Cerpen, Jawa Pos, Silvester Petara Hurit

Ama Tobi di Antara Konflik Batas Kampung Serumpun

4.3
(10)

BAGAIMANA orang dalam satu rahim kultur bisa bicara seperti musuh yang tak saling kenal? Di manakah tanah sebagai ibu yang merangkul dan mempersatukan?

DI KANTOR camat yang dijaga ketat aparat keamanan, Ama Tobi sebagai warga tetangga yang masih serumpun dari dua kampung yang bertikai turut hadir di dalamnya. Pertemuan yang tegang dan menguras perasaan. Warga menahan napas setiap kali juru bicaranya berselancar memelintir dan menggebuk argumen dari juru bicara lawannya.

Pak Camat tak mau ambil risiko.

“Tak boleh ada yang bicara soal sejarah ulayat tanah!” tegasnya.

“Dalam pemerintahan negara merdeka yang diurus hanya batas administrasi desa. Desa-desa harus punya batas yang tegas. Ini tuntutan undang-undang. Jadi, jangan bicara panjang lebar di sini!” tandas Pak Camat sambil mengangkat bahunya.

Rapat penyelesaian tapal batas antara Desa Perkasa dan Desa Berjaya hingga sore tak ada titik temunya. Tak ada yang mengalah. Situasi memanas dan tegang. Di luar aula kantor camat, masing-masing pihak berkumpul membentuk kubunya. Aparat keamanan bersiaga. Mengambil posisi pembatas antara dua kelompok kerumunan tersebut.

Di dalam masih berlangsung rapat, di luar satu memaki yang lain. Hanya tak ada yang memaki dengan berteriak. Takut sama aparat keamanan yang siaga dengan pentung dan borgol di tangan.

Mengapa urusan antara kampung bersaudara diseret sampai ke meja pemerintah? Padahal, itu sangat sederhana. Bisa diselesaikan di dalam rumah antarhati sebagai saudara. Pemerintah tinggal menerima laporan. Ama Tobi ingin bicara. Tapi, ia ragu. Yang pintar bicara saja dibantai pendapatnya, disoraki, apalagi yang tak sekolah dan tak fasih bicara bahasa Indonesia seperti dirinya.

Ama Tobi tahu bahwa dulu ketika masih dengan lewo sebelum diganti menjadi desa dengan batas wilayah yang tegas, di situ ada aku, di situ pula mesti ada kamu. Begitulah rasa antara satu lewo dan lewo lainnya. Di gunung, pun di pantai, selalu sama-sama. Tak ada batas untuk tanah bagi lewo-lewo bersaudara. Kampung Berjaya dulu bernama Lewolein, sedangkan Kampung Perkasa bernama Lewoweran. Lewolein adalah bagian kaki, sedangkan Lewoweran adalah bagian kepala. Kaki tanpa kepala tak utuh sebagai tubuh. Namun, setelah ada kebijakan pembentukan desa gaya baru nama dua kampung tersebut diganti.

***

“Ba, apa benar tanah kita tanah pembunuh dan pulau kita pulau darah?”

Ama Tobi kaget. Tak menyangka pertanyaan itu bisa lahir dari Tala, cucunya.

“Apa kita ini suku primitif yang haus darah dan suka perang?”

Ama Tobi mengangkat wajah dan menatap wajah lugu cucu semata wayangnya.

“Siapa yang bilang?”

“Pak Robertus, guru sejarah.”

“Pak Robertus bilang begitu?”

“Iya. Ia baca langsung dari buku yang ditulis misionaris Eropa.”

Baca juga  Sepasang Kekasih di Atas Loteng

“Terus…?”

“Kata Pak Robertus, makanya jangan heran kalau hari ini terjadi lagi konflik antarkampung. Dari dulu memang sudah demikian: perang antara kelompok Paji dan Demon adalah perang saudara tanpa akhir.”

Ama Tobi menarik napas dalam.

Apa yang disampaikan Tala bikin Ama Tobi tak bisa nyenyak. Ia merasa harus bisa menjelaskan apa yang ia ketahui. Maka, sejak itu, setiap malam sebelum tidur Ama Tobi selalu menceritakan kepada cucunya apa yang ia dengar dari tuturan orang tuanya. Bahwa sebelum misionaris-misionaris Eropa tiba, leluhur mereka yang bernama Nara Eba sudah mempersatukan lewo-lewo sebagai kesatuan besar keluarga. Orang asing, siapa pun dia, dan sejahat apa pun ceritanya, diterima dan diperlakukan dengan baik. Di zaman itu belum ada permusuhan antara kelompok Paji dan Demon. Semua dijadikan saudara. Paji dan Demon memuja matahari sebagai bapak dan bumi sebagai ibu. Demon menguasai ilmu api, Paji menguasai ilmu air. Api bisa mendidihkan air. Namun, sepanas-panasnya api akan padam oleh air.

