Cerpen Mona Sylviana (Koran Tempo, 13-14 Juni 2020)
Cerita ini ditulis untuk kekasih gelap saya, seorang laki-laki yang tidak suka membaca. Saya selalu mengirimkan tulisan-tulisan saya untuknya, meskipun saya tidak yakin semua kiriman itu dia baca; ya, kalaupun dibacanya, itu lebih karena saya yang menulis. Itu juga sebab saya tidak merasa perlu meminta komentarnya dan dia pun tidak pernah berkomentar tentang tulisan-tulisan saya.
Setelah hubungan kami berjalan satu tahun, laki-laki itu minta dibuatkan sebuah cerita, tapi dengan catatan: mudah dibaca dan ringan. Yang bisa dibaca dalam macet, tambahnya lagi.
Dengan lain kata, dia bilang bahwa tulisan-tulisan saya selama ini tidak mudah dibaca, berat, dan menambah stres di kemacetan. Sang kekasih meminta sambil lalu seolah yang dikatakannya bukan hal penting untuk seorang penulis, yang lantas bisa membuat saya susah bersikap: harus bangga atau sebaliknya.
Menuliskan cerita seperti yang diminta laki-laki itu ternyata lebih sulit daripada mengikuti lomba menulis cerita pendek eksperimental. Tapi apakah tulisan saya ini berhasil memenuhi permintaannya? Entahlah. Sampai selesai menyunting cerita yang sengaja saya tulis untuknya di buku ini, dia belum pernah membacanya. Kami kadung putus.
Saya tidak ingat persis ide awal dalam cerita ini. Walau saya yakin bahwa cerita ini sekadar menulis ulang kisah yang pernah saya dengar, yang mungkin saya dengar dari adik ipar saya yang kesukaannya berbicara sebanding dengan kesukaannya memancing. Atau bisa juga cerita ini berasal dari satu cerita atau gabungan beberapa cerita dari majalah Detektif Romantika yang saya baca puluhan tahun lalu di kampung nenek saya.
Tokoh dalam cerita saya adalah seorang perempuan berusia 26 tahun yang tidak menarik. Ia seorang arsitek lulusan universitas swasta yang hampir dua tahun setelah lulus belum juga mendapatkan pekerjaan. Tokoh saya itu akhirnya mendapatkan pekerjaan dalam proyek pembangunan toko serba-ada di sebuah kota kecamatan.
Perempuan itu nyaris menolak pekerjaan yang dengan susah payah dicarikan ayahnya, pensiunan sersan mayor, ketika tahu bahwa toko serba-ada itu dibangun di atas bangunan pabrik gula. Penolakan yang nyaris itu bukan karena tokoh saya seorang pencinta bangunan heritage atau seorang idealis, melainkan lebih karena ia merasa dilecehkan secara keilmuan.
Dengan modal kecerdasan rata-rata, semasa kuliah ia mengandalkan ketekunan bagai rayap memamah kusen pintu hingga akhirnya selesai dengan IPK pas-pasan di tahun keenam. Sebelum menandatangani perjanjian kerja, perempuan itu mengumpulkan kembali semua catatan kuliah, membaca ulang buku-buku teori, dan laporan kuliah lapangan. Ia melakukannya sebagai pembuktian diri dan usaha tidak membuat malu ayahnya. Tapi usahanya menjadi seorang arsitek yang baik tidak banyak berguna. Perempuan itu tidak diminta untuk merancang bangunan, bahkan ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika dinding-dinding kekar dari tahun 1911 diruntuhkan untuk diganti mortar yang akan segera retak sebelum genteng dipasang. Tugasnya hanya mengetik ulang permintaan bahan-bahan dan catatan kinerja tukang. Di kemudian hari, ia tahu bahwa kehadirannya lebih dibutuhkan untuk menandatangani rencana anggaran biaya.
Cerita itu berakhir di suatu sore.
