Tak karuan. Orang menyebut ini galau. Terkadang memang hati itu berbolak-balik sifatnya. Aku sekarang berada di lembah bersemak. Keluar tak dapat, di dalam mati. Kenapa setelah satu harus ada dua. Mengapa satu tidak hanya satu dan tidak ada yang menyetelahinya. Keberadaan dua hanya akan membuat bimbang, pikiran akan dibuatnya mengambang. Memilih antara satu, atau dua yang akan dibuang. Kita manusia hanya bisa menerawang.
***
Matahari sudah tepat di atas kepala. Jalanan penuh dengan kendaraan hilir mudik. Kebanyakan sehabis mendatangi wisuda kampus yang berada tepat di hadapan kami. Mahasiswa bertoga sibuk berfoto-foto merayakan kelulusan mereka. Tidak hanya bersama teman. Orang tua, karib kerabat, dan pacar pun turut menemani perayaan kelulusan orang kebanggaan mereka. Pedagang bunga menghamparkan tikarnya di depan kampus. Juga pedagang berbagai jajanan yang mengambil kesempatan demi meraup rupiah. Ira di sebelahku tak acuh melihat keramaian itu. Hanya aku, melongo menimbang-nimbang akan apa yang kulakukan.
Ira sudah membulatkan tekadnya untuk melanjutkan ke Universitas. Lalu bagaimana denganku?
Kebiasan adat sini, perempuan yang telah lulus sekolah sudah layak dipinang lalu menikah. Bukan main, semua kawan perempuanku rata-rata sudah menikah. Mereka lebih memilih budaya dibandingkan ambil pusing melanjutkan ke kuliah. Tak ada gunanya kuliah. Toh perempuan nanti ujungnya ke dapur dan mengasuh segala macam rumah tangga.
Jika aku memutuskan menikah, itu berdampak bagi adik-adikku kemudian. Aku yang tertua pasti menjadi contoh bagi adik-adikku. Aku menikah, mereka semua menikah. Tidak akan ada yang namanya sarjana di keluargaku.
“Jadi bagaimana kau, Des? Ayolah kuliah, masa depan masih panjang.”
“Tidaklah, Ra. Aku tak ada niat sama sekali untuk kuliah. Percuma tak ada niat.”
“Kau pintar, Des. Sia-sia perjuanganmu 12 tahun bersekolah lalu berhenti karena kuliah. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan selesai berkuliah, yang tak bisa kau lakukan tanpanya.”
“Kita beda, Ra. Kau memang lulusan sekolah guru, aku lulusan sekolah teknik. Tak ada bakat kuliah.”
Kami berdua berhenti sejenak. Terpaku. Apa yang dikatakan Ira benar dan apa yang kukatakan juga benar baginya. Ira selalu menyemangatiku untuk kuliah, tapi prinsipku tetap untuk tidak kuliah. Kalaupun kuliah, uang yang kupunya tidak mendukung untuk membayar segala macam administrasi kuliah ke depannya. Pasti kuliahku kandas di tengah jalan.
Terlebih aku tak mau menjadi guru kembali berkecimpung dalam dunia sekolah. Itu membosankan. Sudah 12 tahun aku menunggu di mana masanya aku bebas dan lepas dari jeratan sekolah seumur hidup. Tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?
***
“Deswati, kami semua mendukungmu. Kau harus kuliah demi masa depanmu. Apalagi kau pintar. Pasti nanti kau jadi orang hebat.”
Tiga puluh orang teman, semuanya kini ada di rumahku. Mereka mendesakku agar aku tidak putus kuliah. Mereka peduli, tetapi aku tidak punya niat untuk kembali kuliah sama sekali. Sama sekali tidak punya. Niatku kecil sekali dan ekonomi keluarga pun tetap tidak mendukung.
“Masalah biaya kami yang akan menanggungnya, Des. Kau tenang saja. Kami adalah solusi semua permasalahanmu nanti.”
