Cerpen OJ Hara (Republika, 19 Juli 2020)
Tri Siswanto menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur segera setelah telepon ditutup. Untuk yang kesekian kali ayahnya menelepon, memintanya kembali ke desa. Membangun desa, begitu kata ayahnya.
“To, setelah kamu selesaikan urusan wisudamu dan lain-lain segeralah kembali ke desa, bantu Bapak bertani di sawah kita. Bapak dan ibumu sudah tua. Rasanya sudah tidak sanggup lagi bekerja seperti dulu. Mbakyu-mbakyumu sudah diboyong suami masing-masing dan tak mungkin kembali ke desa. Hanya kamu harapan Bapak. Garaplah sawah kita dan beberapa kebun itu. Tinggalah di sini, Nak….” Demikian ayahnya memelas memohon kepada anak bungsunya itu untuk kembali ke desanya.
Masalahnya Tri tidak mau kembali ke desa dan menggarap sawah, meskipun sebenarnya dia tidak akan macul seperti Pak Karto dan Mas Ipung, para penyawahnya. Mereka yang akan memacul dan sudah punya grup penggarap sendiri yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja untuk ayah Tri. Seperti juga ayahnya, nanti Tri hanya akan mejadi pengawas, atur ini itu dan seterusnya.
Tri Siswanto minggu lalu diwisuda di Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi. IP-nya 3,7 dengan rata-rata nilai A dan B, tidak ada C. Karena nilai-nilainya yang bagus itulah, sahabatnya Nurman mengajaknya bekerja di Jakarta. Sebenarnya di Jakarta Pusat itu hanya kantornya. Perkebunan sawit milik ayah Nurman berada di Bengkulu dan Jambi kurang lebih 500 hektare. Nurman memang tidak menjanjikan besaran gaji yang akan dia terima, tapi dia bilang untuk pegawai awalan dengan nilai kuliah seperti dirinya tak kurang dari lima belas juta per bulan bisa dia terima, disediakan mes serta kendaraan dobel gardan jika dia ke kebun. Tawaran itu membuat Tri seakan tak punya keinginan lain selain itu.
Dan bekerja di Jakarta itu membuat dirinya seakan melambung tinggi. Jakarta, bro, kota dengan sejuta kemajuan dan kehebatan atas nama metropolitan. Siapa yang tak terobsesi hidup di Jakarta? Mereka yang tak punya pekerjaan saja berani nekat ke Jakarta karena harapan materi dan gengsi yang banyak didengung-dengungkan orang, apalagi Tri berangkat ke Jakarta dengan jaminan mapan.
Ayahnya pensiunan perusahaan perkebunan pemerintah. Namun, selain jadi pegawai pemerintah, juga memiliki sebidang sawah seluas 15 ribu meter persegi dan dua bidang lahan tadah hujan yang ditanami palawija dan umbi semusim, warisan kakeknya. Hanya dari penghasilan dua lahan itu ayahnya sanggup menyekolahkan dia dan dua orang mbakyunya hingga selesai perguruan tinggi tanpa susah payah. Semua selesai hingga sarjana dan bekerja di Bekasi dan Yogyakarta. Semua jadi PNS. Tri anak bungsu dan satu-satunya laki-laki. Sekolahnya sejak dasar hingga selesai sarjana tidak pernah terkendala biaya, termasuk bayar kos satu setengah juta sebulan dan sebuah motor yang lebih sering berada di garasi kos daripada dia pakai. Kampusnya di Jatinangor bisa dia tempuh dengan jalan kaki.
Pikirannya bimbang, campur aduk antara kasihan kepada ayahnya dan obsesi dirinya menjadi bagian dari dinamika eksekutif di kota besar yang sering dia lihat di televisi-televisi itu, clubbing, pergaulan komunitas, canda tawa dengan gadis-gadis cantik manajer menengah perusahaan-perusahaan start up, fashion, dan segala kecanggihan bahasa gaul membuatnya seperti laron terhadap lampu, terobsesi.
Sementara desanya di Sleman sana dengan hamparan sawah, kebun-kebun, dan sungai-sungai mengalir terasa sangat membosankan.
“Kapan aku bisa berpakaian bermerek, bersepatu keren dan berdasi jika pekerjaanku jadi petani? Paling-paling pakaian kerjaku celana pangsi atau paling bagus jeans belel, baju kaos yang tak mungkin berdasi dan sepatu? Sepatu bot plastik itu, lepas sepatu bot ya pakai sandal. Membayangkan itu dia tersenyum kecut.
“Oh iya, Nak, ada kabar baik untukmu, kemarin sore sepulang dari masjid si Harjono temanmu SMP dulu datang ke Bapak. Katanya dia minta tolong dicarikan tenaga ahli pertanian yang mampu membimbing kelompok tani desa kita untuk menjadi petani-petani yang mampu mengelola limbah, beternak, dan membuat mesin-mesin pengolahan home industry karena dia baru saja mendapatkan pengelolaan lahan bekas perkebunan yang sudah tidak jalan. Itu di daerah Purwomartani ke arah Kalasan. Bagaimana lengkapnya Bapak kurang paham. Bapak kira kamu mampu menangani itu.”
Tri sedikit tersenyum membayangkan Harjono anak Pak Lurah Muji, dulu waktu kecil mereka sering mandi-mandi di kali dan menyerok ikan di ceruk-ceruk sungai, Harjono badannya gempal dan berkulit hitam, tapi hatinya baik. Dia selalu berada di sebel ah Tri ke manapun mereka bermain, Harjo selalu bertanya tentang apa pun kepada Tri karena dia menganggap Tri anak pandai, kutu buku dan kalau bicara memukau. Harjo kadang bertanya ke Tri sekadar ingin menikmati cara berbahasa Tri dalam menerangkan sesuatu. Harjono tak hadir sewaktu Tri berpisah melanjutkan sekolah SMA ke Yogya. Katanya dia tak kuat berpamitan. Tri hanya tertawa.
