Cerpen, Khairul Fatah, Minggu Pagi

Ribut Kecil di Kamar Sebelah

4
(1)

Cerpen Khairul Fatah (Minggu Pagi No 51 Tahun 72 Minggu IV Maret 2020)

Ribut Kecil di Kamar Sebelah ilustrasi Donny Hadiwidjaja - Minggu Pagi (1)

Ribut Kecil di Kamar Sebelah ilustrasi Donny Hadiwidjaja/Minggu Pagi 

Ribut-ribut kecil berasal dari kamar sebelah, tepat di kamar paling ujung kosku. Keributan itu sering terdengar setelah shalat Isya.

“Kampungku terbuat dari lubang gua-gua, tempat bersemayam putri raja.” Terdengar suara serak mengalihkan topik pembicaraan.

“Di kampungku pohon beringin tua berdiri berjejal memadati seisi kampung.” Suara yang agak melengking menimpali.

“Kalau di kampungku, laut menjelma Tuhan.” Terdengar suara yang agak menggelegar menyela.

Percekcokan itu saling berebut mengagungkan kampungnya masing-masing. Suara yang agak melengking terdengar lebih fanatik terhadap pendapatnya. Si pemilik suara serak diam mendengar bantahan kedua kawannya. Sedangkan suara yang agak menggelegar dan nyaring sering terdengar menyalahkan pendapat kawannya.

Baca juga: Kematian Dulahmat dan Suara Kucing Hitam – Cerpen Khairul Fatah (Suara Merdeka, 05 Januari 2020)

“Gua-gua kampungku adalah istana, tempat bersemayan putri yang kelak dicari semua laki-laki.”

“Pohon beringin di kampungku ada yang telah jadi tiang megah di istana presiden.” Suara yang agak melengking terdengar pongah.

“Ah, kampung kalian hanya menyediakan pemuas nafsu serakah. Sedang kampungku menyediakan berbagai berkah dari Tuhan.” Bantah si pemilik suara menggelegar, nyaring terdengar hingga nemembus keributan kendaraan yang berlalulalang.

“Pohon beringin di kampungku bukan saja menjelma Tuhan, ia telah menjelma keberkahan bagi orang yang kepanasan. Menjadi jembatan bagi pelintas sungai. Dan tentu engkau tahu, perahu yang berjalan di atas laut kampungmu itu kayunya berasal dari kampungku.” Bantah si suara melengking.

“Tidak, perahu yang berjalan di laut kampungku terbuat dari pohon yang tumbuh di kampungku sendiri.”

“Oh… Ea….Emmm.”

Suara yang agak serak itu mulai timbul-tenggelam dalam sengitnya perdebatan.

Baca juga: Tali Gantungan – Cerpen Khoirul Anam (Minggu Pagi No 50 Tahun 72 Minggu III Maret 2020)

Buku yang kubaca kalimatnya berlompatan keluar kepala. Suara yang saling berebut benar memburu masuk telinga. Kunyaringkan bacaan, tetap tak berhasil. Kuambil headset dan menyumpat telinga dengan volume penuh.  Tapi keribut itu timbul-tenggalam dalam alunan lagu yang kuputar. Aku memutuskan pergi keluar mencari warung kopi terdekat untuk menghindar dari keributan kamar sebelah.

Baca juga  Pesan Keabadian

***

Saat cahaya matahari mampir ke beranda kamar, kudapati kamar sebelah sunyi seperti tak berpenghuni. Di depan kamar burung pipit naik turun di dahan jambu. Mataku memerah, sisa kantuk sekali-kali menguap di mulutku. Sambil bersandar pada kursi aku memejamkan mata. Tanpa terasa tidur menyergapku, mungkin sekitar setengah jam lebih.

Kantukku mulai pudar. Tinggal sisa kemalasan yang harus kubersihkan dengan mandi. Berjalan gotai aku masuk kamar mandi. Guyuran air pertama menyisakan gemuruh air yang jatuh ke lantai, memantul ke dinding, sekali-kali juga ke kaki. Saat hendak mengguyurkan air yang kedua, aku mendengar bisik-bisik dari dinding kanan kamar mandi. Suaranya seperti desahan. Di saat yang lain, suaranya serupa teriakan kecil orang kesakitan.

Aku diam tertegun dengan gayung berisi air di tangan. Tak semenit berselang, cepat-cepat kuguyurkan air dalam gayung ketubuhku, dengan iringan desahan yang timbul-tenggelam di tengah suara benturan air ke lantai.

Baca juga: Kota Serigala – Cerpen Ken Hanggara (Minggu Pagi No 49 Tahun 72 Minggu II Maret 2020)

Bergegas aku sudahi mandi. Suara desahan yang sekali-kali ganti erangan membuatku tak tahan lama-lama di kamar madi. Mandi pagiku kali ini tidak memberikan kesegaran.  Kelusuhan dan kecamuk pikiran memadati kepalaku. Pertanyaan akibat  keganjilan yang kerap terjadi akhir-akhir ini memecah pikiranku. Aku tak hanya merasa penasaran dengan keanehan yang sering terjadi di kosku, sering juga rasa takut membangunkan bulu kudukku.

Susunun batu dinding kamar kosku kadang membentuk gambar orang-orang melingkar dengan percekokan berebut benar, saat keributan kecil di kabar sebelah terdengar. Kadang juga memamerkan sketsa orang berperang dengan gelimpangan mayat-mayat penuh darah. Aku tahu itu hanya lamunanku. Mungkin itu hanya penafsiran gambar khayal yang dibentuk oleh keributan itu.

