Cerpen Joss Wibisono (Suara Merdeka, 26 Januari 2020)

Merampas Kewanitaan ilustrasi Suara Merdeka
Iswando terbangun oleh bunyi kucuran air keran di dapur, di sebelah kiri kamar tidurnya. Sesaat dia merasa tidak tahu di mana berada. Namun menengok langitlangit kamar, segera Iswando sadar, dia berada di rumah dosennya, di bilangan Kemiri, kota tempatnya menuntut ilmu. Di tempat tidur sebelah terbaring nyenyak Harry Suryawan, sahabatnya dari Bandung yang sedang bertamu.
“Tapi mengapa pagi-pagi begini dia sudah cuci piring?” Iswando bertanya pada diri sendiri sambil melihat jam di tangan yang belum lagi menunjuk angka lima.
Dia mengira Tiarma Saragih atau Ni Nengah Rimbun, dua sahabat lain yang tidur di kamar sebelah kanan, sudah bangun dan rajinrajin cuci piring. Segera dia bangkit untuk meminta si orang rajin berhenti mengganggu tidurnya.
Betapa kaget Iswando mendapati Katiyem, bukan salah satu temannya. Aneh, pembantu rumah tangga dosennya selalu datang sekitar pukul 07.00 atau 07.30. “Astaga, Bu Kati, pagi bener? Ini belum lagi pukul lima,” pertanyaan Iswando lebih terdengar sebagai protes.
“Ah, nuwun sewu, Nak, anu, anu, ini tadi Ibu bangun kepagian, terus berangkat saja daripada ndakada kerjaan di rumah.” Katiyem terdengar mencari-cari jawaban, mungkin karena tidak mengira Iswando tiba-tiba berdiri di ambang pintu dapur.
“Tadi sudah buka pintu pelan-pelan. Tapi waktu cuci piring, Ibu lupa Nak Wando tidur di balik tembok ini. Maaf, Nak.”
Alhasil, pada pagi yang masih gelap itu keduanya saling bermaaf ria.
“Maaf, ini ada teman-teman menginap. Semalam hujan lebat. Mereka ndak bisa balik ke penginapan di Jalan Kartini. Jadi mereka minta menginap di sini, terus kami ngobrol dan makan-makan sampai pukul setengah dua, Bu,” Iswando beralasan mengapa gelas dan piring masih berserakan di dapur.
Belum berapa lama sendirian menjaga rumah dosen, dia sudah dihinggapi bosan. Untung, tiga temannya setuju menemani.
“Bu Rosinta memang pernah bilang Nak Wando akan kedatangan tamu menginap,” kata Katiyem, ingat pesan majikannya yang baru dua minggu lalu berangkat ke Sydney menjalani sabbatical alias cuti untuk menulis buku.
“Aku tidur lagi ya. Tulung Bu Kati jangan berisik,” katanya sambil melangkah kembali ke kamar tidur.
“Ada apa?” Harry bertanya sambil membalik diri dari tidur tengkurap.
“Bu Kati datang kepagian,” Iswando terpaksa menjawab, padahal dia rasa kantuk berat menghinggap.
Sementara dia menyusup ke balik selimut, Harry keluar kamar. “Ke WC,” katanya.
Iswando tidak mendengar lagi Harry kembali masuk. Dia sudah terlelap, jauh di alam tidur yang hanya terjangkau mimpi. Iswando melihat dirinya bergegas ingin masuk rumah Rosinta Damanik, dosen wali studinya. Ternyata kunci tak ada di saku celana, tidak juga di saku baju. Dia ketuk-ketuk pintu, tak ada jawaban. Melongok dari jendela, dia lihat Katiyem terbaring di lantai, cairan merah tampak di kakinya. Kontan Iswando berteriak-teriak memanggil pembantu itu. Namun dia dengar Harry memanggil-manggil dia, juga menggoyang-goyang tubuhnya yang terasa lemas.
“Wando, bangun, bangun! Pasti kau mimpi!”
Dia buka mata dan melihat sinar matahari sudah menerobos kamar tidur. Harry tampak berpakaian rapi, walau tempat tidurnya belum tertata. Segera Iswando bangun. Pagi itu mereka berencana sarapan di soto Esto, kemudian ke toko Prakoso untuk memfotokopi beberapa buku yang kemarin mereka pinjam.
