BUKANKAH kita semua budak cinta? Hidup adalah tentang cinta. Tidak ada seorang ahli ibadah tanpa kecintaannya pada Sang Pencipta. Tidak ada seorang ahli ilmu tanpa kecintaannya pada pengetahuan. Tidak ada koruptor tanpa kecintaannya pada uang. Lantas, tanyakan pada diri, kita budak cinta yang bagian mana?
Mencintaimu, sama halnya mengingat kata Tuhanku. Nikmat mana lagi yang ingin kudustai? Tak perlu aku bersusah payah mempercantik wajah dan fisik untuk terlihat istimewa. Sebab, sesederhana diri akan terlihat istimewa di hadapan orang yang tepat.
Enam tahun menunggu kabar dari lelaki yang pernah menawarkan janji untuk sehidup semati, harus luntur dengan kehadiran dirimu. Ya, itu kamu, lelaki bernama Muhammad Haris Chaniago. Lelaki yang diundang dalam doa.
Hah, sesayang inikah Dia? Atau inikah balasan sayangku pada-Nya? Saat orang-orang di sekeliling mendoakanku agar mendapatkan jodoh yang baik. Menyegerakan diri untuk bersanding dengan lelaki yang tepat di pelaminan. Justru aku mengacuhkannya. Terlalu naif bila aku sendiri tidak meminta dalam doa. Saban hari, tak pernah kulalaikan untuk meminta petunjuk mengenai jodoh di penghujung doa. Seminggu, di sepertiga malam, aku terbangun untuk meneruskan usaha merengek dalam doa. Kelak, agar Dia tersenyum melihat kemanjaanku.
Sebenarnya aku paling takut untuk berbagi cinta pada manusia. Karena, mencintai dunia harus mempersiapkan ruang kecewa dalam diri. Bahkan saat kau hadir, aku selalu bertanya dalam diri. Siapa dirimu? Kenapa kau hadir? Mungkinkah kau jawaban doaku? Atau justru kau bentuk ujian untukku? Entahlah. Setahuku, seminggu aku melakukan ritual doa, kau datang dalam hidupku. Ya, pertemuan sekitar lima menit membuatku merasakan hal aneh. Kupikir, itu hanya perasaan biasa. Namun, setelah beberapa jam, aku terus memikirkanmu dan berakhir untuk memutuskan gengsi meminta nomor WhatsAppmu.
“Menikahlah! Usiamu sudah menuntut menikah.”
Begitulah ujaran orang kepadaku. Ah, rasanya ingin sekali kututup mulut mereka dengan lem. Mereka pikir, menikah itu seperti membeli kerupuk di kedai. Mereka sangka, aku ini memiliki segudang lelaki dalam hati. Bagiku, perempuan anggun itu diidamkan banyak lelaki tetapi hanya memiliki dan dimiliki satu lelaki saja. Bukan tidak banyak yang berniat meminangku, namun saat kusuruh datang ke rumah, mereka memiliki seribu alasan menolak. Lagian, aku juga sudah berikrar dalam diri untuk menikah dengan cinta. Bukan karena tuntutan ini dan itu.
“Sayang, sini!” teriakmu.
Kuangkat tubuh, melangkahkan kaki menujumu di tepi danau. Kau duduk dengan tenang meratapi sindar sang surya dari balik bukit. Kuperintahkan badan duduk setelah berada di sampingmu.
“Ada apa, Sayang?” tanyaku.
“Sayang, coba lihat di sana!” perintahnya.
“Nelayan itu?” dengan nada tertekan.
Kau mengangguk, aku tidak mengerti alasanmu menunjuk nelayan yang tengah mencari nafkah di pagi hari. Apa mungkin kau tidak pernah melihat nelayan sebelumnya? Atau ingin mengetahui nelayan itu mencari apa?
“Iya. Dari semalam awak melihat, nelayan itu hanya bekerja di pagi hari saja. Apa mereka mendapatkan ikan yang banyak?”
Kau tersenyum tipis. Aku membuang tatapan ke arah nelayan yang berada di tengah danau. Kujelaskan padamu bahwa nelayan setempat memang bekerja di pagi hari sebelum kapal penyebrangan dan speedboat berlalu-lalang di danau. Sayang, nelayan sekarang tidak seperti nelayan dahulu. Nelayan sekarang memilih mencari udang di danau dengan memasang jaring tidak memancing. Jadi, mereka hanya mendayung perahu di sekitaran jaring mereka. Padahal, tahun lalu masih sering kulihat para nelayan mencari udang dengan cara memancing.
Miris, selain nelayan, kulihat debit air danau sudah banyak berkurang. Ini terbukti dari tempat yang kami duduki. Biasanya, aku duduk sambil memainkan air di danau. Kini, aku harus turun dan berjalan satu meter setengah menuju tepi. Kemana perginya air danau?
