Cerpen, Dian Hendrayana, Pikiran Rakyat

Cermin Cembung

3.8
(4)

INILAH kamar kami. Sebuah ruang yang tidak terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Aku, beserta istri selalu bertukar pikir di dalamnya.

DI salah satu sudutnya ada lemari, berdampingan dengan meja televisi yang di sampingnya tersusun buku-buku sastra dan filsafat. Ruang kamar kami juga tentu saja dilengkapi sebuah ranjang yang biasa kami gunakan untuk berpadu-temu, bercakap, atau bergurau, sebelum kami benar-benar lelap tertidur di atasnya.

Di sudut yang lain terdapat cermin. Sebuah cermin cembung. Bukan cermin konvensional. Itulah cermin cembung yang biasa kami gunakan untuk mematut.

Jika mematut di sana, bayangan wajah menjadi tidak bagus. Pipi chubby. Jidat mengerut. Hidung mengembung. Atau telinga menjadi lebih mungil. Namun aku dan istriku, senang sekali mematut di sana.

“Dengan bayangan yang tidak bagus, kita akan lebih faham betapa kita tidak lebih baik dari orang lain,” demikian istriku mengingatkan, “Iya kan, Bang?”

Di depan cermin cembung itu kadang aku mematut berlama-lama; semata-mata sekadar untuk membayangkan tentang misteri dari sebuah ruang aneh di balik cermin. Ada ketegangan apa gerangan sehingga cermin cembung itu memantulkan bayangan yang tidak elok?

Di kehidupan manusia, seseorang yang memantulkan aura yang tidak elok biasanya dilatar-belakangi persoalan psikis yang buruk; dia bisa berbohong, menyebar fitnah, nyinyir, menebar kebencian, memutar-balikkan fakta. Entahlah dengan cermin cembung ini; apakah dia merasa dizalimi?

Aku terus memandang cermin. Darinya aku berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ketampanan wajahku. Tapi sia-sia.

“Oke,” geramku pada cermin, “Kebencian seperti apa yang merasuk padamu, sehingga memantulkan bayangan yang begitu buruk?”

Seperti biasanya, cermin diam. Aku pun tersenyum. Tetapi terasa pahit. Aku menatap cermin lebih tajam; hanya ingin mencari jawab siapa sesungguhnya yang lebih mampu menerobos, lalu mengorek setiap relung dan ruang misterius yang berada di balik segala yang tampak di antara aku dan cermin.

Dan akhirnya dengan begitu mudah aku memenangkan perhelatan ini. Si cermin cembung jadi pecundang. Aku lebih unggul menjadi peretas biang misteri ini.

Bahkan aku bisa menerobos dan masuk ke dalam cermin. Sempat kutoleh ke belakang, aku masih bisa memandang sosok seorang lelaki yang mematung di seberang cermin. Bisu. Wajahnya memang tidak seberapa tampan. Ah, itulah aku.

Dan o…, kini aku sudah benar-benar berada di dalam ruang cermin cembung? Ruang yang sangat asing. Ah, aku terperangkap? Di manakah aku? Sungguh, ini benar-benar tempat yang absurd. Sangat asing. Apakah aku juga merasa asing dengan diriku sendiri?

“Hai…, adakah seseorang mendengar suara saya?”

Tak ada jawab. Selain sunyi.

Jika sudah begini, maka pikiran buruk apa lagi yang tidak bisa aku enyahkan. Aku benar-benar terperangkap di ruang bisu. Senyap. Mati. Atau mungkin aku sendiri sedang menuju ke arah kematian. Oh. Tidak. Masih ada denyut di nadi. Aku beranjak. Itu dia. Pohon palm di tepi jalan, ke sanalah aku menuju.

“Katakan padaku tentang tempat ini. Kenapa sesunyi ini?”

Bahkan pohon palm itu juga terdiam. Bagaimana bisa tempat ini menjadi seperti mati?

Kini, langkahku tertuju pada sebuah gang. Semoga sesuatu bisa kutemukan di gang itu, sekadar jawaban kenapa semua bangunan, perkantoran, rumah sakit, pasar, gedung pemerintahan yang ada di sini begitu hening. Tidak ada dering telepon. Tak ada pertengkaran di loket rumah sakit kelas tiga. Bahkan suwung dari tangis pelacur yang ditinggalkan anak muda pelanggannya. Semuanya, hanya sunyi.

Namun gang ini serta-merta mengingatkanku ketika aku dan kawan-kawan terlibat kerusuhan belasan tahun lalu. Beberapa pendemo berhamburan. Ke pasar. Ke halaman sekolah. Ke pekampungan. Ke dalam mesjid. Juga ke arah gang seperti ini.

Para pendemo saling berebut ruang gerak di gang sempit. Bergegas. Kadang bersilang kencang. Sesekali bersinggungan. Membuat yang lain terbentur pada tembok yang kasar. Kulit lengannya terkelupas. Luka di pelipis. Darah pun mengucur deras; jatuh di baju, membasahi jas almamater.

Sebagian kawanku di barisan belakang kabarnya terluka. Seorang kawan, kerah belakangnya tercengkeram tangan petugas berseragam serba hitam. Entahlah. Dia itu petugas atau bagian dari kelompok tertentu. Yang pasti kawanku tersentak, dan goyah keseimbangan.

