. Keluar dari kamar Hariani dengan membawa sebuah benda yang terbungkus kain merah dan segepok uang lima puluh ribuan.

“Bagus! Ayo kita pergi!” balas perampok yang masih menempelkan mata parang ke leher Hariani. “Kau jangan macam-macam, sekali kau teriak habis riwayatmu!”

Namun Hariani betul-betul gegabah. Emosinya tidak terkendali lagi. Barangkali karena ia merasa telah dirugikan. Baru saja tangan perampok itu terlepas dari mulutnya dan keduanya bergegas lari ke luar rumah, Hariani berteriak minta tolong sekeras-kerasnya. Hal tersebut sontak mengundang kemarahan kedua perampok itu. Dengan gerakan cepat perampok yang tadi membekap mulut Hariani langsung berlari dan membacok lengannya hingga menciptakan luka menganga yang mengerikan. Badannya pun langsung berlumur darah. Sementara kedua perampok itu telah pergi sangat jauh ketika para tetangga berlarian masuk ke dalam rumah Hariani.

Hariani pun makin hilang kesadaran diri ketika semua tetangganya sibuk memberi pertolongan. Ada yang menutup lukanya dengan kain, ada yang langsung menelepon pihak puskesmas untuk segera mengirim ambulans, ada yang memberi perintah untuk menjemput suami Hariani di ladang, dan ada yang cuma berkumpul sambil bertukar bisikan membahas pasal tragedi yang menimpa Hariani. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan dan jawaban-jawaban yang belum pasti. Sebab mereka tahu betul siapa Hariani. Perempuan paruh baya itu adalah seorang dukun sakti yang ketenarannya sudah mampu mendatangkan beberapa pelanggan dari kota.

***

Seminggu sebelumnya.

Pitat dan Jamaludin tidak sengaja bertemu di persimpangan jalan kecil di kebun karet. Mereka baru pulang menyadap dari kebun mereka masing-masing.

“Sudah selesai juga, Tat?”

“Belum, Mal.” Pitat menyahut sambil terbatuk dan suaranya terdengar sengau. “Aku sedang tidak enak badan. Tapi sayang kalau tidak menakik hari ini. Cuacanya sedang bagus. Maka aku cuma takik separuh kebun saja.”

“Hariani tidak ikut?” tanya Jamaludin lagi sembari mengajak Pitat melanjutkan perjalanan pulang.

“Tidak. Dia sedang ada tamu dari jauh. Sudah janji lama katanya.”

Keduanya lantas membahas tentang harga getah karet yang tidak cukup bagus untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Terutama untuk Jamaludin yang sepenuhnya berharap pada hasil kebun karetnya yang tidak seluas kebun karet milik Pitat. Jamaludin kerap mengeluh biaya hidup makin tinggi sementara 3 anaknya harus tetap sekolah. Berbeda nasib dengan Pitat yang tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada hasil kebun karet. Di rumah, Pitat membuka warung sembako yang semakin lengkap barang dagangannya. Sementara istrinya, Hariani, membuka jasa pengobatan alternatif yang kata banyak pelanggan kesaktiannya sudah tidak diragukan lagi. Oleh sebab itulah istri Pitat memasang harga cukup tinggi untuk pelayanan hingga tuntas. Mulai dari menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, menerawang nasib, bahkan menurut kabar yang beredar Hariani mampu mengirimkan teluh ke tempat korban yang cukup jauh.

Baca juga  Tiga dan Satu Lagi Tamparan untuk Andi

“Banyak bersabar, Mal.” Pitat mencoba menenangkan keresahan Jamaludin.

“Juga bersyukur,” sahut Jamaludin seraya tersenyum.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan pulang dan mengganti topik pembicaraan yang bersumber dari beberapa tayangan berita di televisi. Namun itu tak berlangsung lama. Ketika Jamaludin tiba-tiba berseru karena melihat sesuatu bergerak di semak yang tak jauh dari mereka dan langsung meminta Pitat untuk menghentikan langkahnya juga.

“Apa itu, Tat!”

“Entahlah.” Pitat mengangkat kedua bahunya sambil melangkah mendekati semak diikuti Jamaludin.

Mereka lantas mengendap-endap mendekati semak tersebut. Ada rasa khawatir yang dirasakan keduanya. Bisa saja itu adalah binatang buas yang sedang menumpang istirahat. Alih-alih semakin takut, rasa penasaran justru mendorong keduanya untuk semakin dekat dengan semak tersebut.

Lalu perlahan Pitat menyibak tangkai belukar yang menghalangi pandangan. Tangannya gemetar. Akan tetapi setelah semuanya tampak dengan jelas, keduanya bernapas lega. Menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya sambil tertawa kecil. Ternyata seekor landak berukuran cukup besar tengah memuntahkan sesuatu di balik belukar itu dan langsung kabur secepat mungkin tatkala tawa mereka berdua mengagetkan si landak.

