Cerpen Ardian (Jawa Pos, 19 Juni 2011)
Adakah yang lebih dewi dari Mahadewi?
SOSOK itu melangkah di keremangan senja. Tubuhnya tinggi semampai dan ramping. Langkahnya bergetar bagai puisi. Gaun putihnya yang panjang selutut, menyisakan bagian pundak yang terbuka. Kulit putihnya berkilat ditimpa sisa cahaya matahari. Angin semilir menyibak sebagian rambut yang menutupi wajahnya. Leher jenjangnya yang indah sesekali terlihat. Kakinya yang panjang menopang betis yang indah bak bulir padi. Lidah ombak pantai sesekali meningkahi, menjilati ujung gaun dan kakinya yang telanjang. Sementara sepasang merpati putih terbang rendah di kiri-kanannya. Seolah-olah mengawalnya. Tangannya perlahan menyibak rambut, tampak samar terpancar keelokan parasnya. O, sosok yang memancarkan cahaya hidup.
Itulah pertemuanku pertama kali dengannya di sebuah pantai. Hanya sebuah pertemuan biasa. Itu saja.
***
Gerimis masih belum usai membelai kota Bandung, pada suatu malam. Remang lampu yang berpendar di lantai dua Kintamani Café & Restaurant, seakan ingin mencoba memberi sedikit kehangatan. Ketika itu aku sedang menyantap makanan Eropa, sementara lantunan musik instrumental memanjakan telingaku. Tiba-tiba sosok itu kembali muncul, bagai turun begitu saja dari langit.
Ia melangkah anggun memasuki pintu café. Mengenakan gaun terusan tanpa lengan dan berleher rendah, warnanya yang merah kontras dengan warna kulit yang putih bersih. Rambutnya yang hitam legam panjang sebahu, ujung-ujung rambutnya berayun, seperti berebut ingin menyentuh bahu pualam itu. Sementara itu kakinya yang jenjang menampilkan betis yang ramping karena gaunnya hanya sebatas lutut dan sandalnya yang berhak tinggi memperlihatkan ujung tumitnya. Parasnya nyaris tanpa make up, kecuali warna merah menyapu bibirnya. Perempuan itu memilih meja kosong di sudut ruangan.
Ia duduk di situ. Tidak memesan apa-apa, hanya diam. Ketika tatapanku beradu dengan bola matanya, senyum tipisnya tersungging. Aku pun membalasnya, lalu kembali berpura-pura asyik menikmati hidangan.
Tanpa melihat perempuan itu, kupanggil pelayan.
“Orange juice untuk perempuan di meja sudut itu. Bilang dari saya.”
“Perempuan mana, Pak?”
“Itu di meja sudut itu. Baju merah,” kataku masih tak menoleh.
“Nggak ada, Pak. Nggak ada siapa-siapa di situ.”
Segera kutolehkan kepala ke tempat duduk perempuan itu. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ah, kemana perginya perempuan itu?
***
Langit Jakarta tampak cerah. Lagoon Terrace, Grand Hyatt Hotel, agak sepi sore itu. Di sebuah meja di sudut teras, seorang dara tampak tekun mengamati layar komputer laptop-nya dan sebentar-sebentar mencoret-coret sesuatu di catatannya.
Oh, perempuan itu kembali muncul di hadapanku. Kini begitu dekat, hingga aku bisa mengamati dirinya. Baru kini dapat kulihat jelas keelokan juwitaku itu. Wajahnya persegi dan bersih. Alisnya tipis tajam. Tulang pipi yang menonjol selaras dengan tulang rahang yang keras dan berpadu dengan mata yang menyerupai mata kucing. Wajahnya khas oriental, eksotik.
Merasa diperhatikan, ia mendongak. Sebaris senyum segera menghias bibirnya. Kubalas dengan lambaian. Tak berapa lama segera kuangkat cangkir kopiku, beranjak ke arahnya. Kami pun berkenalan, lalu berbincang.
Itulah perbincangan pertama kami, setelah pertemuan ke sekian kali.
Sejak saat itu, kami sering bertemu kembali. Membuat sejumlah rendezvous, ketika makan siang, makan malam atau ketika aku seminar keluar kota. Bahkan ketika aku ke luar negeri untuk urusan kantor, ia pun bersedia menemani. Sejak saat itu pula aku merasakan perubahan dalam hidup. Rasa hampa dan datar yang selama ini kualami hilang lenyap, tergantikan dengan rasa bahagia, damai, dan rasa gairah yang tak terkatakan. Perempuan itu telah membuat hidupku benar-benar hidup. Ia telah menjelma seorang dewi untukku. Bukan sembarang dewi, tapi Mahadewi. Ya, adakah yang lebih dewi dari Mahadewi.
***
Angin berhembus semilir. Ombak menyisir tepian Pantai Sanur. Mega putih melintas di biru langit, berpadu dengan warna laut. Sekelompok burung camar melayang di atas riak air. Cantik nian pemandangan sore itu bersanding dengan kecerahan yang memancar sempurna dari diri Mahadewi-ku. Di Bali Kopi Shop, lantai dua Hotel Grand Bali Beach, ia duduk menanti.
“Hai,” sapanya ramah. Senyumnya merebak hangat. Mengenakan baju gaya kemben dari bahan katun berpadu dengan rok gembung di bawah lutut, perempuan itu menyambutku. Lalu dengan mesra ia mengajak minum kopi dan mengobrol ringan. Kedua matanya yang berwarna kecokletan tampak berbinar ketika berbicara.