Dia terpelanting sebelum tubuh kurusnya kemudian dihujani pukulan bertubi-tubi oleh si seragam serba hitam. Lebam. Sangat mungkin, dia sudah tak ingat apa-apa ketika dibawa ke sebuah ruang. Gelap. Pengap.

“Kamu masih belum mau ngomong, hah?” seorang berseragam hitam-hitam itu tumpahkan geram. Satu pukulan mendarat di rahang kiri kawanku.

Kawanku tidak buka suara. Darah di bibirnya meleleh; kemudian rembes di jaket almamater.

“Untuk terakhir kali, jawab pertanyaan saya!” bentak si baju hitam lagi, “Siapa yang suruh dan bayar kamu untuk demo?”

Senyap. Buk! Buk! Buk!!

Jauh di luar ruang pengap itu, kawan-kawan saya dan ratusan pendemo lainnya berteriak lantang. Suasana menjadi chaos. Kenapa bisa begini? Ini menyimpang dari skenario demonstrasi kami.

Bahkan tampak seseorang, terlalu lantang berseru, “Satu kata, Kawan-kawan! Lawan rezim zalim. Cokok dari istana. Kita bersatu. Berada di belakang sang pemimpin umat. Tegakkan keadilan! Binasakan kebatilan!!”

Aku sendiri sesungguhnya sangat tahu tentang seseorang yang lantang menyerukan kalimat-kalimat provokatif itu. Dia si pecundang. Penumpang gelap. Penyusup. Ah. Aku bersama ratusan mahasiswa datang berdemo di depan gedung legislatif sejatinya hanya untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa. Kami melihat kebijakan gubernur tidak berpihak kepada rakyat miskin. Itu saja! Tapi apa yang diserukan si penumpang gelap itu?

“Demi terciptanya situasi yang kondusif, Kawan-kawan, kita hanya punya satu pilihan. Turunkan presiden. Bubarkan pemerintah!!” Semakin lantang si penumpang gelap berseru, “Kita tidak butuh pemerintah barbar. Betul?! Kita tidak butuh pemerintah ugal-ugalan. Betul?!! Tidak butuh pemerintah otoriter. Komunis. Rasis. Anjrit!! Bubarkan pemerintah!!!”

Entah siapa sesungguhnya yang menyuruh dan menyetir dia nyerocos seperti itu. Yang sangat pasti, skenario demonstrasi kami kacau berantakan.

Dua hari kemudian datang kabar duka. Kawanku yang bertubuh kurus meninggal dengan luka lebam di wajah dan di bagian dada. Kami memakamkannya dengan penuh duka.

Aku tahu, kawanku yang lugu dan selalu berpakaian rapi itu sesungguhnya tidak sengaja ikut demo. Di hari yang nahas itu dia mengenakan jaket almamater, bergegas memburu kedai fotokopi yang berada di seberang kampus. Dia ingin menggandakan makalah kelompoknya untuk dipresentasikan di depan kelas, sebelum akhirnya dia terseret kawan lain ke arena demo.

“Ah. Orang baik selalu lebih cepat dipanggil Tuhan.”

Itulah tragedi gang sepi belasan tahun silam. Sekarang pun masih tampak sepi.

Tapi siapa itu berkelebat di ujung gang? Berkelebat secepat kilat. Menjauh. Dan semakin jauh.

***

TERDUDUK aku di tepi jalan. Letih.

“Hhh! Bagaimana aku bisa kembali?”

“Kamu bisa menyelam ke dalam palung hatimu,” suara itu datang dari tepian jalan. Terdengar berat.

Aku menoleh ke arah suara. Sosok yang berkelabat tadi. Dia duduk di kursi taman, membelakangiku; lakilaki setengah baya berkepala plontos.

Menyelam palung diri sendiri. Ah, bagaimana dia tahu suara hatiku?

“Bahkan aku bisa tahu segala niat yang belum kaupikirkan,” katanya lagi.

Aku mendekat ke arah laki-laki berkepala plontos itu.

“Berhenti kamu di situ,” ucapnya lagi sebelum aku bisa melihat wajahnya.

“Ada yang ingin saya tanyakan,” pintaku.

“Tanyakan saja.”

“Aku tersesat. Aku tak tahu entah di mana.”

Tanpa menoleh padaku, lelaki plontos itu menunjuk ke arah plang bertuliskan nama sebuah tempat. Dan aku membacanya: HETEROTOPIA!

“Daerah apa ini?”

“Ini adalah ruang asing. Tempat segala dusta.”

“Ah!! Bagaimana aku bisa kembali ke rumahku?”

“Binasakan egomu.”

Lelaki berkepala plontos itu kemudian berdiri. Ada kucing di pelukannya. Mungkin itu kucing kesayangannya. Mengenakan kacamata tebal. Mengenakan jas, berlapis jubah. Rapi. Kemudian ia tersenyum ke arahku. Setelah itu ia bergegas. Berkelebat secepat kilat. Dan menghilang di kelokan.

Binasakan egomu. Ruang asing? Dusta? Akrhhh… Di manakah aku?

“Aih, enggak baik Abang berlama-lama mematut di depan cermin.”

Seperti suara dentuman. Ah, aku tersentak dengan suara itu. Suara istriku. Kutoleh dia. Istriku duduk di tepi ranjang.

Ah, cantik sekali dia. Aku tersenyum. Sungguh, ingin kuceritakan apa yang barusan kualami. Tapi apakah istriku mau memahaminya? ***

Rawayan, 2021

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!