Cerpen Marliana Kuswanti (Media Indonesia, 28 Juni 2020)
LELAKI itu menyimpan kebencian yang luar biasa dalam dirinya. Ia membenci semua cerita yang tertulis dalam buku-buku. Ia membenci semua orang yang telah membuat cerita-cerita seburuk itu.
Ya, seburuk itu. Dan jika hari ini ia masih nekat menginjakkan kaki di toko buku, itu semata-mata agar ia dapat memaki semua orang yang ada di sana. Pemilik toko yang mau-maunya menjual buku-buku cerita bermutu serendah itu dan para pembelinya yang tololnya minta ampun.
“Lebih baik uang kalian untuk membeli tisu toilet satu truk penuh!” ujarnya kepada para pengunjung toko. Lalu kepada pemilik toko dan seluruh karyawannya yang hanya bisa terbengong-bengong, “Dan ini untuk kalian, para keparat penjual cerita murahan!”
Lelaki itu meludah kuat-kuat. Ludahnya yang kental dan banyak jatuh di meja pajang yang paling dekat dengannya, menodai tumpukan buku terbitan minggu ini. Lalu lelaki itu pergi dengan langkah mengentak, suara ketukan tongkatnya meningkahi bunyi sepatunya.
***
Lelaki yang sama bersumpah sesungguhnya dirinya tidak membenci cerita. Ia menggarisbawahi, ia hanya membenci cerita-cerita yang buruk. Celakanya, sejauh ini tak ada satu pun cerita yang terbaca bagus di matanya.
Dari tahun ke tahun, pekerjaannya hanya berkelana dari satu toko buku ke toko buku lainnya. Tentu saja, setiap perjalanannya hanya berakhir dengan makian brutal. Tingkah menyebalkannya itu mendatangkan gunjingan dari seluruh penjuru kota.
Bahkan mereka yang teramat jarang singgah di toko buku pun memutuskan untuk membencinya.
“Orang seperti dia memang layak dibenci.”
“Ya, tingkahnya keterlaluan sekali.”
“Kurasa, ia tidak memiliki rasa hormat kepada siapa pun. Tak terkecuali kepada dirinya sendiri.”
“Betul. Orang yang menghormati dirinya sendiri tak akan menginjak-injak kehormatan orang lain.”
“Aku sepakat.”
“….”
***
Lelaki itu tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya, bahkan dirinya sendiri. Ia memang memberikan maskawin sejumlah uang yang kemudian seluruhnya digunakan istrinya untuk membuat warung kelontong di sisi kanan rumah mereka.
Namun, demi Tuhan, hanya sampai di situlah keterlibatannya dalam urusan nafkah keluarga. Lelaki itu tidak pernah membantu istrinya mengurus warung yang memberi mereka makan. Ia bahkan tidak mau repotrepot memanggilkan istrinya saat pembeli datang.
Tetangga-tetangga sebenarnya malas berbelanja di warung itu. Seperti tak ada warung lain saja. Warung-warung lain yang tentunya tidak dimiliki lelaki semenyebalkan itu.
Namun, setiap kali hendak begitu saja melewati warung itu, mereka teringat pada wajah istrinya. Bukan jenis wajah lemah dan memelas, melainkan justru wajah yang menunjukkan ketangguhan luar biasa seorang istri sekaligus ibu.
Wajah yang tidak pernah minta dikasihani atas hidupnya yang selalu pas-pasan meski seharusnya ia dan anak-anaknya bisa hidup jauh lebih baik kalau saja suaminya lebih peduli dan bertanggung jawab. Karena itulah, tetangga-tetangga merasa akan terlalu jahat jika mereka tidak berbelanja di warung itu.
Sama sekali bukan untuk lelaki menyebalkan itu, melainkan semata-mata demi istri dan anak-anaknya. Bagusnya, istri lelaki itu nyaris selalu ada di balik tumpukan dagangan. Ia bahkan berinisiatif memindahkan kompor dan alat-alat memasaknya ke warung demi tak melewatkan satu pun pembeli yang diabaikan suaminya.
Jika ia tidak ada di balik tumpukan dagangannya, itu hanyalah saat ia harus pergi ke kamar mandi. Ia bahkan menggelar kasur lipat di warungnya untuk menidurkan anak-anaknya saat mereka masih kecil dan kini untuk dirinya sendiri setelah anak-anaknya makin besar dan tak perlu ditunggui saat tidur siang.
Di lain pihak, lelaki itu bersumpah ia sangat mencintai istrinya. Buktinya, tak sekali pun ia memukul istrinya atau meludahi dan memakinya seperti yang ia lakukan di toko buku. Lelaki itu bahkan tak pernah berkata dengan nada tinggi kepadanya. Dan yang terpenting, ia tak pernah lupa memberikan hadiah di setiap ulang tahun istrinya dan ulang tahun perkawinan mereka.
