Cerpen Fitria Sawardi (Padang Ekspres, 12 Januari 2020)
Malam masih berkompromi dengan kodrat gelapnya, matahari sama sekali tidak diberi kesempatan oleh bulan untuk menitipkan sinar pada bumi. Kali ini, yang paling berkuasa memberi penerangan adalah bulan. Sinar milik matahari hanya boleh berkeliaran di siang hari, sedangkan malam hari adalah jatahnya cahaya, yang tidak lain milik bulan. Bulan tidak bisa memberi sinar, namun hanya cahaya, yang tingkat terangnya lebih lemah dari matahari. Kendati demikian, cahaya bulan itu sama sekali tidak diinginkan oleh lelaki-lelaki yang berada di tepi pantai.
Semua nelayan sudah bersiap dengan segala peralatannya, berkumpul di pinggir pantai dengan tanpa alas kaki, kemudian menaiki perahunya masing-masing. Semakin terang cahaya bulan, maka semakin sedikit kesempatan nelayan untuk mendapatkan ikan-ikan di laut. Nampaknya, kehadiran cahaya itu membuat mata-mata ikan bisa mengenali sosok nelayan yang bersiap menangkap sekawanannya. Itulah alasannya. Cahaya itu tidak pernah diharapkan nelayan.
Aku sangat bangga punya bapak yang bekerja sebagai nelayan. Keberaniannya begitu kuat. Saat musim badai, ia tetap bertekad untuk melaut. Antara hidup dan matinya seolah-olah tidak menjadi hal yang dipentingkan. Bapak sudah jatuh cinta pada dunia laut, hingga berujung pada keberanian yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Pernah, ibuk melarang untuk pergi melaut saat suara ombak berhasil merusak telinganya, namun itu sama sekali tidak merubah keyakinan bapak. Meninggalkan ibuk dengan penuh kecemasan, menangis, kadang mondarmandir di depan rumah ketika bapak telat pulang satu menit saja. Dan sampai saat ini, bapak membuktikan pada dunia, bahwa ia pelaut yang andal. Selalu pulang dengan selamat.
***
Aku ikut membantu ibuk menjual ikan-ikan di pasar tradisional setiap libur sekolah. Tanah menjadi becek bekas hujan tadi malam. Membentuk sandal, kaki, juga bekas sandal terpeleset. Ibu-ibu mulai menawar ikan-ikan yang tersusun rapi di lapak ibuk. Suara ibuk sangat lantang, berbeda dengan calon pembeli di depannya. Kata orang-orang, keluarga kami tidak bisa berbicara santai. Suara kami melengking walaupun itu berbicara biasa. Karena kami tinggal di pesisir, dengan bertemankan ombak, menjadi sebab suara kami keras saat berbicara yang terkesan menyentak. Untungnya, semua langganan ibuk sudah paham dengan karakter itu. Setelah ibuk menimbang dan menentukan harga, aku menjulurkan tangan untuk menerima uang dari pembeli. Aku sudah hafal, bagaimana cara menghitung dan memberikan uang kembalian.
***
Bolehkan aku curhat pada kalian?
Walaupun bapakku seorang nelayan, aku sama sekali tidak pernah memasukkan ikan-ikan dalam perut. Hingga usiaku yang ke-10 tahun ini bapakku tetap melarangnya. Padahal, aku sangat ingin mencicipinya. Kata teman-teman sekolah, ikan itu sangat gurih, nikmat sekali. Aku sampai ditertawakan teman-teman setelah memberi tahu kalau aku tidak pernah makan ikan.
Demi menyembuhkan kejanggalan ini, aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibuk, ‘mengapa keluarga kami tidak boleh makan ikan?’
Berdasarkan dari cerita ibuk, keluarga kami berhenti mengonsumsi ikan menjelang aku lahir ke dunia. Awal mulanya, dulu, saat ibuk mengandungku, bapak ada di tengah lautan, ombak mengamuk, tidak hanya menjilati perahu, namun juga memuntahkan isinya. Sampai-sampai bapak tak sadarkan diri setelah air berhasil masuk dalam perut melalui hidung dan mulutnya. Pada saat itu, setelah nyawa tinggal satu hempas saja, datanglah segerombolan ikan, dari berbagai jenis; ada ikan pari, ikan julung, ikan tuna, ikan tongkol, ikan cakalang, ikan teri, ikan kembung, ikan kakap, dan jenis ikan lainnya. Semuanya bekerja sama untuk menarik tubuh bapak hingga ke daratan, hanya dengan motivasi kuat dan jiwa penolong, ikan-ikan itu berhasil mengumpulkan kekuatan untuk segera membawa tubuh bapak ke daratan, seolah-olah mereka tahu kalau nyawa bapak tinggal hitungan menit.
