Cerpen Ikhsan Hasbi (Serambi Indonesia, 15 Desember 2019)

Pertemuan, Buku dan Sebuah Nyanyian ilustrasi Istimewa
“INI anakmu?”
Dara tersenyum. Gigi gingsulnya masih seperti dulu. Hanya saja lemak tubuh membuat ia tak seramping dulu. Tapi ia masih tetap secantik dulu.
“Namanya Indah.”
“Dia secantik kamu.”
Pertemuan itu kaku. Adam mendramatisir dan mengekang tali tambat perasaannya dengan banyak bicara.
“Ngomong-ngomong sudah 14 atau 15 tahun yang lalu kita bertemu. Begitu lama. Sudah lama tinggal di kota ini?”
“Ya, ikut suami. Anak-anak tampak betah. Jadi kunikmati saja apa yang ada. Asal keluarga senang.”
“Asal keluarga senang,” Adam mengulang kalimat itu sambil melirik ke dalam ruangan yang dipenuhi anak-anak dan guru pembimbing. Sebentar lagi lomba menyanyi akan dimulai. Di hadapan Dara, Adam mengubah posisi berdiri, menghilangkan ketegangan dan degup jantung yang tak karuan.
Lalu ekspresi wajah Dara berubah. Sedikit memberanikan diri bertanya. “Aku tak tahu banyak tentang kehidupanmu selama ini. Meskipun aku mau. Apa kau masih…” Dara menggantung pertanyaan. Menelan ludah kering. “Apa kau sudah…, ah, lupakan saja!”
“Ayolah! Jangan ragu. Tak ada yang gugat. Aku orang yang fleksibel. Seperti dulu. Silakan berterus-terang. Aku tahu ada banyak sekali pertanyaan selama bertahun-tahun kita tidak bertemu.”
Bunyi dengung yang nyaring akibat operator amatir yang masih asal-asalan menyetel pelantang suara membuat orang-orang di sekitar harus menutup telinga. Hadi tampak menyemprot operator itu sambil menunjuk-nunjuk.
“Aku berharap bisa bertemu dengan istrimu. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan, tentangmu. Eh, kau sudah menikah, kan?”
***
Sekali terjatuh, ada banyak sekali pikiran yang menyeruak. Senang dan takut sekaligus. Senang karena jadi manusia normal menyukai lawan jenis. Akan lebih senang jika terkumpul keberanian untuk menyatakan dan ia mengiyakan. Takut menjadi kemungkinan jika nantinya perasaan bertepuk sebelah tangan. Takut jika nantinya tak sanggup menanggung perasaan ditolak, meski bibir mengucap tak apa. Tapi bibir belum tentu mewakili perasaan yang sebenarnya, ia hanya bisa menyiasati sedikit drama agar sama-sama luwes menerima keadaan. Semua itu membenak dalam diri Adam.
Hampir setiap hari, Adam dan Dara bertemu. Lebih tepatnya berselisihan dengan bersandar pada perasaan masing-masing. Mereka tak saling tahu, jika perasaan yang sama bertolak. Namun ada perbedaan mendasar dalam menyikapi perasaan yang sama itu: mau di kemanakan perasaaan itu nantinya.
Adam dan Dara menempuh perkuliahan di kampus yang sama, fakultas yang sama, tapi jurusan yang berbeda. Di sela-sela keberuntungan yang tidak disengaja, Adam yang sering datang lebih awal akan duduk di kursi panjang. Menunggu kawan seunit sambil melirik-lirik dosen pengampu. Dara yang masuk di ruang sebelah juga akan menunggu kawannya di kursi panjang yang sama. Ujung ke ujung. Duduk berjarak. Namun perasaan itu begitu dekat.
Adam ingin sekali menyapa. Sering melirik, seolah tiada niatan hanya sekadar menebar pandang. Namun jika mata mereka saling bertautan, Adam tak akan melepaskan kesempatan untuk memberikan senyum menawan. Dan Dara akan membalas senyum itu dengan tersipu malu.