Bunga segar, bukan plastik, yang terbaik yang dapat ditemukannya di toko bunga. Meski tentu saja, ia membelinya dengan uang yang diambil dari kaleng simpanan uang di warungnya. Atau warung istrinya. Ah, sama saja baginya.
Toh, benar-benar tidak banyak dan hanya untuk membeli bunga dua kali dalam setahun. Di mana letak kesalahannya?
Yang sudah-sudah, istrinya menerima begitu saja bunga-bunga hadiah ulang tahunnya dan ulang tahun perkawinan mereka. Meletakkannya di vas dekat jendela kamar mereka lalu sudah.
Ia bahkan tak merasa perlu mengganti airnya setiap hari untuk membuatnya bertahan lebih lama. Ia lebih suka mengurus warungnya, menunggu dan melayani para pembeli yang murah hati kepadanya dan anak-anaknya. Sementara bunga-bunga dua kali dalam setahun itu tak cukup berguna bagi mereka.
Tentu saja, istrinya tidak sesabar itu. Di awal perkawinan, seribu kali ia mengajak suaminya berdebat bahkan berkelahi. Ya, berkelahi, seperti dua ekor banteng yang marah. Namun, percuma. Suaminya terlalu acuh tak acuh. Lelaki itu tak menanggapi luapan kekesalannya. Sungguh, istrinya lebih suka mereka bertarung sampai salah satu atau keduanya mati sekalian.
Akan tetapi, kau tentu tak bisa melawan orang yang diam. Benar-benar diam. Sampai mampus, seranganmu tak akan berguna. Maka perempuan itu memilih meniru suaminya, acuh tak acuh.
Sampai suatu hari, ketika rambut keduanya mulai dihiasi garis-garis keperakan dan si bungsu telah mengikuti jejak kakak-kakaknya pergi meninggalkan rumah. Lelaki yang makiannya makin panjang di setiap toko buku dan ludahnya bercampur dahak akibat paru-parunya yang kian keropos pulang dengan sebuket mawar merah yang mengagumkan. Paling mengagumkan sepanjang perkawinan mereka.
Pita yang mengikatnya tak kalah cantik. Pasti akan membuat pipi semua gadis merona jika pemuda memberikannya kepada mereka. Sayangnya, jelas sekali istri lelaki itu bukan lagi gadis yang mudah merasa tersanjung. Ia bahkan telah menjadi seorang nenek yang nyaris terkubur di tengah-tengah dagangan di warung kelontongnya yang begitu-begitu saja sedari dahulu kala.
Sementara ulah terakhir suaminya di toko buku bahkan telah menyebar sampai ujung dunia. Perempuan itu tahu dari anak tetangganya yang menunjukkan rekaman di telepon genggamnya.
Dengan sisa-sisa ketajaman pikiran senjanya, perempuan itu bahkan ingat betul ucapan anak itu, ‘Ini viral lho, Nek!’ Lalu ia bertanya apa itu viral dan bocah berseragam sekolah itu menjelaskannya penuh semangat.
Maka ketika lelaki itu mengulurkan buket mawar merahnya, bukannya lekas membawanya ke kamar untuk dimasukkan ke vas, istrinya justru berdiri dan membiarkannya tergeletak di meja makan.
“Ini ulang tahun perkawinan kita yang ketiga puluh. Aku juga punya hadiah untukmu. Hadiah sekaligus permintaan dariku. Bukankah selama ini aku nyaris tidak pernah meminta apa pun darimu? Aku akan mengambilnya. Semoga kau tidak keberatan.”
“Tentu saja,” sahut lelaki itu singkat.
Istrinya kembali dengan sebuah buku tulis dan pulpen yang diambilnya dari warung. Ia membuka buku tulis kosong itu di hadapan suaminya yang berwajah bingung dan meletakkan pulpennya di tengah buku.
“Aku tahu sejak dahulu kau ingin sekali menjadi seorang pengarang. Kau bahkan yakin bisa membuat cerita yang jauh lebih baik daripada pengarang mana pun. Namun, kita sama-sama tahu, waktu kita tak banyak lagi. Jadi sebelum waktu kita habis, aku memintamu menuliskannya untukku. Tidak usah panjang-panjang. Aku tidak ingin menyusahkanmu. Satu halaman saja, sebagai bukti kepintaranmu dan hanya jika kau benar-benar mencintaiku.”
Lelaki tua itu menggigil hebat. Tiba-tiba ia merasa dingin sekali, sampai ke relung-relung jiwanya. Sementara dahinya terus mengucurkan keringat di bawah tatapan menunggu istrinya, perempuan yang selama tiga puluh tahun diberinya bunga-bunga terbaik yang dapat ditemukannya di toko bunga, dua kali dalam setahun. (M-2)
Marliana Kuswanti, penulis buku Kedai Nyonya O (2019) dan Rumah Kayu Itu (2019).
Michael
Hhhmm… Menarik