Aku mengulang-ulang mantraku sampai aku merasa kepalaku panas dan ada rasa hangat menjalari tubuhku.
Sampai aku mengulang mantra-mantraku puluhan kali, ibu turun dari pohon enau, dua kekelok yang terlihat berat menggantung di bahunya. Anak-anak itu menantinya dengan tatapan tidak sabar. Tubuhnya tampak semakin kurus dan ia terlihat dengan gampang diterbangkan angin seperti sehelai bulu burung dari ketinggian pohon. Rasa kasihanku terbit dan tubuhku begitu saja bangkit, ikut berjalan pulang. Karena ayahku tidak ada di rumah, mungkin ia pergi mandi atau pergi membuang kotoran yang mengisi perut buncitnya, aku langsung melabrak ibu dengan pertanyaan.
“Kenapa epe mau-mau aja disuruh?”
Ia menggantung dua kekelok itu di pohon gambal yang tumbuh di tengah halaman rumah. Adik-adikku melihatku dengan tatapan yang selalu begitu.
“Kalau bukan saya, siapa lagi. Kan kamu ndak mau.” Suaranya begitu lemah lembut seperti orang yang tidak memiliki daya hidup. Itu membuatku ingin menendangnya.
Baca juga: Turun Haji – Cerpen Uum G. Karyanto (Koran Tempo, 25-26 April 2020)
“Kan ayah.”
“Kamu disuruh ndak mau.”
“Kan ada ayah!” bentakku.
“Ya, kalau dia bisa, ya dia.”
“Kapan dia bisa? Dia duduk-duduk saja.”
“Daripada dia marah, dilihat sama adik-adikmu, lebih baik kita yang kerjakan,” katanya.
Saya semakin ingin menendangnya.
“Kerjain dah epe!” bentakku lagi.
“Ya, nanti saya yang kerjain. Yang penting kamu mau jaga adik-adikmu.”
“Kenapa epe mau aja kerja, dia duduk-duduk aja tiap hari. Suruh dia kerja!”
Ibu memandangku dengan tatapan meminta belas kasihan. Kali ini aku benar-benar tidak sabar untuk segera menendangnya.
“Biar dah saya yang kerja, daripada kalian ribut-ribut.”
“Tapi dia harus kerja, masak kita-kita aja?”
“Ya, nanti kalau dia mau, kita suruh kerja.”
“Kapan?!”
Baca juga: Dua Lelaki Itu Bersaudara – Cerpen Imam Muhtarom (Koran Tempo, 18-19 April 2020)
Terdengar suara batuk-batuk dari arah jebak. Ayah datang tanpa baju, tubuh basah, dan cara jalan seperti sebentar lagi mau mati. Mudah-mudahan dia segera mati. Aku benar-benar membencinya.
“Kenapa epe ndak mau kerja? Kenapa epe ndak pernah mau kerja?” labrakku.
“Kamu mau mati!” katanya, kedua matanya melotot. Tapi aku tidak gentar. “Ya,” tantangku.
“Tunggu ya, saya tetak kepalamu sekarang.” Ia bergegas mengambil parang yang ia selipkan di atap.
“Epe suami ndak berguna. Ndak pernah mau kerja. Tiap hari ndak pernah kerja. Isi perut aja tiap hari. Ndak berguna,” ocehku. Dan ia sepertinya benar-benar tidak bisa sabarkan diri. Aku terus-menerus menghinanya, sampai ia kehilangan kesadaran, dan meskipun ibu berteriak-teriak memintanya melepas parang, dan adik-adikku berkerumun di ujung rumah dengan wajah penuh ketakutan, sang ayah tidak mengindahkan satu pun dari mereka.
Awalnya ia mencekik leherku. Sampai aku tidak bisa mengeluarkan hinaan-hinaan lagi.
“Untuk apa saya punya anak banyak kalau saya masih harus kerja, ahh,” katanya. Gigi-giginya seperti menempel. “Karena itulah saya buat kalian banyak-banyak. Biar pas kalian sudah lahir, saya bisa jadi raja,” lanjutnya.
“Ndak berguna! Mati-mati sudah epe, mati-mati. Ndak berguna,” kataku sambil berusaha membebaskan diri dari cengkeraman tangannya. Ibu berusaha merebut parang dari tangan kanannya, tapi ibu terlalu lemah untuk itu. Ia dorong sekali saja dan ibu terjengkang. Pada saat itulah, ia begitu saja menetakkan parang itu di kepalaku. Aku sempat diam sesaat, dan ternyata, aku hanya merasakan sakit sedikit. Aku sangat yakin pasti mantra sang dukun itu yang telah membuatku kebal. Dan ketika ia hendak menetak kepalaku sekali lagi, aku merapalkan mantra untuk terbang dengan kesungguhan hati, sampai aku benar-benar tidak menyadari apa pun, kecuali ketika aku telah berada di tempat yang sangat tinggi, dan melihat mereka di bawah sana, melihat ayah memandangku sambil mengacungkan parangnya.*
16 Desember 2016- 20 April 2020
Catatan Kaki:
Kopek: botol
Kekelok: wadah dari bambu
Epe: kamu (halus/sopan)
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Pada 2017, ia diundang mengikuti Literature & Ideas Festival (LIFE’s) di Salihara, Jakarta. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.
Pages: 12
aqilaziz
Menegangkan, endingnya menggantung. Saya gak faham
sunaringpangastuti
Sama, ibu saya juga demikian, saya sampai heran.
sunaringpangastuti
Sama, ibu saya juga demikan, heran.