“Kita mesti sepakat pertemuan ini membahas buku tertentu. Usulku kita bahas Cornell Paper,” Harry langsung tembak begitu melihat Iswando keluar kamar. Dia melanjutkan rencana dini hari tadi untuk mengadakan pertemuan beberapa kelompok studi mahasiswa.
“Masa pertemuan dua hari cuma ngomongin satu buku?” Ni Nengah Rimbun yang semalam setuju membahas buku, kini memperdengarkan protes. Sebagai mahasiswa ekonomi, ia ingin teman-temannya kritis terhadap pembangunan yang digembar-gemborkan pemerintah. “Pembangunan ini tidak lebih dari ketergantungan pada modal asing yang selalu disebut bantuan. Buku ini membahasnya panjang-lebar!” Nengah mengangkat buku warna biru tentang ketergantungan dunia ketiga yang tengah dia baca.
“Bagaimana kalau kita lanjutkan omongomong ini sambil sarapan?” Iswando menyuarakan perutnya yang keroncongan. Ia yakin bicara sambil menanggung lapar akan bertele-tele; semua pasti akan berkeras kepala. Dan memang tak satu pun dari tiga sahabatnya menyuarakan berkeberatan. Mengendarai motor, keempatnya bergegas ke warung soto Esto. Keyakinan Iswando terbukti. Sambil melahap soto ayam yang dihidangkan di warung sisi kanan garasi bus Esto, dilengkapi kerupuk karak, keempatnya cepat bersepakat untuk membahas dua buku. Jadi buku-buku usulan Harry Suryawan dan Ni Nengah Rimbun dibahas bergantian.
Satu porsi soto sudah cukup mengenyangkan, walau Iswando masih pesan saren alias darah ayam goreng, yang mereka habiskan ramai-ramai. Untuk sarapan yang cukup menyegarkan itu mereka bayar seribu seratus rupiah.
Langkah berikut mencakup dua perkara, memperbanyak dua buku yang akan dibahas serta membantu mereka yang kesulitan membaca buku-buku bahasa Inggris. Tiarma Saragih sanggup membantu mereka yang kesulitan bahasa Inggris. Sebagai anak diplomat yang menempuh sekolah menengah di Amerika dan Australia, gadis Batak itu fasih bahasa Inggris, lisan dan tulisan. Siapa yang butuh bantuan dia persilakan datang sehari lebih dahulu, supaya ada waktu untuk membaca sampai benar-benar mengerti. Untuk memperbanyak buku, mereka berempat berangkat ke fotokopi Prakoso di Jalan Pemotongan, tidak jauh dari Jalan Langensuko tempat soto Esto.
“Koh Hwie Hiang pasti akan bantu kita,” kata Iswanto yakin.
Dia sudah berkenalan dengan Oey Hwie Hiang pada hari-hari awal bermahasiswa. Maklum, dia mesti menyerahkan fotokopi banyak dokumen, bukan cuma ijazah SMA, melainkan juga akta kelahiran dan surat berkelakuan baik, termasuk surat bersih lingkungan. Dosen pembimbingnya, Rosinta Damanik, menganjurkan Iswando menemui Oey Hwie Hiang yang waktu itu baru kembali dari Bandung. Sejak itu segala macam urusan fotokopi dia serahkan kepada koh Hwie Hiang, begitu Iswando memanggil salah satu teman awalnya itu. Dia tidak peduli pada keluhan orang bahwa fotokopi Prakoso tidak murah.
“Walau mahal, hasilnya selalu jempolan,” kilah Iswando.
Oey Hwie Hiang tidak begitu sibuk ketika Iswando dan teman-temannya masuk toko fotokopi Prakoso. Hari masih pagi, belum banyak pelanggan. “Wah, berempat nih. Pasti banyak yang mesti difotokopi,” ucapnya melihat Iswando masuk bersama tiga teman.
“Cuma dua buku, Koh, tapi masing-masing lima kali,” kata Iswando menyodorkan bukubuku yang akan digandakan.