Atas dasar balas budi, bapak berjanji pada diri sendiri yang disaksikan oleh para ikan penolongnya, bahwa ia tidak akan lagi memakan ikan-ikan di laut. Benar saja. Bapak, sampai saat ini bisa menepati janjinya dengan tidak memakan ikan hasil tangkapannya.
“Kalau tidak mau makan ikan, mengapa bapak tetap jadi nelayan, dan ibu menjual hasil tangkapannya? Apa itu tidak melanggar janji balas budi?”
“Nak, bapakmu janji untuk tidak makan ikan, bukan berarti berhenti bekerja sebagai nelayan. Karena, segyogiannya, menjadi nelayan itu bukan pekerjaan keji.”
Bapak sudah terlanjur berjanji, sehingga aku tidak akan pernah bisa menikmati gurihnya ikan. Yang sangat disayangkan, kenapa bapak dulu tidak berjanji yang lain saja. Misal, menaburkan makanan ke dalam laut sebagai balas budi atau sejenisnya. Yang tidak menyiksa diri dengan tidak menyantap makanan lezat itu. Juga menyiksaku saat ini.
***
Keberanian dan kenekatan bapak kali ini sudah sepenuhnya menular padaku. Saat bapak dan ibuk pergi melayat ke tetangga sebelah, aku mulai beraksi dengan mengambil cara nekat. Demi menyembuhkan rasa penasaran, aku berniat untuk makan ikan. Ikan-ikan itu berhasil kucuri tadi pagi. Sebelum dijual, ikan-ikan ditumpuk dalam bak besar. Lantas, ibu memisahkan antara ikan besar dan ikan kecil yang kemudian ditaruh di bak ukuran sedang. Saat ibu pergi ke dapur untuk mengambil garam yang nantinya akan dibubuhkan di tubuh ikan dalam bak itu, aku mengambil dua ekor ikan besar dan kecil. Yang dengan sangat cepat, kuletakkan di bawah ranjang kamar. Kututup dengan rapat, agar tidak sampai tercium hidung kucing.
Setelah bapak dan ibuk tidak ada, aku mulai beraksi. Kubuang sisik dengan pisau, yang digosok-gosok ke atas dan bawah, sebagaimana yang pernah dilakukan ibuk. Tapi, kali ini aku tidak sepandai dan secepat ibuk soal membuang sisik. Setelah sisik lepas, kubersihkan dengan air dengan tiga kali bilasan, lantas kulumuri dengan garam, bawang merah dan bawang putih serta kecap. Setelah itu, kutaruh ikan itu di atas tungku milik ibuk. Di situ, ada sisa arang yang mudah sekali bagiku untuk menyalakannya menjadi api kecil. Hingga terpangganglah ikan itu. Setelah siap, aku dengan rasa takut bercampur penasaran, menjilati tubuh-tubuh ikan itu, kemudian mulai menggigit perutperut ikan, hingga meninggalkan tulang dan kepala. Dagingnya begitu empuk, sangat nikmat. Gurih. Dan lezat. Dua ikan itu habis dalam hitungan menit.
Esok hari, aku akan mencoba mengambil ikan itu lagi, tanpa sepengatuan ibuk. Namun, sebelum menjalankan misi kedua. Ibuk dengan pandangan penuh curiga, menatap wajahku.
“Bagaimana bisa ada tulang ikan di dapur?” Ibuk langsung menuduhku. Karena, tidak ada orang lain di rumah ini sejak tadi siang, kecuali aku. Nahasnya aku. Kenapa aku tidak membuang jauh-jauh sisa tulang itu. Bodohnya aku yang membiarkan tulang-tulang itu di dalam mulut tungku, bersama sisa arang yang sudah berubah menjadi abu. Karena aku tidak menjawab, ibuk lantas mengadu pada bapak.
Sebelum bapak berubah menjadi singa, aku merengek seperti bayi. Dengan modal air mata, aku meminta maaf serta berjanji pada bapak untuk tidak mengulangi lagi. Cukup kali ini saja. Karena wajah bapak terlihat galak, ditambah suaranya yang menggelegar, mewakili semua emosi yang sudah tidak betah berlama-lama dalam otaknya. Kemudian, aku mengeluarkan senjata lain. Karena, merengek seperti bayi sudah tidak ampuh lagi.
“Bapak, anakmu ini sudah sepenuhnya tertular keberanian dan kenekatan bapak”. Aku menyeringai.
Entah apa yang dipikirkan bapak, matanya berkaca-kaca. Wajah singanya hilang perlahan-lahan bersamaan dengan diamnya. (*)
Fitria Sawardi. Penulis merupakan pegiat literasi dan pembina komunitas kepenulisan sastra “laskar pujangga”. Novelnya dengan judul “finally, the netherlands” menjadi novel best seller dan masuk kategori buku paling dicari versi gramedia.com bulan Agustus 2019. Sekarang kesibukannya mengajar di SMP Islam Sabilillah Malang.
Leave a Reply