Cerpen Aljas Sahni H (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 2020)
MALAM ketika orang-orang terlelap, Gus Dur diam-diam menyelinap ke kepala mereka. Percaya atau tidak, Gus Dur benar-benar dimimpikan oleh orangorang seantero negeri ini. Gus Dur bertandang ke mimpi mereka tak pandang bulu, kaya miskin, elok jelek, si gemuk si kurus, bahkan yang tertawa di atas dan menangis di bawah, semua terserang wabah mimpi Gus Dur.
Aneh, tapi nyata. Mereka mulai membicarakan perihal mimpi itu. Di warung kopi begitu ramai orang-orang menceritakan kisah mimpi mereka dikala berjumpa dengan Gus Dur. Mimpi berjumpa Gus Dur pun menjadi viral. Sosial media berisi pradugapraduga baru perihal mimpi itu. Di koran-koran mimpi itu seketika menjadi headline. Di TV-TV tiada habis berita tentang wabah mimpi Gus Dur diargumenkan.
Tiada yang tahu betul mengapa Gus Dur muncul di mimpi orang-orang. Gus Dur datang begitu saja dengan petuahpetuah yang berbeda, seolah mengerti tentang keluhan perorangan. Seorang petani agak terperangah melihat sosok tidak asing dalam mimpinya. Sosok itu memakai songkok miring, kacamata, dan berbaju batik khas. Petani itu mendekat, lantas bertanya agak ragu, “Sampean Gus Dur, kan?”
Gus Dur cengengesan, kewibawaan terpancar dari gigi-gigi yang berderet. Ia mengangguk, mengiyakan dugaan petani.
Tentu, petani itu begitu girang melihat anggukan itu. Sudah lama ia ingin berjumpa dengan Gus Dur, tapi sosok kiai itu telah pergi ke surga terlebih dahulu. “Kebetulan, Gus. Sudah lama, kawula menanti perihal ini. Kawula hendak bertanya sesuatu pada sampean.”
“Tanyakanlah, tapi jangan banyakbanyak. Lagi malas memikir.”
“Gimana, Gus, agar cepat kaya?”
Gus Dur kembali cengengesan mendengarkan pertanyaan semacam itu. Ia bilang, kuncinya kerja, berdoa, lalu bersabar. Kalau masih belum kaya, ya, bersabar dulu.
Seorang kapitalis juga mengaku didatangi Gus Dur dalam mimpinya. Ia memperingati kapitalis itu untuk jangan serakah, apalagi menindas. “Bila perutmu lapar,” tutur Gus Dus. “Hendaklah makan nasi, jangan makan tanah melulu.” Selepas terbangun dari tidurnya, kapitalis itu pun bertobat dan pergi ke arah dapur.
Gus Dur juga menghampiri mimpi seorang jurnalis. Sebelum Gus Dur datang, mimpi jurnalis itu tampak sesak dipenuhi berita-berita. Untung ada Gus Dur, sehingga berita-berita yang berserakan ditelan cahaya putih, dan tampaklah sosok presiden ke-4 itu. Jurnalis itu berterima kasih atas kedatangannya yang meleburkan mimpimimpi buruk. Ia juga bertanya, untuk apa kedatangan itu gerangan?
“Hanya untuk jalan-jalan,” katanya. “Sumpek di surga melulu.”
Si Jurnalis hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak mengerti dengan logika sosok terkenal itu. Namun, sebelum Gus Dur pergi, jurnalis itu diberi saran untuk mengurangi berita hoaks, agar kekalutan dalam mimpi dapat terkurangi pula.
Tak hanya mereka, bahkan orang yang digadang-gadangkan saleh pun didatangi oleh Gus Dur. Si Saleh tahu betul akan sosok itu, katanya, ialah sang panutan. Si Saleh langsung memeluk Gus Dur, bahkan dengan sengaja menitikan air mata.
“Udah…, tak usah didramatisir,” begitulah ucap Gus Dur sembari nyengir.
Bergegas Si Saleh menyeka air mata, ia agak tersinggung akan ucapan Gus Dur.
“Agamamu kurang mantap bila tak menghargai agama orang lain. Mereka saudaramu, meski tak sedarah dan tak seagama. Jangan suka mengafirkafirkan orang, toh, hidup sendiri saja belum tentu bakal masuk surga.”
Bersamaan dengan petuah itu, Gus Dur pun lenyap dari mimpi Si Saleh.
Terakhir, Gus Dur menghampiri mimpi presiden. Bapak Presiden langsung memberi salam hormat pada senior. Bapak Presiden dengan senang hati menyambut Senior Gus Dur di dalam mimpinya. Mereka agak lama bercengkrama, mungkin perihal itu pula yang membuat Pak Presiden tidak bangun-bangun dari tidurnya.
“Ingat, kamu ini presiden. Pemimpin negeri ini. Jangan pernah lupakan rakyatmu, rakyatmu adalah tanggung jawabmu. Tanamkan keadilan pada rakyatmu tanpa memandang warna kulit,” Gus Dur memetuahkan.
“Terima kasih atas saran anda, Gus. Negeri ini begitu luas, butuh waktu bagi saya untuk menakhodai negeri ini. Tapi kalau anda punya saran yang lebih efektif, Gus, bolehlah kalau dibagi.”
“Gampang.”
“Bagaimana caranya, Gus?” kejar Pak Presiden.
“Pikir saja sendiri!” sahut Gus Dur sembari tertawa, “Gitu saja kok repot.”
Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta salah satu pendiri Sanggar Becak.
Leave a Reply