Tokoh yang saya bayangkan selalu tampak lelah dari seharusnya itu sedang berjalan di deretan bekas rumah pegawai pabrik gula saat hujan tiba-tiba turun sangat deras. Sambil menutup kepala dengan tas hitam berbahan kulit sintetis, ia berlari kecil ke rumah di ujung jalan. Satu-satunya rumah yang kelihatan berpenghuni.
Lampu depan rumah itu menyala. Kabel panjang dengan bola lampu lima watt bergoyang dimainkan angin. Daun jendela depan melangah. Tirai biru muda kontras dengan cat kusen dan daun jendela yang warnanya tidak lagi bisa dinamai.
Perempuan itu mengibas-ngibaskan lengan hingga jemarinya, membuang butir-butir hujan di lengan kemeja. Ujung pantalon kuyup tepercik tempias hujan walau pundaknya telah menempel di dinding, persis di depan pintu.
Tok… tok….tok.
Tampak seraut wajah di jendela.
“Kehujanan, Ceu?”
Perempuan yang disengat rasa terkejut itu berdiri tegak, mengangguk rikuh. “Eh iya. Maaf, Kang, saya numpang berteduh.”
“Enggak apa-apa. Neduh-nya di dalam aja, Ceu.” Kata laki-laki itu sembari membuka pintu.
“Nuhun. Di sini saja.”
“Hujannya makin deras…”
Dan, seperti menggarisbawahi omongan laki-laki itu, hujan makin seru. Angin liar berdatangan dari delapan penjuru mata angin. Air membeludak dari seluruh bendungan di Pulau Jawa. Perempuan itu tidak melihat alasan masuk akal untuk tidak memenuhi undangan tuan rumah. Sebelum masuk, sekali lagi, ia mengibas-ngibaskan lengan hingga jemarinya.
“Boleh ya, Kang, saya numpang berteduh sebentar?”
“Iya. Kan saya yang menawari. Eh, pakai aja sepatunya. Atau disimpan di dalam, takut ada yang ambil. Mangga, Ceu, silakan duduk. Maaf, rumahnya berantakan.”
Perempuan itu duduk di ujung sofa dekat jendela.
“Maaf ya. Sofanya jadi basah.”
“Enggak apa-apa, nanti juga kering. Mau minum apa? Mumpung saya baru masak air.”
“Eh, Kang, enggak usah. Merepotkan…”
“Enggak repot kok, tinggal tuang. Kopi, teh manis, atau apa? Apa aja? Sebentar ya.”
Tokoh perempuan saya tidak bisa menahan diri. Matanya menguntit sosok laki-laki itu menghilang di balik dinding tripleks, lalu memperhatikan seisi ruangan. Seingatnya, selama hampir enam bulan bekerja, belum pernah ia masuk ke bekas rumah para amtenar. Ruangan terjemahan bebas dari gaya the empire style zaman Daendels itu tidak lagi sama dengan bayangan di kepalanya.
Keseluruhan bangunan rumah sepertinya sudah terbagi dua. Ruangan depan, yang semula terbuka, disekat lima lembar tripleks berdiri memanjang di tengah ruangan dengan sebuah kerangka yang berfungsi sebagai pintu. Kayu sengon diserut kasar menyangga dinding tripleks seperti tangan-tangan yang kesusahan menggapai langit-langit setinggi 3,5 meter.
Sofa berbentuk L lengkap dengan meja kaca memenuhi hampir seluruh ruangan berhadapan dengan sebuah akuarium besar berisi beberapa ekor ikan emas yang berenang mondar-mandir. Di sudut akuarium, sebuah bufet seukuran pinggang penuh berisi piring, gelas, teko kuningan, miniatur candi, tumpukan kaset, jambangan dari kelongsong peluru berukiran yang penuh kembang warna-warni dari benang wol. Berdebu.
Terlihat spiral hitam bekas obat nyamuk bakar di beberapa bagian karpet plastik yang menutup seluruh lantai. Mata perempuan itu terasa gatal.
Sebuah gambar jepretan khas studio foto kota kecil tergantung berdampingan dengan kepala rusa bermata kelereng. Foto pudar sepasang laki-laki dan perempuan. Si laki-laki mengenakan jas hitam. Si perempuan berkebaya brokat cokelat muda.