“Wow, Cornell Paper dan teori ketergantungan,” Oey Hwie Hiang terdengar paham makna dua buku yang dia pegang.
Kedua buku itu memang superkritis terhadap rezim Orde Baru yang sudah berkuasa 15 tahun, kalau dihitung sejak menang Pemilu 1971. Segera dia persilakan keempatnya masuk kamar tamu, tidak seperti pelanggan lain yang berdiri di meja layanan menanti hasil fotokopi. Omong-omong perkara gawat seperti Cornell Paper lebih aman di dalam, demikian perhitungan Oey Hwie Hiang.
Nengah dan Tiarma yang sejak tadi asyik berbicara tanpa melibatkan pihak lain, tidak segera masuk. Aku balik duluan,” kata Tiarma. “Tidak enak badan,” katanya sambil minta kunci motor.
“Apa ini buku-buku wajib?” Oey Hwie Hiang bertanya begitu mereka duduk di ruang tamu.
“Enggaksih, Koh,” jawab Iswando. “Kami akan bicarakan buku-buku ini dalam temu kelompok diskusi bulan depan.”
Oey Hwie Hiang sadar. “Ah, ini inisiatif kalian. Ciamik, aku dukung sepenuhnya.” Dia mengacungkan jempol kanan, dan setelah meletakkan buku, jempol kiri tak mau ketinggalan.
“Kenapa mendukung, Koh?” Giliran Harry Suryawan tergelitik melihat seorang Tionghoa pemilik toko fotokopi begitu bersemangat menyambut upaya mereka.
“Mahasiswa harus selalu kritis. Kalau mahasiswa cuma mengikuti kemauan penguasa, hilanglah masa depan,” Oey Hwie Hiang makin tak terbendung.
“Emang apa kemauan penguasa, Koh?” Harry juga tak bisa membendung rasa ingin tahu.
“Menteri pendidikan yang sebelum ini kan sudah menormalkan kampus. Itu berarti mahasiswa dilarang menindaklanjuti sikap kritisnya, dan menteri pendidikan yang sekarang meneruskannya,” Oey Hwie Hiang terdengar makin ketus. “Sebagai mahasiswa, kami di Bandung dulu bukan cuma belajar berpikir kritis, melainkan juga bertindak dan berperilaku kritis. Protes dan demonstrasi yang kami gelar adalah kelanjutan sikap dan pikiran kritis yang kami pupuk di bangku kuliah,” Oey Hwie Hiang terdengar sabar. Dia ingin orang paham penjelasannya.
“Jadi pemerintah berhasil menghentikan upaya mahasiswa untuk menindaklanjuti berpikir kritis dengan bertindak kritis?” Iswando berupaya memahami pernyataan si pemilik toko fotokopi.
“Benar, itulah menurutku inti politik NKK/BKK rezim ini. Mahasiswa dilarang bertindak kritis. Itu sudah berhasil, karena kampus sudah normal, tentu saja normal dalam tanda petik. Tapi pasti tidak akan berhenti di situ saja. Pasti juga akan mereka hentikan upaya mahasiswa berpikir kritis,” kembali Oey Hwie Hiang menemukan semangat.
“Ah jadi paham nih kenapa Koh Hwie Hiang mendukung upaya kami bikin temu kelompok diskusi,” Nengah Rimbun menarik kesimpulan jitu. “Dulu kuliah apa, Koh, di Bandung?” Pertanyaan gadis Tabanan itu membuat Oey Hwie Hiang tersipu-sipu.
“Arsitektur, tapi ndak sampai tamat. Aku ikut protes mahasiswa Bandung tahun 1978, protes atas pencalonan kembali orang kuat Orde Baru. Kami dikriminalkan, pemimpin kami diadili dan dijatuhi hukuman penjara. Aku ditahan, setelah sekitar setahun bebas. Tapi ternyata aku tidak boleh kuliah lagi. Dan harus kuakui, aku sudah ketinggalan banyak. Akhirnya kutinggalkan bangku kuliah, pulang kampung, nerusin usaha fotokopi orang tua,” suaranya melemah.