Selain nelayan dan debit air, aku juga memaparkan kicauan burung ampok yang dikenal warga sebagai asal-usul suara alat musik batak, yakni Taganing. Kau menawarkan senyuman hangat seolah takjub atas penjelasan dari bibirku. Kau menjulurkan tangan dan menggenggam tanganku seakan tidak ingin kehilangan.
“Sayang, coba pejamkan mata. Rasakan hembusan anginnya.” Pintamu.
Aku mengikuti kemauanmu seusai kau menutup mata. Perlahan, kupejamkan dan mulai mengasah intuisi untuk menikmati keindahan danau. Jauh dalam diri, aku meritualkan doa untuk segera satu atap bersamamu.
Lama kupejamkan mata, tanganmu masih menggenggam tanganku. Akhirnya pelan kubuka kembali pelupuk mata. Sontak aku tersenyum, tangan satunya kusuruh menutup mulut. Secepat inikah? Kau membalas senyumanku. Tangan kananmu yang menjulurkan kotak berbentuk hati berisi cincin membuat aku salah tingkah.
“Maukah jadi ibu dari anak-anakku?”
Tidak sayang, hubungan kita masih terlalu belia. Kau belum mengetahui sifat burukku. Begitu juga denganku belum mengetahui sifat aslimu. Lagian, bapakku juga menyuruh kita untuk saling mengenal.
Bibirku masih membisu. Menyusuri tatapanmu, ada ketulusan di sana. Memang, sejak awal bertemu kau selalu mendesakku untuk menikah. Katamu, lelah menyendiri, sudah waktunya mencari istri setelah bertahun-tahun menghabiskan masa untuk mengumpuli uang. Tapi, ini terlalu cepat. Aku tidak mau ada penyesalan setelah ijab kabul.
“Adik mau, tapi….”
“Tapi apa? Masih berat melupakan Irawan?”
Hah, bagaimana kau tahu tentang Irawan? Sedangkan aku belum bercerita tentangnya. Kau salah, jauh sebelumnya aku sudah ikhlas Irawan hidup bersama istri dan anaknya. Tak sedikitpun aku berharap untuknya kembali kepadaku.
“Gak, ah. Kita baru kenal, belum mengenal lebih dalam.”
Kau mengacuhkan ucapanku. Melepaskan genggaman dan memasukkan ligkaran emas itu ke jari manisku. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Sembari memasukkan cincin, kau menceritakan asal-muasal mengetahui tentang Irawan. Katamu, awal pertemuan, kau pensaran denganku. Tujuanmu meminta semua nama akun media sosialku untuk mengenalku lebih dalam. Suatu ketika, kau membaca semua tulisanku mengenai Irawan. Benar saja, hampir semua imajiku tertuju pada Irawan. Bagaimana tidak? Lelaki yang hanya menawarkan janji manis sama seperti orang-orang yang ada di spanduk pinggir jalanan, membuatku hanyut pada harapan kosong. Sialnya, aku terus menunggu janji itu hingga kau datang mengoyak semua imaji dan mengantarkanku pada kenyataan. Benar-benar nikmat mana lagi yang ingin kudustai.
Aku tersipu malu, mendengar semua cericaumu. Katamu lagi, kau sudah cukup mengenalku dari semua media sosialku. Kau ingin menyudahi semua tulisanku tentang Irawan di media sosial.
“Sayang itu jawaban doa awak selama ini.” Tuturmu.
Aku mengernyit. Kau meneruskan cerita. Bukan main, ternyata selama ini kau juga meminta petunjuk untuk mempertemukan diri dengan jodoh. Lucu sekali ya, kita dipertemukan dengan doa yang sama. Mendengar semua ocehan dari bibirmu, pipiku memerah dan kau mencubit pelan. Kita tertawa kecil.
“Awak tidak memaksa sayang untuk menikah sekarang. Tapi, anggaplah ini suatu ikatan hubungan kita. Awak tak mau kehilangan….”
Ucapanmu berhenti saat ponselku berdering di saku celanamu. Di layar, nama Irawan tertera. Aku baru sadar ponsel itu sudah berjam-jam bersamamu. Kau meminjam untuk menelepon teman. Kau memberikan ponsel itu padaku dan menyuruh jawab telepon itu. Aku menggeleng, menjaga perasaanmu. Tapi, kau mendesak. Akhirnya, aku menyuruhmu yang menjawab.
“Dari tadi dia menelepon. Dan, kami sudah berbicara. Sekarang, giliran Sayang berbicara dengannya.”
Tiba-tiba dadaku terasa sesak mendengar pengakuanmu. Jantungku berdegup dua kali dari biasanya. Darah mengalir kencang, dinginnya angin di tepi danau sudah tak terasa lagi. ***
Siti Maulid Dina. Alumni Pendidikan Matematika UINSU.
Leave a Reply