Cerpen, Tjak S Parlan

Doa Menyembelih Ayam

0
(0)

Sulaiman tidak ingin membantah. Dia berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri meski air mukanya menyiratkan kekesalan yang sulit disembunyikan. Namun, ketika hendak memulainya kembali, telinganya menangkap sebuah suara yang cukup mengganggunya. Perempuan itu mengangkat gawai dan mulai mengobrol dengan seseorang. Obrolan berlangsung cukup lama dan perempuan itu harus mencari tempat yang tidak begitu ramai.

Baca juga: Mata Merah Pekat – Cerpen Priyo Handoko (Jawa Pos, 29 Maret 2020)

Sulaiman ragu melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak punya pilihan selain menunggu perempuan itu kembali. Bagaimanapun, ayam itu sudah dipesan dan dia harus menuntaskan tugasnya. Maka, diikatlah ayam itu dengan tali rafia di kaki meja sembari berpesan kepada Hasan agar mengawasinya. Untuk menghibur diri selama menunggu, dia bergabung dengan Fahmi Idris: duduk, menyesap kopi, mengobrol, dan membakar sebatang rokok.

***

Perempuan itu muncul ketika Sulaiman baru saja membakar batang rokok keduanya. Segelas kopi sudah tandas dan dia sempat mengira bahwa perempuan itu tidak akan kembali. Seorang pembeli telah datang selama menunggu tadi—dan Hasan menangani tugasnya dengan lancar.

“Maaf, sudah menunggu lama,” ujar perempuan itu—lebih menyerupai basa-basi. “Tadi ada telepon dari keluarga. Oh, bagaimana ayamnya?”

Sulaiman menyelidik ke sekitar. Tali rafia itu masih terikat di kaki meja yang sama, tapi dia tidak menemukan ayam itu di sana sampai Hasan yang berkeringat mengatakan sesuatu dengan enteng, “Tunggu sebentar, Bu. Ini ayamnya sedang saya bersihkan.”

Baca juga: Lumatan Cabai di Wajah – Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 22 Maret 2020)

Serta-merta wajah perempuan itu berubah masam. Dia tidak mengujarkan apa pun kepada Hasan. Seluruh kata-katanya—yang intimidatif—ditujukan kepada Sulaiman. Perempuan itu bersikukuh bahwa dirinya tetap bertanggung jawab asalkan Sulaiman bersedia melakukan penyembelihan mulai dari awal lagi.

Baca juga  Farras Parama

“Saya tidak berlebihan. Saya tidak pernah membeli ayam yang sudah mati. Saya harus tahu prosesnya. Saya hanya membeli kepada orang-orang yang berdoa sebelum menyembelihnya,” ujar perempuan itu, membela dirinya sendiri.

Merasa disalahmengertikan sedemikian rupa, Sulaiman berusaha membela diri. “Saya tidak akan minta uang ganti rugi, Bu!” nada bicara Sulaiman meninggi. “Saya hanya minta Ibu tidak pernah datang lagi ke tempat ini. Saya tahu persis pekerjaan saya. Saya tahu persis bagaimana cara saya berdoa.”

Perempuan itu pun pergi dengan bersungut-sungut. Hasan melanjutkan pekerjaannya sampai tuntas, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sulaiman merasa tidak berkutik. Dia memilih kembali bergabung bersama Fahmi Idris. Setelah semuanya beres, Hasan membungkus daging ayam itu dengan tas kresek dan berencana membawanya pulang

“Saya mau pulang sebentar,” ujar Hasan. “Pak Sulaiman, saya yang akan membayar ganti rugi ayam ini. Saya bermaksud membantu tadi. Tidak ada yang salah.”

Baca juga: Cerita Pohon Pukul Lima – Cerpen An. Ismanto (Jawa Pos, 15 Maret 2020)

Sulaiman tersenyum hambar. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tiba-tiba dia teringat sesuatu ketika matanya terantuk pada sebuah buntalan yang ditenteng Hasan. “Hasan,” ujarnya kemudian, “Apa kamu pernah lupa berdoa sebelum menyembelih ayam?”

“Pernah. Saya lupa berdoa sewaktu menyembelih ayam ini. Kalau tidak ada yang mau makan dagingnya, saya akan membawanya pulang,” jawab Hasan seraya memamerkan daging ayam yang sedang ditentengnya.

“Kamu akan memasaknya?” tanya Sulaiman.

“Itu urusan saya dengan Tuhan,” jawab Hasan seraya berlalu dari tempat itu.

Sulaiman menyesap sisa kopi yang tertinggal di antara ampasnya. Fahmi Idris—yang kepalanya telanjur dipenuhi bayangan Faisal Basri—berusaha memahami situasi di sekitarnya. Faisal Basri belum juga datang. Gerimis mulai reda. (*)

Baca juga  Nisan Kosong

 

Ampenan, 23 Januari-27 April 2020

TJAK S. PARLAN. Lahir di Banyuwangi dan kini tinggal di Ampenan, NTB. Menulis cerpen, puisi, feature perjalanan, novel. Sehari-hari juga mengerjakan perwajahan buku. Buku kumpulan cerpennya yang kedua, Sebuah Rumah di Bawah Menara, akan segera terbit.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!