Semua terdiam. Kata-kata seperti lenyap tertelan ketidaktahuan. Harus berujar apa atas musibah lama yang baru mereka ketahui itu? Tidak terbayang bagi Iswando dan dua temannya yang sedang giat-giatnya menuntut ilmu bahwa mereka akan putus kuliah.
Oey Hwie Hiang kembali angkat bicara. “Jadi masing-masing buku lima kali,” katanya. “Kalian gakperlu bayar semua. Aku tanggung separuh. Syaratnya aku ikut diskusi kalian. Gimana?”
Ketiganya terbelalak. Sama sekali tak mereka duga upaya remeh mempelajari hal-hal yang tidak mereka dapat di bangku kuliah akan didukung oleh seorang pemilik took fotokopi.
“Wah, terima kasih banyak, Koh. Pastilah Engkoh kami undang. Mungkin bisa cerita suasana Bandung tahun 1970-an. Aku yakin kami akan belajar banyak.” Iswando merasa ingin berujar lebih banyak lagi, tapi hanya itu yang terlontar.
“Aku senang kalian tetap ingin belajar jadi kritis, karena itu yang dihalangi penguasa,” jawab Oey Hwie Hiang.
Mereka segera pamit begitu melihat pelanggan berdatangan.
Sesampai di rumah, Iswando mendapati Tiarma tengah berbicara serius dengan Bu Kati di dapur. Dan memang begitu melihat temantemannya datang, Tiarma segera menghampiri mereka, mengajak bicara dengan isyarat serius.
“Gawat,” Tiarma setengah berbisik memulai penjelasan. “Begini ceritanya,” ia kembali bersuara normal. “Tadi itu aku pergi duluan karena harus ganti pakaian. Sama Nengah, aku bilang jadwal bulananku datang. Padaku selalu begitu, tak ada tanda-tanda, tahu-tahu ada bercak di pakaian.” Tiarma melihat temantemannya makin tak sabar karena dia tidak langsung bicara tentang hal yang disebutnya gawat. “Nah, sesampai di sini aku langsung ke kamar mandi untuk ganti pakaian. Mungkin karena naluri kewanitaan, Bu Kati tahu. Dia bilang dia juga gitu, selalu mendadak, tak terasa. Tapi katanya sudah lama dia tidak haid, terakhir sekitar enam bulan lalu. Aku bilang, wah sudah hampir purna nih tugas kewanitaan. Tiba-tiba dia mendekat dan bilang ketakutan. Kenapa, tanyaku. Dia bilang ketakutan dipasangi spiral. Siapa yang mau pasang? Katanya orang kelurahan. Hari-hari ini mereka lagi sibuk menyuruh-nyuruh orang sedesa ikut KB. Tetangga kanan-kirinya sudah dapat giliran. Sudah dua kali dia didatangi, tapi itu siang, waktu dia kerja di sini,” Tiarma makin menggebu. “Padahal Bu Kati janda lo. Suaminya sudah lama meninggal!” Tanpa sadar Iswando memotong. “Dia sudah jarang haid lagi,” Nengah terdengar tidak sabar.
“Itulah,” Tiarma menyahut judes. “Kelurahan pasti tahu dia tak bersuami dan tinggal sama anaknya!”
Iswando langsung mengerti. “Pantas dia dateng pagi bener tadi. Pasti lantaran dia berusaha menghindari orang-orang kelurahan yang mau merampas kewanitaannya.” (28)
Joss Wibisono, pada 1980-an mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Mas Penan
Ini yang “maaf” saya kurang cocok, meski dalam pemberian nama sebuah cerita/lakon adalah “bisa” asal-asal, tetapi kenapa di kepala penulis “KATIYEM” yang identik dengan nama perempuan Jawa. Diperan sebagai PEMBANTU … dan inilah yang secara tak sengaja dlm kesadaran penuh – seakan wong jowo pantas cukup ideal jadi pembantu. Bukankah Presiden RI mayoritas trah Jawa.
Coba memakai nama ‘RITA SARINGGIH” atau “Angel Hutaga”.Nama-nama itu juga tidak mengurangi kecakapan subuah frasa atau tak mengkikis keelokan alur cerita.
maaf.
Fidya
Ya begitulah…jawa dan pembantu memang seakan sudah menjadi idiom.