Situasi tersebut mulai berubah ketika semakin banyak pedagang yang datang ke Pantai Kewuta berdagang dan melabuhkan perahunya saat musim gelombang. Apalagi setelah hadirnya para pedagang Eropa. Persaingan dagang membuat orang-orang saling memanfaatkan. Kepentingan membuat batas sekutu dan musuh begitu tipis. Para pedagang tersebut mencari sekutu orang-orang kuat untuk menguasai cendana di pedalaman. Paji dan Demon diadu domba. Jadilah perang saudara. Mereka mengambil keuntungan dalam situasi itu.

Pedagang-pedagang Eropa berusaha menancapkan pengaruhnya lebih dalam. Nara Eba sang pemersatu yang bijak harus dihapus dari ingatan masyarakat. Turunannya dibunuh dengan memakai tangan sesama pribumi. Lalu, mereka memperkuat orang-orang yang bisa bekerja sama, mengangkatnya menjadi raja, memberinya gelar-gelar mulia, termasuk memproduksi sejarah dan mitologi baru demi memperkuat kekuasaan raja-raja baru yang diangkatnya.

Sejak saat itu, muslihat, bermulut licin, mengkhianati persahabatan, menusuk dari belakang dipraktikkan sebagai hal yang wajar. Yang unggul siasat, dialah pemenang. Yang pintar berkompromi, membangun sekutu, dan berlaku kasar, dialah yang memimpin. Yang gila kuasa unggul di mana-mana. Orang-orang sibuk berebut kuasa dan jabatan. Tak sedikit bandit jadi raja berkat kerja sama dengan orang asing.

“Lalu, kenapa ada perang tradisi, Ba?” tanya Tala suatu malam.

“Perang tradisi itu seperti pertandingan sepak bola atau tinju hari ini.”

“Bagaimana itu?”

“Di dalam perang tradisi, amarah dikontrol dan dikendalikan. Di luar jam perang yang sudah disepakati, kedua pihak yang berperang bersenda gurau minum tuak sama-sama. Tak ada dendam.”

“Kok bisa?”

“Iya, kalau ada yang terluka parah, ia lari ke tempat yang disebut: orin sadu. Tempat netral di mana tak boleh saling melukai. Ada kampung yang punya tugas seperti wasit yang mengontrol jalannya perang.”

Baca juga  Di Tepi Rindu

“Jadi, tak boleh sembarang bunuh lawan ya?”

“Iya, anak kecil, perempuan tak boleh dilukai. Tak boleh menjarah harta atau mengambil barang-barang lawan. Itu harga diri dalam perang.”

“Untuk apa perang kalau begitu?”

“Uji hati dan pikiran. Hanya orang bersih dan jujur hatinya yang unggul di medan perang. Sebelum berperang, orang harus akui serta pulihkan semua salahnya. Perang seperti pangkas ranting buruk pohon yang tak menghasilkan bunga dan buah.”

“Tapi, perang itu tidak baik…”

“Sekarang sudah tidak zamannya lagi. Medan perang kalian sekarang adalah sekolah. Pena adalah senjata. Jadilah ata breket!”

***

Tulisan-tulisan miring dan provokatif tentang perang tradisi kemudian jadi referensi gubernur dan bupati mendukung kebijakan lembaga agama membangun sekolah-sekolah pasca kemerdekaan sebagai kebijakan khusus daerah demi memberadabkan masyarakat yang dianggap gemar berperang dan susah diatur.

“Harap negara mendukung proses peradaban masyarakat di wilayah kami menuju pencerdasan dan kemajuan.” Demikianlah inti penyampaian ke pemerintah pusat dari bupati ke bupati, dari gubernur ke gubernur, walau dengan redaksi yang berbeda-beda.

Bagi sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan agama, para siswa diajari bahasa Inggris, Jerman, Latin, dan dilarang bicara bahasa ibunya di lingkungan sekolah. Hasilnya, para siswa sangat tahu siapa itu Abraham, Daud, Herodes, Nero, tapi tak pernah tahu siapa leluhur-leluhurnya. Mereka sangat fasih bercerita tentang Filipi, Korintus, Derbe, Tarsus, Roma, tetapi tak tahu cerita tentang kampung halamannya.