Apa saya pernah bertemu dengan keduanya? Tanya perempuan itu sambil mendekat.
“Itu adik saya dengan suaminya. Enggak apa-apa… Silakan. Foto dipajang untuk dilihat.”
“Eh, ehm, maaf. Oh, saya Ning.” Dengan wajah memerah, perempuan itu kembali ke sudut sofa.
Laki-laki itu meletakkan cangkir putih tanpa canggung di pinggir meja. “Mangga atuh Ceu Ning diminum, kalau dingin enggak enak.”
“Nuhun, Kang.”
Ning menyesap teh dengan diam-diam memperhatikan laki-laki yang duduk di seberangnya. Kulit laki-laki itu tidak secokelat kebanyakan orang yang ditemuinya di kota itu. Bulu-bulu halus membuat bayangan hitam di dagu hingga ke lingkar pipi yang menyatu dengan rambut lurus-kasar melebihi tengkuk. Otot-ototnya seperti buah kawung, pejal dan terstruktur.
Angin dari jendela terbuka di atas kepala Ning membuat baju yang lembap terasa lebih dingin. Angin meruapkan pula aroma batang pohon dari tubuh laki-laki itu. Perempuan itu tersedak.
“Kenapa, Ceu?”
“Enggak apa-apa. Ehm, ngomong-ngomong, adiknya di mana?”
“Sedang keluar. Harusnya sudah pulang sebelum jam lima, tapi mungkin terhadang hujan, jadi telat. Memang sudah masuk musimnya. Dulu jarang sekali hujan angin kayak begini…”
“Iya ya. Akang sudah lama tinggal di sini?”
“Lama sekali… Kayaknya Ceu Ning jarang lewat sini.”
“Iya. Saya biasa lewat pintu belakang. Potong jalan.”
“Eh, saya juga jarang ke luar rumah.”
“Sama, Kang. Kalau memang enggak perlu, saya juga jarang ke luar kosan.”
“Iya. Oya, kapan kerjaan di belakang selesai?”
“Kalau tidak ada halangan, sekitar empat minggu, Kang. Sudah itu…”
“Bikin tempat parkir ya?”
Tenggorokan Ning mendadak kering. Sepengetahuannya, tidak sampai dua minggu ke depan beko dan buldoser akan merobohkan rumah-rumah bagian depan kompleks perumahan pabrik gula itu, termasuk tempatnya berteduh sekarang.
Ning tertunduk jengah.
“Ehm, sudah agak reda. Saya permisi. Terima kasih banyak ya.”
“Anginnya masih besar, Ceu. Takutnya nanti dahan di ujung sana ada yang jatuh. Harusnya dari dulu pohon tua kayak itu diganti…”
Ya, minggu lalu Ning mengawasi pembongkaran bekas rumah administratur karena bagian pendopo ambruk tertimpa dahan-dahan akibat hujan, padahal di situlah satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya untuk berteduh menunggu angkutan kota.
“Ehm, iya. Bisa ikut ke kamar kecil?” Ning tidak tahan berada dalam keheningan dan perasaan bersalah.
“Silakan. Kamar mandinya di belakang. Lurus ke situ, nanti ke kanan. Oya, sakelar kamar mandi di balik pintu ya.”
Ning mengangguk. Ia beranjak. Setelah melewati kerangka pintu, ia masuk ke ruangan yang kelihatannya difungsikan sebagai tempat menonton televisi. Ada sebuah amben kayu dan televisi tabung 21 inci. Di kanan-kiri televisi itu, ada dua buah pintu tertutup. Perempuan itu berjalan lurus ke arah ruangan di belakang rumah.
Ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu temaram. Di atas tungku dekat pintu, berpalang kayu yang mungkin menyambungkan dengan halaman atau kebun di belakang rumah masih menyala bara. Sebuah panci terbuka berpantat hitam mengepulkan asap. Di atasnya menggantung tatakan dengan tumpukan kayu kering tersusun rapi. Panci besar, wajan besar, baskom-baskom plastik tergeletak tidak beraturan di lantai sekitar tungku. Meja kayu besar berada di tengah ruangan. Tanpa kursi.