Karena keseringan duduk menunggu jam masuk, ketegangan perasaan di antara keduanya perlahan-lahan mengendur. Adam berpikir kalau tidak dimulai sama sekali, selamanya akan seperti ini.
Dalam sekali lirik, Adam melihat buku yang sedang dibaca Dara.
“Kamu suka baca novel?”
Dara mengangguk. Lalu mengangkat novel tersebut.
“Sambil mengisi waktu luang.”
“Maaf mengganggu.”
“Tak apa! Bicara yang bermanfaat juga mengisi waktu luang.”
Adam berkata dalam dalam hati, mata pancing ditelan. Adam tersenyum dan sedikit mendekat. Hanya sedikit.
Pembicaraan seputar buku pun menjadi jalan bagi keduanya untuk saling mengenal lebih dekat, lebih dalam.
Sejak saat itu, Adam mulai tertarik untuk mencari tahu apa enaknya membaca buku-buku sastra. Pulang dari kampus, menyosor ke toko buku. Planga-plongo. Tidak tahu mau memilih buku apa. Terlalu banyak buku dengan judul-judul yang menarik. Bisa dihitung jari berapa kali ia masuk ke toko buku. Itu pun untuk membeli buku-buku yang berkaitan dengan mata kuliah. Biasanya datang ke kasir, menanyakan judul buku yang dicari. Jika tidak ada, ia akan keluar dan mencari di toko buku lain.
Rak demi rak ditelusur. Kepala teleng ke kiri dan ke kanan membaca judul buku yang disusun menyamping. Hening di toko buku serupa perpustakaan. Rasanya bersin saja jadi garing. Apakah toko buku memang sesepi ini? Kalaulah toko buku serupa gadis cantik, mungkin akan banyak yang mampir. Sekedar melihat pun tak apa. Siapa tahu ada yang berminat.
Sangking bingungnya untuk memilih, Adam menghampiri kasir, bertanya tentang buku yang paling banyak dicari pembeli. Adam hanya ingat nama sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan tak satupun buku Pram yang dilihatnya di toko itu.
“Kalau novel yang sering dicari itu karya Andrea Hirata, Dee Lestari, Eka Kurniawan dan masih ada yang lain. Soalnya banyak dan beragam.”
“Buku Pram ada?”
“Habis stok, Dek.”
“Kira-kira ada rekomendasi, buku apa yang mesti dibaca!”
Dahi si kasir berkedut. Matanya melampaui rak. Buku-buku berjejer. Mau mengatakan semua buku mestinya kamu baca, rasanya tak cocok.
“Kamu sukanya tema apa?”
“Action, barangkali. Misteri. Spionase.”
Si kasir menelusuri rak yang terletak vertikal dari pintu masuk. Menelengkan kepalanya. Mengambil sebuah buku.
“Coba kamu baca ini!”
“Sir Arthur Conan Doyle?”
“Itu nama penulisnya. Sherlock Holmes dan apa itu…, ha, itu judulnya.”
Adam menatapi buku itu agak lama.
“Okelah, Bang. Bungkus!”
***
Bacaan yang seru membuat Adam mulai tertarik pada beragam buku. Dari hasil meng-googling, ia merayap, mencari tahu bacaan-bacaan bermutu.
Dara adalah teman yang menyenangkan diajak diskusi. Menelaah beberapa buku. Tidak sebatas novel, cerpen dan puisi, namun juga buku-buku sejarah, politik, ekonomi, filsafat. Gairah membaca buku membuat Adam ingin sekali suatu waktu memiliki karya yang bisa dibaca oleh banyak orang.
“Tunggu dulu! Seandainya kamu punya tulisan, menurutku, jangan terburu-buru diterbitkan. Uji dulu kelayakan tulisanmu ke media. Apalagi dengan adanya media sosial, orang dengan mudah mengakses sebuah tulisan dan memberi pendapat. Kalau sekadar menulis lalu menerbitkan, siapa pun bisa. Cari tahu dulu penerbit-penerbit besar. Kalau kirim dulu tidak apa-apa. Karena karya yang baik itu, menurutku ya, karya yang layak diterbitkan, bukan kita yang membayar untuk diterbitkan. Itu standar paling bawah.”
