Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 01-02 Februari 2020)

Kakek Taman Kanak-kanak ilustrasi Koran Tempo
Tak ada yang paling ditunggu Darman, seorang pensiunan, selain sore dengan cuaca cerah. Duduk di kursi kecil, di taman di sudut kanan halaman, di pangkuannya terbentang koran dan di sebelahnya, di atas kursi kecil lain, tergeletak secangkir kopi dan sepiring kecil rebus ubi jalar ungu. Ah, betapa indah, betapa nikmatnya waktu. Waktu?
Tiba-tiba Darman terpikir tentang itu: waktu. Dan tiba-tiba pula, entah kenapa, ia ingin membantah: bukan, yang indah dan nikmat bukanlah waktu. Lalu apa? Halaman inikah? Halaman hijau kecil, penuh pohon kecil, di sebuah rumah kecil dalam kompleks perumahan kecil dengan pemandangan lepas ke sebelah kanan perumahan yang juga hamparan hijau? Bukit-bukit kecil, sawah-sawah, bertingkat bersusun-susun turun ke lurah-semacam lembah kecil. Dan, di dasar lurah, mengalir sebuah sungai kecil. Halaman, dengan pemandangan hijau raya inikah, yang membuat sore menjadi indah?
Darman meletakkan korannya—ke kursi kecil lain, merasa terganggu oleh apa yang ia pikirkan. Tapi, sebelum sempat berpikir lama, terdengar suara dan langkah kaki mendekat dari belakangnya, “Kenapa kopimu belum diminum, Kakek Teka? Nanti keburu dingin.”
Ida, istrinya. Ia ambil koran yang baru ia letakkan, karena kursi kecil ketiga itu memang kursi yang biasa diduduki Ida. “Hhh! Kau juga memanggilku Kakek Teka!” sergahnya seraya mengatur si kursi agar selesa diduduki si istri. Istrinya tertawa kecil, duduk di kursi itu, menepuk bahunya lembut.
“Kakek Teka, kau memikirkan sesuatu?”
***
Kakek Teka. Panggilan itu baru Darman peroleh pagi tadi. Panggilan yang diterimanya dari seorang bocah, anak penghuni perumahan juga, ketika si bocah dan neneknya lewat di depan rumah, saat Darman sedang memangkas dan merapikan bunga-bunga. Di sela sapaan dan obrolan Darman dengan si nenek, si bocah ikut menyapa dengan sebutan “kakek”, Kakek Teka-bukan “Pak Teka”, sebutan yang biasa Darman terima. Dan, ketika hal itu ia ceritakan kepada Ida, si istri tergelak seraya berkata, “Bukankah Papa memang sudah kakek-kakek?”
Baca juga: Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak – Cerpen Gus tf Sakai (Kompas, 27 Agustus 2017)
Saat itu, sejenak, Darman tertegun. Tapi segera pula ia tergelak. “Dan itu, artinya, Mama juga sudah nenek-nenek?”
“Iya. Bukankah kita sudah punya cucu? Kok Papa tidak merasa siih?”
Kembali Darman tertegun. Ya, istrinya betul. Bahkan, sudah punya empat cucu dari dua anak mereka, Erni dan Tika. Cucu mereka tertua, Naya, anak Erni, malah sudah kelas 6 SD. Kenapa ia tidak merasa? Kenapa, sudah 12 tahun punya cucu, Darman tidak merasa jadi kakek? Apakah karena cucu-cucunya, seperti halnya Erni dan Tika, selama ini juga memanggil Darman “Papa”—dan kepada Ida memanggil “Mama”? Dan pula, di kompleks perumahan kecil ini, orang-orang telah terbiasa dan sudah sejak lama memanggil Darman dengan panggilan itu: Pak Teka? Ya, Pak Teka. Dan, pagi tadi itu, seorang bocah tiba-tiba mengubah panggilannya jadi “kakek”—Kakek Teka.
“Jadi, apa yang Papa pikirkan?” istrinya mengulang tanya, membuat Darman tersentak, kembali ke sore yang indah.
“Mmm…,” Darman bergumam, ingin mengatakan apa yang ada di kepalanya: waktu, tetapi urung karena jawaban itu jangan-jangan kembali dikaitkan Ida dengan panggilan “Pak Teka” yang berubah jadi “Kakek Teka”. Tatapannya mengarah ke koran di pangkuannya dan begitu saja ia berkata, “Koran ini, kini, tak lagi bisa diperoleh tiap hari.”
“Loh, kenapa? Kita sudah bahas tentang koran dikalahkan HP—apa namanya? Smartphone? Tapi, bukankah agen koran itu sudah menjamin, sudah berjanji, akan tetap menyediakan satu eksemplar untuk Papa?”
“Memang tetap ia sediakan.”
“Lalu?”
“Si penjemputnya yang tak lagi ada.”
“Oh, Edi, tukang ojek itu? Ke mana ia? Sudah Papa cek ke tempat mangkal-nya?”
“Sudah. Sudah ketemu malah. Dan katanya, ia tak lagi kuat ngojek. Tak kuat ngelawan ojek online.”