Ning berbelok ke kanan. Lampu dari tengah ruangan menyisakan sedikit cahaya di lorong yang dindingnya melepuh karena lembap dan menua.
Setelah meraba-raba dinding di balik pintu, lampu menyala menerangi kamar mandi berbak besar. Hampir saja Ning berteriak ketika dua kecoa berkejaran keluar dari bawah pintu. Ia lama berdiam sebelum memutuskan untuk kencing di lantai, tidak di lubang WC yang tertutup kayu.
Terdengar gema cericit tikus. Dari lubang WC atau pembuangan air? Tanya Ning dalam hati lantas segera cebok dan mengguyur air banyak-banyak. Ia cepat-cepat menarik selot kunci kamar mandi. Sebelum sempat kakinya berayun, gendang telinga Ning menangkap percakapan samar dari ruang depan. Tapi titik hujan yang jatuh di genteng dan tembok berplester tebal memecah suara-suara itu.
Mungkin adik laki-laki itu sudah pulang.
Setelah menahan napas beberapa saat dengan bibir menyiapkan senyum, Ning langsung masuk ruang depan.
“Saya pamit ya, Kang…”
Seorang laki-laki berbadan setegak pohon kelapa dan seorang perempuan berdaster berdiri dekat pintu. Kedua orang itu sama terkesiapnya seperti Ning. Mereka menghunjami rambut lepek Ning hingga pantalonnya yang lembap. Mata mereka terbelalak. Pasangan suami-istri tampak jauh lebih tua dari gambaran foto berpigura di dinding itu.
“Maaf. Situ siapa ya?” Tanya si suami dengan suara tegas dan kaku.
“Kok malah diam. Situ siapa?” Nada suara si istri terdengar meninggi.
“Maaf. Maaf. Saya Ning, Pak, Bu.”
“Ning. Ning siapa? Kenapa ada di dalam rumah? Mau…”
“Mau mencuri?” sambung si istri.
“Tidak. Tidak. Begini, Bu…”
“Darma. Bu Darma.”
“Pak dan Bu Darma, begini…”
Sepasang suami-istri itu mendekat. Mereka berhenti tepat di bawah bayang-bayang lampu.
“Begini…”
Ke mana dia? Tanya Ning dalam hati. Ia celingukan mencari kakak si istri. Tidak ada. Mata pasangan suami-istri itu tidak lepas menguntit mata Ning mengarah.
“Dari tadi begini, begini, terus. Ngaku aja. Pasti mau mencuri. Jaman sekarang ini ya, enggak perempuan enggak laki-laki, enggak gaya kampung, enggak gaya kota, kok mau cari gampang? Hidup itu kerja, bukan ambil hasil kerja orang…”
“Bu… Bu… Bukan. Bukan. Begini…”
“Begini lagi!”
Kenapa jadi rumit begini? Ning membatin kesal.
“Beg… Ehm, waktu hujan deras tadi…, oya, saya kerja di belakang…”
“Belakang mana?”
“Saya arsitek Toserba Bulan Sabit, Pak.”
“Sama Pak Marjuki?”
“Iya.”
“Coba yang mana Pak Marjuki? Jangan-jangan dia bohong, Pak.” Potong si istri.
“Pak Marjuki itu atasan saya.”
“Iya. Pak Marjuki yang mana coba?”
“Yang rambutnya agak tipis. Yang badannya agak besar.”
“Iya. Iya. Gendut. Botak.”
“Nah, Bapak bisa tanya Pak Marjuki.”
“Apa ini urusan kantor?”
“Maksudnya?” Ning berjalan perlahan, meraih tas kulitnya di atas sofa.
“Apa ini urusan kantor?” Tanya si istri lagi.
“Bukan, Bu.”
“Kalau bukan, kenapa suruh suami saya tanya Pak Marjuki.”