“Kupikir itu tadi anak Datuk Belang yang tersesat, Tat. Ternyata landak sedang muntah.”

“Huss… Jangan bilang sembarangan!” balas Pitat ikut tertawa.

“Tapi apa yang dimuntahkan oleh landak itu, Mal?” Pitat kemudian bertanya. Keningnya berkerut ketika menunjuk beberapa benda bulat cokelat kekuningan berlumur lendir di antara daun karet yang gugur.

“Ya ampun!” Jamaludin berseru lagi. “Itu guliga, Tat. Guliga landak! Harganya sangat mahal.”

Semula Pitat belum mengerti apa yang dimaksud oleh Jamaludin. Namun akhirnya ia ingat perkataan istrinya yang pernah bilang, jika ia ke hutan dan bertemu landak dibawa pulang saja. Siapa tahu di dalam perut landak itu ada batu berkhasiat yang bisa menambah peralatan praktik pengobatannya. Selain itu, batu tersebut pun langka dan harganya sangat mahal. Sebab tidak semua landak bisa menghasilkan guliga di dalam perutnya. Apalagi sekarang ia malah melihat seekor landak memuntahkan beberapa batu yang banyak dicari tersebut sembarangan. Ukurannya juga lumayan besar. Bukankah itu suatu keberuntungan.

“Wah, benar sekali, Mal. Ini guliga landak! Wah beruntung sekali kita.”

Wajah Jamaludin tampak berseri-seri. Terbayang sudah di kepalanya uang hasil penjualan guliga itu bisa menambah penghasilannya. Ia menaksir harga guliga berukuran cukup besar itu di atas 2 juta rupiah. Bila dibagi dua bersama Pitat pun ia masih bisa dapat bagian yang lumayan besar.

Baca juga  Halaman Terakhir Cerita Musim Ini

Namun baru saja ia bisa merasa senang, membayangkan bisa mendapat uang secara cuma-cuma dari hasil menjual guliga landak itu, tiba-tiba dalam hatinya muncul rasa tidak enak terhadap Pitat yang seketika mengambil keputusan untuk membawa pulang guliga landak itu lebih dulu untuk ditanyakan pada istrinya.

“Aku akan tanyakan dulu pada Hariani, Mal.”

“Kenapa?” tanya Jamaludin seraya mengerutkan keningnya.

“Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau bertanya apakah guliga ini termasuk yang langka atau tidak.”

“Guliga dari perut landak sudah barang tentu langka, Tat.” Jamaludin membalas dengan buru-buru. Ia merasa kurang setuju pada usulan Pitat. “Tidak semua landak menghasilkan batu seperti itu. Kita juga sudah saksikan bersama kalau itu memang batu landak. Lagi pula kabarnya harga guliga itu mahal. Karena konon dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.”

“Iya, aku tahu. Tapi Hariani lebih mengerti benda-benda magis seperti ini ketimbang kita. Jadi kalau batu ini memang ampuh untuk perobatan barulah kita jual batu ini.”

Jamaludin menghela napas. Ia masih tidak setuju dengan keputusan Pitat. Hariani memang seorang dukun tapi perihal kabar khasiat guliga landak sudah banyak orang tahu. Rasanya tidak perlu ditanyakan terlebih dahulu. Tapi ia tidak mau cari keributan soal batu landak itu. Jadi ia memilih untuk setuju dan menunggu saja. “Baiklah, Tat. Kita tunggu saja hasilnya,” jawab Jamal.

“Tapi, Jamal…” Buru-buru Pitat membalas.

“Apa?”

“Aku ragu menanyakan ini. Aku takut Hariani malah ingin memilikinya.”

***

Ketika Hariani baru saja dibawa ke puskesmas, Pitat pulang. Raut wajahnya tampak begitu khawatir. Orang-orang segera memberinya jalan masuk ke dalam rumah. Masih terlihat bercak darah istrinya di dinding. Jantungnya semakin berdegup kencang. Lantas ia bergegas masuk ke kamar. Memastikan apa saja yang baru saja dirampok. Diceknya satu per satu laci hingga ke bawah kasur. Barulah ia sadar bahwa yang diambil oleh para perampok itu adalah batu landak dan uang senilai 5 juta rupiah yang disimpan di kotak khusus dalam lemari.

“Apa saja yang diambil oleh perampok itu, Tat?” tanya Hasan tetangga terdekatnya.

Namun Pitat jadi tuli. Ia tidak begitu mendengarkan perkataan orang-orang. Seakan orang-orang itu memang tidak pernah ada. Ia seperti kebingungan padahal semua orang ingin membantunya.