“Owalaaa…; kalah oleh si smartphone itu juga berarti ya?”
“Iya….”
Baca juga: Pencegahan Bunuh Diri – Cerpen Anton Kurnia (Koran Tempo, 18-19 Januari 2020)
Mereka sama terdiam. Darman menjatuhkan pandang ke koran, ke penanggalan koran yang menunjukkan tanggal dua hari lalu. Istrinya melayangkan pandang ke bentangan sawah, sebelum kemudian menatap ke arah Darman. Tatapan itu. Tatapan yang sudah beberapa hari ini Darman terima.
“Apa?” Darman bertanya.
“Jangan pura-pura!”
“Hehe… usulan Erni?”
“Iya!”
“Sudah kubilang aku tak pandai. Tak bisa. HP jadul saja, Mama tahu, sudah membuatku pusing.”
***
Memang. Erni, putri sulungnya itu, sudah berkali-kali menyarankan ke Darman agar ia mengganti HP jadulnya dengan smartphone. Tapi begitulah, ia tak bohong saat mengatakan tak bisa. Kenapa mereka tak percaya? Bukankah Ida, istrinya, juga tak bisa? Darman ingat ketika ia dan istrinya diajari Erni menggunakan smartphone. Jarinya selalu salah pencet. Ida sendiri malah terkejut-kejut mendapati kenyataan hanya karena tersentuh saja layar HP bisa berubah. Dan sesudahnya—bahkan sampai kini-jemari Ida menggigil aneh setiap akan kembali mencoba menyentuh smartphone. Mengingat itu, Darman tersenyum.
“Kenapa Papa senyum?”
“Ya, karena ingin senyum. Mama ingin aku cemberut?”
Tangan Ida memukul pundak Darman. Kini tidak lembut. “Kakek Teka! Aku takkan lagi manggil Papa! Tapi Kek Teka!”
“Hehe, sila. Gak masalah.
“Benar?!”
“Sudah kubilang sila!”
Baca juga: Percakapan di Ruang Tunggu – Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Koran Tempo, 11-12 Januari 2020)
Tiba-tiba Ida berdiri. Merentakkan kaki, lalu membalikkan tubuh melangkah meninggalkan Darman.
Merentakkan kaki. Seorang nenek. Tidakkah itu seperti remaja? Senyum Darman berubah jadi gelak. “Mama! Hei! Bukankah kita mau ke rumah Erni?”
“Tidak! Aku tak mau! Sila Papa pergi sendiri!” Langkah Ida terus. Terus masuk ke dalam rumah.
Eh? Darman tertegun. Serius?
Tiba-tiba Ida kembali nongol. Darman tersenyum.
“Sila Ka-kek Te-ka pergi sendiri!”
Ha? Ida nongol hanya untuk bilang itu. Ka-kek Te-ka.
***
Kakek Teka, atau sebelumnya Pak Teka, adalah nama yang diperoleh Darman karena ia seorang pensiunan kepala sekolah TK (taman kanak-kanak). Darman tak ingat kapan nama itu mulai melekat kepadanya, tapi itu tentu karena sangat langka seorang lelaki menjadi guru TK—apalagi sampai menjadi seorang kepala sekolah TK. Banyak orang bertanya kenapa Darman berminat jadi guru TK. Darman menjawab enteng: karena dulu, akhir tahun 70-an, SPG TK (Sekolah Pendidikan Guru TK) adalah sekolah lanjutan yang proses masuknya paling mudah. Dan, yang terpenting, begitu lulus bisa langsung kerja.
Kemudahan lain yang tak Darman duga, datang 30 tahun kemudian: saat ada sertifikasi. Bila guru-guru lain, guru-guru mata pelajaran, harus jadi sarjana dan susah-susah memenuhi jumlah jam mengajar-sampai harus mengajar ke sekolah lain—sebagai syarat sertifikasi, Darman tak terkena itu semua. Lama masa mengabdi dan seluruh jam Darman di sekolah memang hanya untuk mengajar, membuat sertifikasi langsung keluar. Dan uang hasilnya, untuk inilah: sebuah rumah kecil di kompleks perumahan kecil. Betapa Darman bersyukur. Ya, setelah sebelumnya—sebelum sertifikasi—ia sangat susah, pontang-panting, menyekolahkan Erni dan Tika sampai sarjana.
Baca juga: Kawashima Yui setelah Pertemuan di Hari Senin – Cerpen Bagus Dwi Hananto (Koran Tempo, 04-05 Januari 2020)
Dan kini, betapa Darman lebih bersyukur lagi: Erni dan Tika sudah bekerja, sudah berkeluarga. Tika menjadi ASN (aparatur sipil negara) di ibu kota provinsi, sementara Erni punya posisi bagus pada sebuah bank swasta di kota kecil ini juga. Tapi ah, Erni, putri sulungnya ini, tampak semakin sibuk. Bila tahun-tahun sebelumnya Erni, suami, dan kedua cucunya masih sering menjenguk dirinya dan Ida ke kompleks perumahan, tahun-tahun belakangan sudah tidak. Bahkan kini, tak jarang, ia dan Ida lah yang berkunjung ke rumah Erni. Seperti hari ini.