Jam belum menunjukkan pukul 09.00, tetapi matahari telah bersinar sedemikian garang. Panasnya terasa sampai di dinding kamar kos Tri. Dia nyalakan pendingin ruangan dan bersiap-siap mandi. Dia nyalakan laptop, menyambar handuk, dan menuju kamar mandi. Itu cara umum mahasiswa karena menyalakan komputer hingga ready internet paling tidak 5-10 menit. Keluar kamar mandi dia sudah langsung online. Selesai mandi dia sudah duduk di depan laptop, Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram berturut turut opening. Dia berselancar sejenak, lihat-lihat grup.
Nurman muncul WApri. “Bro apa kabar, siap-siap minggu depan aku jemput, kita ke Bengkulu. Siapin baju untuk satu minggu.” It’s all about time…. Tri menggumam.
Notifikasi Youtube muncul, ceramah salah satu ustaz dari Sulawesi. Ceramahnya lugas, lantang, dan tak ragu menggunakan kata-kata keras khas Sulawesi.
“… biar kalian berilmu tinggi, biar kalian punya mobil berderet-deret, tapi kalau kau tak memuliakan orang tuamu jangan harap surga terbuka untukmu. Bodoh kalian kalau punya kesempatan merawat orang tuamu tapi kau tolak, Dongok kalian. Bodoh kalian. Itu kunci syurga, itu cara masuk syurga paling mudah. Kau rawat orang tuamu, Allah yang urus duniamu.” Luar biasa Pak Ustaz kasih wejangan, benar-benar khas orang Bugis, menohok, menghantam relung-relung halus dalam hati.
Tri terpaku terus menonton ceramah ustaz itu. Tangannya tak mampu mengeklik tombol setop. Dirinya terus mengikuti ceramah itu hingga selesai. Perlahan ujung-ujung matanya berair, terbayang olehnya bapak dan ibunya yang mulai menua dan makin melemah tubuhnya. Tri membiarkan sebuah proses mengisi hati dan pikirannya dengan hal-hal yang selama ini dia sangkal dan sekarang dia biarkan pemahaman-pemahaman baru itu meresap ke dalam hati dan pikirannya.
Apa yang kau cari di Jakarta? Apa yang kau cari di dunia ini? Apa yang kau harapkan dari kepintaranmu? Apakah kau gunakan untuk memenuhi kepuasanmu atau kau gunakan untuk membimbing mereka yang memerlukan pencerahan ilmu pengetahuan? Jiwanya berkecamuk, hatinya gundah, dan pikirannya tak menentu. Tri merasa badannya lemas, lelah, dan dia tertidur.
Suara azan lewat pengeras suara bergema mendengung di telinga Tri. Dia terbangun dan tersentak. Refleks dia lihat jam di atas meja, dua belas kurang sepuluh, waktunya Zhuhur. Dia sigap bangun dan duduk di tempat tidur, pikirannya sudah agak tenang. Apa yang menjadi kegundahannya perlahan telah mulai mengendap, mengendap, dan mengkristal. Sekarang dia mempunyai dua pilihan yang sama-sama kuat. Pulang dan meneruskan usaha tani keluarganya atau berangkat ke Jakarta dan menjadi manajer perusahaan sawit. Pilihan yang satu adalah tentang kesederhanaan dan pilihan yang satunya lagi tentang gemerlap metropolitan yang memukau.
Dia beranjak dan segera ambil air wudhu, shalat Zhuhur. Selesai shalat pikirannya masih bimbang, tetapi dia lanjutkan berzikir, ala bidzikrillahi tatmainnul qulb. Dia membutuhkan ketenangan. Sudah jelas pulang ke desanya adalah pilihan terbaik yang harus diambilnya. Tapi, satu sisi pikirannya tetap ingin bekerja di Jakarta dengan segala gemerlapnya metropolitan yang memukau.
Dan telepon berdering lagi, di seberang sana suara ayahnya.
“Nak, pulanglah segera, tadi pagi ibumu dilarikan ke puskesmas, tekanan darahnya naik. Ibumu sempoyongan dan hampir jatuh, tapi sekarang sudah baikan. Pulanglah, tengoklah ibumu.”
Tri kaget, terkesiap, tetapi dia segera menemukan jawaban.
“Baik Pak, aku segera pulang, naik kereta sore ini, aku segera cari tiket. Doakan aku dapat tiket.”
Tri sudah tidak konsentrasi lagi pada apa yang diucapkan ayahnya. Segera dia berganti pakaian menyambar kunci motor dan siap melaju memesan tiket.
“Allah sudah kasih peringatan padaku, jangan sampai aku kehilangan kesempatan memiliki kunci surga. Akan kupergunakan selama mungkin kesempatan ini.” Begitu pikirnya.
Sepeda motor menderu, angin bersibak menerpa wajahnya dan perlahan-lahan menghapus obsesi menikmati kecantikan dan godaan metropolitan. ■
Dawam
“Isi” cerpen ini sudah biasa kita dengar, utamanya bagi kita yang ingin menghormati orangtua, mengalahkan ego. Yang sedikit “nyes” ya gaya bahasanya yang enak.
marhenisuprianto
Anyes banget gaya bahasanya…. ngena ke ulu hati… luar bisa, lanjutkan berkarya kak…