Baru seminggu lalu aku menghuni kos ini. Awalnya aku tinggal di salah satu kos pinggir kota. Karena jaraknya terlalu jauh dari tempat kerja, akhirnya kuputuskan untuk pindah. Setelah berhari-hari kucari tempat kos yang murah, teman kerjaku memberi saran untuk melihat salah satu tempat kos yang berada tepat di sisi kanan rel kereta api.

Baca juga  Hamil

“Bangunannya memang terlihat agak tua. Tapi kata pamanku, yang sebulan lalu balik kampung, harga kos di sana enak untuk orang seperti kita.” Demikian penjelasan temanku.

Nampaknya dia paham keadaan ekonomiku sebagai mahasiswa yang kerja sampingan di warung kopi sederhana. Awalnya aku menanggapi usulannya dengan acuh tak acuh. Tetapi setelah berhari-hari tak kunjung ketemui info kos yang lebih murah dari kos yang disarankan temanku, aku iseng datang melihat tempat kos itu. Sampai di sana aku tidak punya pilihan lain kecuali menetap. Selain tempatnya murah, juga dekat dengan tempat kerjaku.

Baca juga: Sepi – Cerpen Yenni Djafar Day (Minggu Pagi No 48 Tahun 72 Minggu I Maret 2020)

Malam pertama kos, aku menganggap suara percekcokan itu hal biasa. Seperti layaknya tempat kos murah lainnya, yang biasa dihuni oleh orang-orang suka begadang dengan bercanda dan bermusik sepanjang malam. Kejanggalan itu timbul beberapa hari kemudian. Bagaimana tidak, kamar yang siang hari sepi tiba-tiba ramai saat malam. Bukan cuma sekali dua-kali aku mencoba meyakini diriku bahwa kamar yang berada paling ujung itu berpenghuni. Sebab kalau malam aku sering mendengar keributan tentang kampung siapa yang paling baik. Ini terus berulang tiap malam. Paginya, selalu kudapati kamar itu kosong tanpa penghuni.

Pernah aku bertanya pada pemilik kos tentang hal ini. Ia hanya menjelaskan bahwa  kamar itu dulu pernah disewa oleh empat orang dan sekarang kamar itu telah dijadikan gudang. Aku terpantik untuk bertanya lebih lanjut, tapi pemilik kos tak mau memperpanjang penjelasan. Dia bilang, suara yang sering kudengar itu mungkin hanya halusinasi belaka.

Entah sampai kapan kutanggung keganjilan ini. Tiap malam suara-suara itu memenuhi gendang telingaku. Dan saat itu pula dinding kamarku membentuk gambar-gambar yang aku sendiri ketakutan melihatnya. Berhari-hari aku merasakan kamarku menjelma neraka yang terus menerorku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain hanya mencoba mengubah bentuk hayalku agar gambar yang kulihat pada dinding kamar sekali-kali berubahan jadi indah, taman dengan sepasang kekasih yang sedang bercinta misalnya. Atau gambar-gambar indah surga. Akan tetapi itu tak pernah benar-benar terjadi.

Baca juga  Telunjuk

Pada malam kedua puluh satu siksaan yang timbul dari suara ribut kamar sebelah membutku mulai berpikir yang bukan-bukan. Benarkah ada hantu di kos ini? Atau aku yang sedang kerasukan hantu-hantu hingga pikiranku menimbulkan gambar yang bukan-bukan?

Baca juga: Bibir – Cerpen Rumasi Pasaribu (Minggu Pagi No 47 Tahun 72 Minggu IV Februari 2020)

Tak mau berpusing dengan itu aku minta penjelasan pada kawan kerjaku. Barangkali pamannya yang sudah balik kampung bisa menjelaskan apa yang kualami.

Dari dia kudapat penjelesan, ia mendapatkan kisah ini langsung dari pamannya. Katanya, bertahun-tahun ia tinggal di kos itu sering juga mendengar suara-suara. Ia tersiksa, hampir setahun lebih. Dan ia merasakan ketenangan saat mendapat penjelasan dari seorang kakek yang jadi tukang chat kos. Kakek itu sudah lama bekerja di sana, tepatnya semenjak ia berusia muda.

Kata si kakek, dulu kamar kos yang paling ujung itu pernah ditempati oleh empat orang yang berasal dari desa. Mereka sengaja tinggal di kos dekat rel kereta yang mengangkut kayu dan hasil bumi dari desa mereka. Mereka ingin menyaksikan sendiri kebenaran yang kerap diperdebatkan di kampungnya, tentang kampung siapa yang paling memberikan sumbangsi atas negara. Tetapi tujuan mereka tak tercapai. Sebab pada suatu malam datang segerombolan orang berseragam dan membunuh mereka atas dalih pembangkangan dan mata-mata Negara. Tak ada yang tahu secara pasti kejadian itu, selain pemilik kos dan tukang chat yang sudah bertahun-tahun kerja di sana.

Setelah mendengar cerita itu, mataku basah tiap mendengar suara keributan dari kamar sebelah. Tiap suara itu terdengar gambar dinding kamarku membentuk adegan empat orang berjalan tertatih-tatih dari pulau nan jauh demi mendapat petaka dan mengejar hal sia-sia.

 

Basa-basi Sorowajan, 2019

Khairul Fatah lahir di Giliyang, Sumenep, Madura. Kini tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Komunitas Kutub dan LSKY. Cerpen telah dimuat di berbagai media.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!