Tetapi, hari ini, mereka datang agak telat.
Ya, karena Ida tadi. Karena ada “orang ngambek”.
Saat mereka sampai di rumah Erni yang lokasinya tergolong di pusat kota, hari sudah hampir senja. Bahkan lampu-lampu di rumah Erni sudah menyala. Tapi eh, kok sepi-sepi saja? Oh, tak ada mobil di garasi, pertanda Erni sedang pergi. Tapi tak masalah. Walau pintu pagar tak dikunci, Darman tetap bisa membuka pintu rumah karena Erni juga memberi ia dan Ida seperangkat kunci.
Agak aneh. Di dalam rumah, semua lampu juga menyala. Ah tak aneh, mungkin saja mereka semua barusan pergi, mungkin makan malam di luar atau entah apa lalu menghidupkan semua lampu-sering juga mereka begitu. Darman mengeluarkan HP jadulnya, memencet nomor HP Erni untuk memberi tahu bahwa ia dan Ida ada di rumah, tapi HP Erni tak aktif. Tak masalah. Azan magrib, waktu salat masuk. Mereka salat. Selesai salat, ia dan Ida melangkah ke ruang tengah. Ingin menghidupkan TV, menunggu Erni sambil nonton-nonton TV. Tapi eh, mana TV?
Darman terkejut. Matanya mencari-cari. “Aaa, aku ingat!” Ida tiba-tiba nyeletuk, “Sudah mereka jual.”
“Dijual? Kenapa?” Darman heran.
“Erni bilang, mereka tak lagi butuh TV. Naya dan Andi, kata Erni, sudah tak lagi nonton TV.”
Darman tercengang. Mulutnya membulat dengan “ohh” panjang. Naya dan Andi, cucu-cucu mereka …
“Ya, smartphone itu!” Ida seperti tahu apa yang melintas di kepala Darman. “Kata Erni, apa-apa tontonan, kini, Naya dan Andi menontonnya di smartphone.”
“Ohh …,” Darman kembali ter-“ohh”. Kali ini lebih panjang, diakhiri dengan tubuh yang seperti ia empaskan ke sofa.
Ida juga mengikuti gerakan Darman. Tapi tidak dengan empasan, tentu saja.
Baca juga: Kanibal – Cerpen Yusril Ihza F. A. (Koran Tempo, 28-29 Desember 2019)
Lama mereka terpana. Kadang sama menghela napas-tanpa bicara.
Jemu mulai datang. Bosan. Darman merogoh saku, mengeluarkan HP, berniat kembali menelepon Erni. Tapi, saat itulah, saat ia sudah mendekatkan HP ke daun telinga, pintu kamar tengah terkuak, dan dua sosok kecil keluar dari sana dengan lontar kalimat yang sama, “Ehh, ada Mama … ada Papa ….”
Astaga! Naya dan Andi! Jadi, sejak tadi, cucu-cucu mereka ada di rumah dan hanya di dalam kamar saja?
Darman dan Ida saling pandang. Sama tercengang.
Dan tambah tercengang-kali ini bagai tercekat-pada apa yang mereka lihat. Di tangan Naya, di tangan Andi, sama tergenggam benda itu: smartphone ….
***
Tak ada yang paling ditunggu Darman, selain sore dengan cuaca cerah. Duduk di kursi kecil, di taman di sudut kanan halaman, di pangkuannya terbentang koran dan di sebelahnya, di atas kursi kecil lain, tergeletak secangkir kopi dan sepiring kecil rebus ubi jalar ungu. Tapi ah, kenapa sekarang tak lagi terasa indah?
Darman bergumam, seperti mengeluh. Dijatuhkannya pandang, koran empat hari lalu. Ah tak apa, toh isi koran itu-berita-beritanya-Darman belum tahu. Tapi ah, seperti sore lalu, sore-sore setelah peristiwa ia dan Ida datang telat ke rumah Erni, Darman sering terpikir, sering tiba-tiba disergap, oleh sesuatu yang dulu mengganggu itu: waktu. Waktu yang seperti lorong, lorong yang setiap ia melangkah bagian belakang lorong seperti merucut, dan ketika ia menoleh ke bagian yang merucut itu, si lorong seperti tiba-tiba lenyap. Hilang begitu saja.
Darman berdesah, meletakkan korannya-ke kursi kecil lain, merasa terganggu oleh pikirannya sendiri tentang waktu. Tapi, sebelum sempat berpikir lama, terdengar suara dan langkah kaki mendekat dari belakangnya, “Kenapa kopimu belum diminum, Kakek Teka? Nanti keburu dingin.”
Gus tf Sakai, lahir pada 13 Agustus 1965. Seorang pengarang dan penyuka akik lumut hijau suliki. Ia telah menerbitkan lima buku kumpulan cerpen, dan sampai sekarang menetap di kota kelahirannya, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Leave a Reply