Aku putus asa. Seandainya kebimbangan ini kuputuskan jauh-jauh hari sebelum aku berkecimplung di bangku kuliah. Kini, aku malah jadi beban bagi orang-orang terdekatku. Kalau pun tetap dipaksakan kuliah, aku pasti tetap berhenti di tengah jalan jadinya. Suatu hal apabila dilandasi keterpaksaan semua alur hingga akhirnya tidak akan mulus. Percuma bila dipaksakan. Sempat beberapa hari aku hanya memilih berdiam diri di rumah. Keluar dari semua beban-beban kuliah sambil menikmati bebasnya kehidupan.
Di balik kesibukanku bersemedi di rumah, ternyata teman-temanku mengurus administrasi kuliahku di Padang. Semua macam hal tanpa kuduga ternyata sudah terselesaikan oleh semua temanku. Mereka tetap bersikeras untuk membawaku ke dunia perkuliahan. Kepedulian mereka akhirnya membuat hatiku sedikit demi sedikit luluh. Aku tidak mau merepotkan mereka.
Terharu. Kemalasanku akan kuliah terhancurkan oleh jasa-jasa temanku. Bukan main pedulinya. Mereka menguruskan segala hal demi kelanjutan kuliahku. Keterpaksaan yang selama ini mengekangku kubalas dengan keterpaksaan kembali. Biarlah waktu berlalu. Mana tahu jalan hidupku ada pada jalan yang dipilihkan teman-temanku. Kujalani bangku perkuliahan kembali. Berkutat dengan segala macam hal dan tugas.
Hal yang tidak kamu sukai tidak akan membuatmu menyesal bila kau jalani. Rahasia Tuhan ada di dalamnya. Hakikat hati memanglah gaib. Kita manusia tidak bisa menebaknya begitu saja. Ada kalanya kau marah, sedih, kesal, bahagia, kecewa, maupun bimbang. Kita manusia tidak bisa memerintah hati untuk melakukan hal yang kita mau. Tidak bisa. Hakikatnya kau lah yang akan diatur oleh hati. Kita manusia tidak bisa pula berkehendak sesuka hati. Dunia ini penuh dengan sebab dan akibat. Kau lakukan ini, akan berdampak seperti itu. Tuhan pasti punya jalan terbaik bagi manusia. Biarlah hati ini dibolak-balik. Yang penting satu: percaya.
Pergejolakan batin yang dulu pernah terjadi menjadi kerinduan bagiku saat ini. Kini aku sudah menjadi guru di salah satu Pondok Pesantren di Bukittinggi. Sekolah ini juga tempatku dulu belajar. Pengabdianku pada sekolah merupakan salah satu cara untuk melepaskan kerinduan semasa sekolah dulu. Sempat sebelumnya aku 4 tahun menjadi guru di salah satu MAN di Kota Bengkulu. Lalu pindah ke Medan. Akan tetapi Medan bukan jalan tepat bagiku. Sekolah di Medan rata-rata nonmuslim. Setiap guru diharuskan memakai rok selutut dengan baju selengan dan tidak berhijab. Bukan kehidupanku sebagai perempuan Minang yang berpakaian selalu tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apalagi aku dulu lulusan Pesantren.
Merupakan sebuah kerinduan terbesar bagiku bisa kembali mencium bau sekolah. Senyum tangis anak-anak. Pengalaman tak pernah tergantikan oleh apa pun untuk bisa kembali ke sekolah. Kehidupan menjadi guru kujalani dengan senang hati. Mengajar bahasa Indonesia kupilih berdasarkan jurusan yang kuambil semasa kuliah. Hingga bertahan hampir 12 tahun di sini keberadaanku masih dibutuhkan. Guru-guru silih berganti keluar masuk menjadi guru di sini. Ada yang malas dikarenakan peraturan yang ditetapkan pihak yayasan dan berbagai macam alasannya. Tapi tidak bagiku, hatiku tetap di sini.
Hidup bukan sendiri. Terkadang kita lemah dan butuh kekuatan. Teman adalah kekuatan terbesar di saat lemah. Banyak cara Tuhan untuk menakdirkan garis hidup hamba-Nya. Mengajar bukan pekerjaan bagiku, ini kebutuhan. (*)
*) Penulis adalah penggiat di Komunitas Lapak Baca Pojok Harapan. Telah menulis buku berjudul Lakon (2018) dan Sedasawarsa Lagi, Kita Menua (2019).
Leave a Reply