Cerpen Rendi Syahputra (Medan Pos, 29 Desember 2019)
Aku masih saja mengingat perkataan Dinda padaku. Ucapan yang ia katakan tak sepenuhnya aku percaya. Bimbang menghantui pikiranku, apakah aku harus mempercayainya atau aku mencari bukti sendiri? Ahh, entahlah, semoga dapat aku temukan jawaban itu.
Belakangan ini, aku merasa ada kejanggalan dengan Bagas, pacarku. Dia jarang memberi kabar, tak pernah meneleponku, bahkan membalas pesanku di Whatsapp aku menunggu hingga berjam.
Semakin hari kecurigaanku pada Bagas semakin memuncak, semenjak Dinda memberitahuku bahwa ia pernah melihat Bagas bergandengan tangan mesra dengan seorang wanita yang dilihatnya di kafe dekat taman waktu lalu.
“Cha, sebenarnya aku tak niat untuk mengurusi hubungan kau dengan Bagas. Aku tak niat membuat hubunganmu hancur dengannya. Kau temanku dari kecil, jadi ini sangat penting aku ceritakan.”
“Ada apa dengan Bagas, Din? Setahu aku dia sibuk kerja dan lembur di kantornya.” Balas icha dengan wajah penasaran.
“Kau berpikir begitu. Tidak dengan aku, sejak kau kenalkan pacar barumu denganku, ternyata dia mantan pacar kawanku, yang bernama Rita. Rita adalah salah satu bukti yang ia mainkan perasaannya. Bagas itu playboy Cha, percayalah. Rayuan manisnya membuat wanita luluh hati padanya, termasuk kau. Dia bukan cowok yang tepat untukmu.” Ketus Dinda yang meyakinkan Icha.
Ucapan Dinda seperti badai di malam hari yang membuat perasaannya bak disambar petir. Cowok yang dicintai dengan tulus tega membuat hatinya terluka, laki-laki yang baik di penghlihatannya ternyata sosok srigala berbulu domba. Sungguh, Icha sangat menyesal mengenalnya, bahkan merasa membodohi dirinya telah meletak rasa cinta dengan pria yang salah.
Air mata Icha menghujani pipi tirusnya, suara tangis yang sedu menjadi sekumpulan air mata penyesalan. Melihatnya seperti itu, aku merasa iba. Namun biarlah, ini semua demi kebaikan Icha. Suara hening, Icha diam bergeming dengan lamunan penyesalan. Jus jeruk yang dipesan tak setetes pun ia teguk. Aku tak tahu seberapa besar makna cinta ia beri pada Bagas, laki-laki yang membuatnya sekarang merana.
Lamunan Icha buyar seketika, ia melihat Bagas sedang dinner dengan seorang wanita berpakaian seksi di sudut lampu hias. Ia menghampirinya, tak mengenal basa-basi, Icha berkata ketus dengan Bagas.
“Dasar cowok brengsek kau, Bagas, kau tega mempermainkan aku. Bukannya kau berjanji mau menikahiku? Penipu, pembohong kau. Pantas, beberapa minggu ini kau mulai menjauhiku.”
“Ohh ini, pacar barumu. Dasar laki-laki pengkhianat, laki-laki buaya kau. Aku muak denganmu, muak dengan tingkahmu. Kita putus.” Perkataan Icha menjadi sorotan pengunjung restoran itu, tak ada satu orang pun yang ikut mencampuri atau sekadar menenangkan dua insan yang bertengkar dalam pertemuan itu.
Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Bagas. Ia membisu seketika, wajahnya merah padam, bola matanya menyoroti Icha yang bergegas meninggalkannya. Tak ada rasa penyesalan bersalah tampak d i wajah Bagas. Icha meninggalkannya dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ini merupakan kenangan terburuk yang dialaminya. Ia tak sudi untuk mengenag kembali, tak suka untuk ada temu dengannya, pun kejadian itu telah ia kubur sedalam ingatannya melupakan Bagas.
Baginya cinta adalah sebuah kebahagiaan, saling peduli, saling melengkapi, dan diiringi dalam bait-bait doa. Akhirnya Icha memulai dengan hati yang baru, dengan jiwa yang bahagia, dan dengan kekasih yang baru bernama Wanda yang telah menjadi pendamping hidupnya.
Rendi Syahputra. Penulis adalah mahasiswa UMSU jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Leave a Reply