Kemudian, masih tanpa bicara, Pitat buru-buru pergi ke luar. Dipasangnya sandal dengan cepat dan segera berlari. Padahal ia sebetulnya punya sepeda motor jika hendak bergegas menyusul istrinya ke puskesmas. Tapi yang terjadi justru malah membuat orang-orang bertanya dan bisikan tak lagi terdengar bisikan, melainkan pembicaraan saling sahut. Apa yang terjadi sebenarnya? Demikian pertanyaan mereka.

Separuh berjalan separuh berlari Pitat akhirnya tiba di depan rumah seseorang. Tanpa basa-basi langsung digedornya pintu itu.

“Jamaludin! Jamaludin! Buka pintumu!”

Tak lama setelah itu keluarlah Jamaludin. Mukanya tampak bingung dan lumayan kesal.

“Ada apa kau, Tat?” tanya Jamaludin seraya mengerutkan keningnya. “Kenapa keras sekali memukul pintu rumahku?”

Baca juga  Cincin untuk Sefia

“Apa maumu? Kenapa kau lakukan itu. Sudah kubilang untuk bersabar, bukan?” Pitat langsung memberondongi Jamaludin dengan sejumlah pertanyaan yang menuntut penjelasan. “Hanya kita dan Hariani yang tahu tentang batu landak itu.”

“Kau ini bicara apa?” Jamaludin makin jengkel. Ia masih belum paham apa sebenarnya yang sedang dibicarakan Pitat. “Kau tiba-tiba datang dan marah. Aku tidak mengerti!”

“Kau dan kawanmu merampok rumahku, Jamal! Kau harus ber tanggung jawab!” Pitat menuding Jamaludin dengan telunjuknya. “Dan sekarang Hariani dibawa ke puskesmas karena lengannya dibacok!”

“Apa?” Jamaludin membekap mulutnya. “Astaga, hanya karena kita dan Hariani yang tahu tentang guliga landak itu, lantas kau berhak menuduhku merampok rumahmu? Aku masih punya otak, Pitat! Lagi pula kau ini betul-betul aneh!”

“Aneh bagaimana? Lalu siapa yang melakukannya? Perampok itu mengambil batu landak dan uang kami?” Pitat makin marah dan cemas pada keadaan istrinya di puskesmas.

Jamaludin menarik paksa tubuh Pitat. Menyuruhnya duduk dan menenangkan diri. Namun Pitat masih bersikeras. Ia masih keras kepala dan sulit mengontrol emosinya. Rasanya Jamaludin ingin sekali mengguyur tubuh Pitat dengan air sumur. Hingga akhirnya ia berteriak keras di depan Pitat yang makin berang.

“Kau seharusnya ingat, batu landak itu memang ada padaku, kan? Kau yang menyuruhku menyimpan batu itu lantaran kau ragu pada istrimu sendiri!” kata Jamaludin. Sontak langsung membuat Pitat terdiam dan coba mengingat-ingat. “Jadi soal apa yang dirampok dari rumahmu aku tidak pernah tahu! Karena kau hanya ingin menanyakan seberapa langka guliga landak itu kepada Hariani.”

Pitat melongo. Ingatannya meluncur deras. Ia betul-betul lupa bahwa guliga landak itu memang ia berikan kepada Jamaludin untuk disimpan. Ia telah terbakar emosi lebih dulu tanpa mencerna perkaranya.

“Jadi… Apa yang dicuri oleh perampok itu, Mal? Aku sungguh ingat ada batu terbungkus kain merah di laci kamar. Jadi kupikir memang aku yang menyimpan batu itu.” Pitat menurunkan nada suaranya.

“Lebih baik kau susul istrimu di puskesmas sekarang, Tat. Ia membutuhkanmu,” kata Jamaludin seraya menghela napas. “Tapi yang perlu kau ingat juga. Hariani itu seorang dukun. Kita tidak pernah tahu siapa yang menaruh dendam padanya. Dan kupikir, guliga landak itu juga mempengaruhi daya pikir kita jadi tidak wajar. Pergilah, orang-orang sudah banyak membantu.”

Tanpa banyak bicara, Pitat langsung berlari ke rumahnya lagi. Ia merasa sangat bodoh. Namun ada yang berbeda dari Jamaludin selepas Pitat memilih untuk pulang menyusul istrinya ke puskesmas. Ia mengeluarkan sebuah benda terbalut kain merah dari saku celananya seraya berbisik, “Sudah lama aku tahu benda ini yang bikin keluargamu kaya, Tat.” ***

MZ Billal. Penulis adalah cerpenis yang tergabung dalam Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!