“Maksud saya…”
“Iya. Dari tadi juga saya tanya, maksudnya apa ke rumah saya?”
“Tadi pas lewat sini pas hujan tiba-tiba deras, terus saya berteduh di tangga depan.”
“Kok bisa sampai masuk ke dalam?”
“Nanti dulu, Bu, saya kan belum selesai. Setelah berteduh di depan itu, saya diajak masuk, ditawari minum. Saya sudah mau pulang, tapi saya… Ehm, saya buang air kecil dulu.”
“Bapak yang ajak-ajak masuk?”
Laki-laki berkumis itu cepat-cepat menggelengkan kepala.
“Geleng-geleng itu artinya apa, Pak?”
“Geleng itu ya tidak. Bapak kan sedang ada pertemuan di rumah Pak Irfan.”
“Iya. Tapi kan pertemuannya siang. Masak sampai sore begini?”
“Hujan, Bu, hujan. Jadi, bapak ngobrol-ngobrol dulu di warung sebelah rumah Pak Irfan.”
“Oh. Di warung si Kiyah. Pantesan lupa waktu…”
“Rame-rame, Bu, bukan bapak sendiri. Curiga melulu…”
Ning maju selangkah, “Bu, bukan Pak Darma yang…”
“Jangan dekat-dekat. Jangan potong omongan suami saya.” Suara si istri makin meninggi.
Si suami melanjutkan, “Tadi itu, setelah pertemuan di rumah Pak Irfan, pas mau pulang, hujan turun. Mendadak. Langsung deras, enggak pakai gerimis dulu. Ya, sudah, dengan yang lain, bapak neduh di warung Kiyah. Hanya sebentar kok. Pas agak reda, bapak langsung aja pulang. Sampai di depan rumah tadi, bapak lihat lampu depan nyala. Bapak sangka Ibu duluan pulang. Makanya, bapak kaget waktu dengar suara Ibu manggil tadi.”
“Benar?”
“Aduh, Bu, masak bapak bohong?”
“Mungkin aja…”
“Ya mungkin, tapi untuk apa sih, Bu? Bapak kan sudah bilang enggak berhubungan dengan si Kiyah.”
“Bukan si Kiyah, tapi perempuan ini.”
“Aduh, Bu. Eling, eling.”
“Benar Bu Darma…”
“Apa yang benar? Jangan ikut campur. Ini urusan suami-istri.”
“Bapak berani sumpah. Sumpah demi…”
“Jangan pakai sumpah-sumpah. Apalagi pakai demi-demi. Heh. Situ diajak masuk sama siapa? Suami saya?”
“Bukan.”
“Tuh kan, apa bapak bil…”
“Kenapa tadi diam aja! Terus siapa yang ajak situ masuk?”
“Saya diajak masuk sama…”
“Nah ketahuan. Mau mencuri kan?”
“Maaf, Bu Darma, soalnya begini. Tadi itu… Ini bodohnya saya. Saya tadi itu tidak sempat tanya nama.”
“Mulai pakai jurus ngelantur dia, Pak.”
“Tenang dulu, Bu.”
“Bapak itu ya, kalau urusan dengan wong wedok lemah…”
“Jangan mulai lagi, Bu. Ini kan sedang diinterogasi. Nama siapa?”
“Hem, oh, begini,” Ning menelan ludah. “Yang pasti, dia itu kakaknya Bu Darma.”
“Kakak?”
“Iya. Laki-laki seumur…” Ning terdiam.
“Kenapa?”
“Tadi dia ngaku-nya kakaknya Bu Darma, tapi…”
“Tapi kenapa?”
“Umurnya enggak jauh dengan saya.”
“Laki-laki? Matanya besar, rambut lurus?”
“Iya.”
“Yakin?”
“Maksudnya?”
“Yakin dia bilang kakakku?”
“Bilangnya begitu, Bu. Tapi…”
Sepasang suami-istri itu tampak menghela napas. Belikat si istri turun perlahan. Urat-urat bibir yang sedari tadi berkerut, kini tertarik ke atas. Mengembang. Si suami mengerling si istri. Si istri membalas kerlingan. Mereka berdua lantas tertawa.