“Tapi aku kira tidak semua penulis sukses karena karya mereka diterbitkan. Justru ada dari mereka yang punya inisiatif untuk menerbitkan sendiri karyanya.”
“Bisa saja. Penilaian publik. Terkadang publik punya pengalaman berbeda dalam membaca satu karya. Seperti orang yang punya selera makan beragam. Masing-masing karya ada peminatnya.”
“Bisa saja,” Adam mengulang perkataan Dara. “Tapi kupikir kamu bisa menjadi kritikus. Bacaanmu banyak. Apalagi jurusan yang kamu ambil cukup linear.”
“Sebenarnya aku benci menebar penilaian. Banyak yang tidak senang. Tapi bila berhubungan dengan akademik, aku mau-mau saja, jika ada diskusi dan perdebatan ilmiah. Daripada aku mengkritik dan yang membaca kritikanku memilih dari sudut pandang yang sekadar, bukan sebagai jalan untuk mengubah dan memperbaiki.”
Adam membelah halaman sebuah buku. Sepucuk kertas yang terselip di antara lembaran buku ia serahkan kepada Dara.
“Aku masih belajar. Tapi tekadku bulat menerima kritikan.”
Dara membaca kata-kata yang terangkai. Ia tersenyum dan mengangguk-angguk.
Adam tidak bisa membaca keseluruhan dari ekspresi wajah Dara. Kecuali gadis itu membuatnya malu.
“Ini kamu yang tulis?”
***
Tongkat mikropon diletakkan di tengah panggung. Gadis cantik itu berjalan pelan. Sejenak setelah berada di depan mikropon, ia menarik napas dalam-dalam, mata terpejam dan seiring mengeluarkan napas, mata cantik ibunya terbuka.
Demi rindu yang dalam
Kuberanikan diri menyapamu
Sepanjang hari meniti jalan sunyi
Kutemukanmu di tepi keputusasaan
Aku adalah setengah
Kamu adalah setengah
Segenap hati aku merasa telah tercukupi
Oh Tuhan satukan bagian-bagian kebahagiaan
dalam ikatan… dalam ikatan…
Semua hadirin bertepuk tangan. Lagu persembahan yang dibawakan oleh juara lomba menyanyi membuat para penonton bersuka-ria. Terlebih Adam yang tidak menyangka jika Indah akan menyanyikan lagu itu.
Sedang Hadi yang duduk di kursi juri riuh bertepuk tangan. Ia mengangkat jempol dan mengedipkan mata kepada Adam. Sedang Dara menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
***
“Kamu yakin?”
“Iya, ini bagus kalau aku jadikan lagu.”
“Ya, menurut Dara juga begitu.” Adam tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya di hadapan Hadi.
“Dia bilang begitu?” Hadi menagih dengan ekspresi mengejek, setengah tersenyum.
Adam pura-pura mengulik ponselnya.
“Tenang, Bro.” Hadi menepuk pundak Adam. “Kamu belum mendengar bagaimana hasilnya kalau kuracik dengan bumbu-bumbu musik dan irama yang bisa kuatur.”
“Emang bisa?”
***
“Kupikir kamu tidak menyukai tulisanku.”
“Aku tidak pernah mengatakan tidak suka.”
Adam mendelik. Lalu menengadah. Mengurai pikiran yang bertumpuk-tumpuk semenjak belasan tahun yang lalu.
“Kamu yakin?”
Dara mengangguk. “Yang kukatakan, tulisanmu tidak cocok untuk dianggap sebuah puisi berkelas. Lebih baik kau kasih irama dan suruh orang buat nyanyi.”
“Tega, ya!” Dara dan Adam sama-sama tertawa.
“Jadi,” Dara menengahkan ingatan di antara keduanya. Adam menanti. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi.”
“Hmm?”
“Apa kau sudah menikah?”
Mestoe, 05 Oktober 2019
Ikhsan Hasbi, Tinggal di Meureudu
Leave a Reply