Pembicaraan kami terhenti sejenak. Seorang pramusaji datang mengantarkan dua cangkir kopi panas. Perempuan itu lalu memasukkan gula ke dalamnya. Diraihnya sendok kecil yang tergolek di sisi cangkir. Jari lentiknya mengaduk tanpa suara.
Ketika bibir tipis yang dipoles lipstik merah muda itu menyentuh tepi cangkir, musik instrumentalia piano yang membawakan sebuah karya Chopin mengalun. Iramanya seakan menjadi ritus minum kopi senja hari.
“Kamu masih ingat, ketika kamu bertanya dari mana asalku, dan kujawab dari langit?” Perempuan itu meletakkan cangkir dengan pelahan.
“Ya, masih. Kenapa?” Cangkir kopiku masih terangkat.
“Dan waktu itu kamu menyangka aku bercanda, kan?”
“Iya….” Rasa penasaran akan arah pembicaraan mulai mengusikku.
“Nah, hari ini kau akan melihatnya sendiri.”
“Maksud kamu?” Segera kuletakkan cangkir ke tempat semula.
Ia meraih kembali cangkir kopinya, yang sedari tadi diam seakan turut menyimak perbincangan kami. Dengan bibir masih basah, ia melanjutkan perbincangan.
“Hari ini aku akan pergi….”
“Pergi? Ke mana?” kupotong kata-katanya.
“Tunggu dulu, biar kuselesaikan dulu bicaraku. Aku harus pergi hari ini, selama-lamanya. Ke tempat asalku.”
“Kalau ini bercanda, aku akan sangat tersinggung….”
Perempuan itu hanya tersenyum.
“Pergi ke mana?” tanyaku kemudian.
“Langit biru. Tempat asalku dulu.”
“Langit? Ah, katakan kalau ini salah satu joke-mu….”
“Bukan. Aku serius, Sayang. Kamu ingat cerita tentang bidadari yang mandi di sungai ketika pelangi muncul dan harus kembali ke nirwana pada saatnya? Nah, aku pun demikian. Sekarang sudah saatnya aku kembali. Aku tahu kamu berat melepaskanku. Jangan berpikir aku tidak.”
Aku tertunduk lesu. Lidah serasa kelu. Rasa tak percaya masih menyelimuti.
“Selepas senja,” ujar perempuan itu mengusikku.
“Malam ini?” tanyaku pasrah.
Perempuan itu mengangguk.
“Kamu mempermainkanku. Kamu tahu arti kamu bagiku, kan? Kamulah Mahadewi-ku. Kamulah bintang-ku.”
“Sayang…. Maafkan aku, sama sekali aku tidak berniat mempermainkan kamu. Tidak. Sayang, aku masih tetap Mahadewi-mu di mana pun aku berada.”
“Ahh….” Aku mendesah.
“Sayang… aku tetap bintang-mu di langit itu. Cinta kita akan abadi. Sinarku akan tetap menyinari alam-mu. Bintang-mu ini akan menjadi saksi cinta kita.” [1] Dan senja pun lenyap. Matahari berangkat ke peraduan. Malam mengetuk hari. Bulan dan sejuta bintang bersinar penuh, menerangi langit, seperti menyambut kepulangan Mahadewi-ku.
Kulihat perempuan itu, Mahadewi-ku, bangkit dari duduknya, menghampiriku, dan kami pun berpelukan. Tak ingin kami lepaskan, semakin erat. Lalu ia merenggang. Dikecupnya keningku. Ia pun berbalik badan, melangkah menjauhiku. Tak berapa lama kemudian, tubuhnya perlahan naik ke udara. Melayang perlahan. Melayang. Melayang tinggi. Semakin tinggi. Tinggi. Tinggi. Tinggi…. Hingga berupa titik. Hanya tinggal titik. Titik yang bersinar. Mahadewi-ku menjelma bintang. Kupandangi terus titik sinar itu, hingga tak terasa mataku berair, semakin berair. Tak kuasa akhirnya tumpah.
***
“Papa sakit apa sih, Ma?”
“Papa sakit parah, Sayang,” Perempuan yang dipanggil mama itu mengelus-elus kepala anaknya dengan hati sedih gundah gulana.
“Apa bener Papa gila, Ma?”
“Hus! Nggak bener. Memangnya kata siapa?”
“Teman-teman Ita.”
“Tidak, Sayang. Papa tidak gila. Papa hanya sakit pikiran, karena memikirkan tugas-tugas di kantor. Sudah yah, sekarang Mama bacakan Harry Potter.”
Perempuan beranak pinak itu pun kemudian larut dalam bacaannya. Sementara itu, di depan mereka, di kursi goyang itu, duduk seorang pria, yang dipanggil papa, dengan pakaian tidur memeluk sebuah bantal kecil berbentuk bintang. Dari mulut pria itu, perlahan terdengar lirih, “Hamparan langit maha sempurna, bertahta bintang-bintang angkasa, namun satu bintang yang berpijar teruntai turun menyapaku….” [2] Mulut pria itu terus bergerak-gerak perlahan, melafalkan kata-kata itu. Diulang-ulang. Terus diulang-ulang. (*)
.
.
Semper, Juli 2001
.
Catatan:
[1] Ditulis berdasarkan ingatan pada lirik salah satu lagu Padi, Kasih Tak Sampai (Album Sesuatu yang Tertunda, Sony Music, 2001). Lagu ini dimainkan dengan diiringi petikan harpa oleh Maya Hasan.
Cuplikan lirik lagu sebenarnya:
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua… berdua….
[2] Lirik lagu Padi, Mahadewi (Album, Lain Dunia, Sony Music, 1999).
.
Leave a Reply