“Saya mungkin salah dengar. Yang tadi anak Bapak sama Ibu? Maaf kalau begitu.”
“Si Jojo…”
“Siapa Pak?”
Ning tidak langsung menerima jawaban. Si suami tidak meneruskan kalimatnya, hanya rahangnya makin lebar menganga. Dia terus terbahak.
“Maaf, Pak, Bu. Saya tidak ngerti. Apa ada yang lucu?”
“Tidak. Tidak….” Si suami susah payah menahan mulutnya yang masih mengeluarkan tawa. “Namanya Sutarjo. Jojo.”
“Oh. Terus, kenapa Bapak sama Ibu ketawa?”
“Jojo sudah lama enggak datang…”
“Iya, Pak. Terakhir yang ibu ingat, dia datang pas rumah ini dirombak, makanya ini rumah enggak beres-beres.”
“Saya belum ngerti…”
“Susah menjelaskannya. Mau ketemu Jojo? Ayo.”
Jalan si suami limbung mungkin karena tawa yang panjang tadi menguras habis tenaganya. Berkali-kali dia bersandar di dinding seraya menyeret kakinya.
“Ayo…”
Ning menjaga jarak. Ia mengikuti, berjalan perlahan ke arah dapur berbarengan telinga menangkap suara berat si suami yang timbul-tenggelam karena bercampur tawa tertahan.
“Jojo itu anaknya beda sendiri. Aneh juga… Yang seumuran dia pada pacar-pacaran, eh, …ini senangnya di sanggar. Katanya dia memang bagus nari-nya, sampai-sampai diajak nari ke Jakarta, di KSSR. Singkatan apa ya? Lupa. Apa, Bu?”
“Konpernas Sastra dan Seni… R. Rakyat apa ya? Saya juga lupa.”
“Bukan. Bukan. Ya sudah. Pokoknya KSSR. Waktu kejadian itu, ini juga katanya, soalnya saya pas nikah, bapak sama ibu mertua saya sudah meninggal… Eh, mau bilang apa tadi? Oh, waktu kejadian itu, bapak sama ibu mertua saya lagi ke gunung, ke rumah neneknya istri saya. Untung. Untung. Nasib itu ya begitu… Nah, si Jojo ditinggal. Dia enggak mau ikut karena mau latihan nari. Ya sudah. Habis dia.”
Si suami jeda di tengah ruangan dapur. Dadanya terlihat bergerak cepat. Dia kelihatan kesulitan mengatur napas ketika melongok, membungkukkan badan, dan menunjuk ke arah meja panjang di tengah ruangan. “Nah itu. Itu Jojo.”
“Bapak jangan main-main…”
“Itu dia. Itu Jojo di bawah meja.”
“Saya belum nger…”
“Itu kuburannya.”
Sesuatu menonjok lambung Ning. Jantungnya lupa berdenyut, aliran darah berhenti memompa udara. Ning ingin secepatnya lari ke luar rumah. Menjauh. Persendian di tungkai kaki serasa dicerabut, tidak kuat lagi menumpu.
Sekujur tubuh Ning ngilu, perempuan itu mengibas-ngibaskan lengan hingga jemarinya. Pundaknya lunglai menempel di dinding, persis di depan pintu.
Tok… tok….tok.
Tampak seraut wajah di jendela. “Kehujanan, Ceu?” ***
Mona Sylviana, penulis cerpen yang tinggal di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
campeous
Suka sekali caranya bertutur, bahasanya mudah dipahami.
Tapi menurutku yang awam dalam dunia penulisan, cerpennya berkelas.
Itu menurutku…
😊😊
Aku jadi ingat dengan gaya menulisnya A.S Laksana. Kalimat-kalimat dan metaforanya ringan.
Tapi A.S Laksana hampir selalu ada unsur komedinya.
Cerpen ini tidak.
hasnasanti
Cerpennya asik banget