Ama Tobi sering mendengar bagaimana orang-orang sekolahan bicara dan ia kagum akan keluasan pengetahuan mereka. Itu hal yang tak ia miliki. Namun, ia merasa ada yang kurang. Bagaimana orang bisa memiliki pengetahuan sehebat itu, namun tak bisa bicara antarhati dengan orang-orang dari kampung tetangganya yang masih kerabat karena ikatan sejarah dan perkawinan? Orang-orang yang sangat ia kenali kesederhanaan dan kelurusan hati orang tua mereka, hari ini barangkali karena terlalu banyak pengetahuannya, tak dapat melihat tanahnya sendiri dengan hati dan pikiran yang jujur. Tak lagi ingat paman, bibi, kakek, nenek, dan sepupunya yang tinggal di kampung sebelahnya.

Walau tak sepenuhnya benar, Ama Tobi merasa sekolah lebih banyak mendidik gengsi bukan kejujuran, menang bukan pengertian, memiliki bukan berbagi, pamer kerumitan bukan kesederhanaan. Sekolah tak mendekatkan mereka dengan tanah dan langitnya, dengan saudara, tetangga, dan kerabatnya.

***

Sejak pertemuan di kantor camat yang tak berbuah hasil, ketegangan antara Desa Berjaya dan Desa Perkasa kian menjadi-jadi. Ini jadi soal bagi Suban, teman sekelas Tala, dan beberapa temannya dari Desa Berjaya yang bersekolah di SMA Santo Johanes. Sudah hampir seminggu mereka tak bersekolah karena harus melintasi Desa Perkasa. Tadi malam mereka ditelepon wali kelasnya agar segera menyetor iuran wajib tahunan kepada yayasan yang menaungi sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah mereka. Bukan rahasia lagi bahwa yayasan tersebut meminta jatah guru negeri, bantuan operasional sekolah dari pemerintah, tapi selalu menghalangi pe-negeri-an sekolah meskipun sekarat. Pihak yayasan menagih iuran wajib tahunan bagi setiap siswa dari ratusan sekolah yang berada di bawah naungannya mulai tingkat SD sampai SMA walau tak sedikit pun berkontribusi pada biaya operasional sekolah.

Baca juga  Anjing Berjubah Merah

***

Dari ladang jagungnya di punggung bukit, Ama Tobi memandang ke lembah. Kompleks sekolah mulai SD, SMP, rumah pastoran, gereja, kantor desa, hingga lapangan bola kaki terlihat jelas. Ada perih yang ia tahan. Dulu kompleks itu merupakan tempat berdiamnya dewa-dewi penjaga kampung. Penuh dengan beringin dan pohon-pohon besar menjulang yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Tanah itu diberikannya dengan ikhlas untuk pembangunan fasilitas publik tanpa sepeser pun uang yang ia terima.

Tiba-tiba Ama Tobi dikejutkan oleh suara takut Tala yang memanggil-manggilnya. Dengan terbata-bata, Tala bercerita mengenai teman-temannya dari Desa Berjaya yang dihajar anak-anak muda Desa Perkasa setelah pulang dari sekolah menyetor iuran wajib untuk yayasan. Orang-orang dari Desa Berjaya bereaksi dengan membawa parang, pentung, busur-panah, dan tombak masuk ke Desa Perkasa membabat siapa dan apa pun di sana. Rumah-rumah hancur berantakan.

Ama Tobi menggenggam erat tangan cucunya sepanjang jalan pulang ke rumah. Raungan sirene dan bunyi tembakan merobek langit yang hening. Belasan kendaraan Marinir meraung-raung menuju Desa Perkasa. Suasana mencekam. Desa-desa tetangga diimbau tak boleh turut serta. Beberapa kali suara tembakan terdengar di tengah malam.

Terbayang kembali suasana perang di masa kolonial. Lebih buruk hari ini, di zaman yang katanya lebih beradab karena dihuni oleh orang-orang yang lebih tinggi tingkat adabnya karena sekolah tinggi, namun faktanya: saudara menggasak saudara dalam satu rahim kultur. Dada Ama Tobi terasa lebih sesak. Lolong anjing panjang terdengar jauh dari arah bukit. Angin kemarau membawa serta amis darah. Senja murung ditimpali suara lemah sang cucu:

“Ba, kalau besok tidak bawa iuran untuk yayasan, kata Ibu Guru, Senin saya tak boleh ikut ujian….” ***

Lewotala, Februari 2021

DAFTAR ISTILAH

Lewo : kampung

Ba : panggilan untuk kakek

Ata breket : para pemberani/satria perang

SILVESTER PETARA HURIT. Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan teater dan sastra di Flores Timur, NTT.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!