Cerpen Ernest Hemingway (Suara Merdeka, 26 Juli 2020)
Dia memasuki kamar untuk menutup jendela, padahal kami masih berada di ranjang dan aku melihatnya tampak sakit. Dia menggigil, mukanya pucat, dan dia berjalan lambat walaupun terasa sakit untuk bergerak.
“Apa kau sakit, Schatz [1]?”
“Kepalaku pusing.”
“Sebaiknya kau kembali ke tempat tidurmu.”
“Tidak. Aku baik-baik saja.”
“Kau harus berbaring. Aku akan melihat kondisimu saat menyematkan pakaian untukmu.”
Namun ketika kuturuni anak tangga dia telah berpakaian, duduk dekat perapian, tampak sebagai bocah sembilan tahun yang begitu sakit dan merana. Ketika kuletakkan tangan ke dahinya aku tahu dia demam.
“Bergegaslah ke pembaringan,” ujarku. “Kau sakit.”
“Aku baik-baik saja,” kata dia.
Ketika tiba, dokter mengukur suhu tubuh anak itu.
“Apa ini?” tanyaku.
“102 derajat.”
Menuruni tangga, dokter itu meninggalkan tiga obat berbeda berupa kapsul berlainan warna dengan petunjuk penggunaan. Satu untuk menurunkan demam, kedua pencahar, ketiga untuk mengatasi keasaman tubuh. Benih influenza hanya dapat hidup dalam kondisi asam, terangnya. Dia rupanya tahu semua tentang influenza dan bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan jika demam tidak melebihi 104 derajat. Itu wabah flu ringan dan tidak berbahaya selama kau menghindari radang paru-paru.
Kembali ke kamar aku menulis suhu tubuh anak itu dan membuat catatan waktu untuk memberi kapsul bermacam jenis.
“Kau ingin aku membacakan cerita?”
“Baiklah. Jika kau mau,” sahut anak itu. Raut mukanya sangat pucat dan ada bagian gelap di bawah kedua pelupuk matanya. Dia berbaring tenang di ranjang dan rupanya sangat abai terhadap apa yang berlangsung.
Aku membaca nyaring sebuah buku cerita Howard Pyle, Book of Pirates [2]; tapi aku bisa melihat dia tidak mengikuti bacaanku.
“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanyaku.
“Masih sama, sejauh ini,” sahutnya.
Aku duduk di kaki ranjang dan membaca buku itu untuk diri sendiri sembari menunggu waktu memberikan kapsul lain. Saat ini biasanya dia akan tidur, tapi ketika aku menoleh, dia tengah mengamati kaki ranjang, terlihat sangat aneh.
“Kenapa kau tak tidur? Aku akan membangunkanmu untuk minum obat.”
“Lebih baik aku tetap terjaga.” Setelah beberapa saat ia berkata padaku, “Kau tidak harus menungguiku di sini, Papa, jika ini mencemaskanmu.”
“Aku tidak cemas.”
“Tidak, maksudku kau tidak harus tinggal jika keadaan ini mencemaskanmu.”
Aku pikir semoga dia terkena sedikit sakit kepala ringan dan setelah memberi kapsul yang dianjurkan pada pukul 11.00, aku pergi ke luar sejenak.
Hari ini cerah, dingin, permukaan tanah tertutup oleh salju basah yang telah membeku sehingga seakan-akan semua pohon meranggas, semak, belukar terpangkas, dan semua rumput dan lahan terbuka dipernis dengan es. Aku mengajak seekor anjing pemburu Irlandia muda untuk perjalanan singkat dan sepanjang teluk yang membeku, tapi sulit berdiri tegak atau berjalan di permukaan yang seperti kaca hingga anjing merah itu terpeleset dan tergelincir serta aku rasa dua kali, keras, seketika menjatuhkan senjataku dan meluncurkannya jauh sepanjang permukaan es.
Kami terbangkan sekawanan burung puyuh di bawah tebing tanah liat yang tinggi dengan belukar bergantungan dan aku membunuh dua ekor saat mereka menyingkir dari intaian melampaui ketinggian tebing. Beberapa burung itu hinggap di pohon-pohon, tapi hampir semua berhamburan ke timbunan belukar dan butuh lompatan beberapa kali di anak bukit belukar yang berselimut es sebelum terbang. Bermunculan saat kau mencari keseimbangan di permukaan es yang berubah-ubah, belukar yang lentur, mereka membuat bidikan jadi sulit hingga aku hanya membunuh dua, meleset lima kali, dan kembali ke kesenangan saat menemukan sekawanan burung dekat rumah dan bahagia karena begitu banyak yang tersisa untuk menemukan mereka pada hari lain.
Di rumah mereka mengatakan bocah itu telah menolak untuk membiarkan siapa pun memasuki kamar.
“Kau tidak dapat masuk,” ujar seorang lelaki. “Kau tidak harus mendapatkan seperti apa yang aku alami.”
Aku naik untuk menemui bocah itu dan mendapatinya dalam posisi tepat seperti saat aku meninggalkannya, berwajah pasi, tapi dengan bagian atas pipi panas karena demam, membeliak dalam kesunyian, sebagaimana ia terus merenung, di kaki ranjang.
Aku mengukur suhu tubuhnya.
“Apakah ini?”
“Sepertinya 100 derajat,” kataku. Suhu tubuhnya 102 derajat dan 40 derajat.
“Suhunya 102 derajat,” katanya.
“Siapa yang telah mengatakan itu?”
“Dokter.”
“Suhu tubuhmu baik-baik saja,” aku berkata. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Aku tidak takut,” dia berkata. “Tapi aku tidak bisa berhenti berpikir.”
“Jangan berpikir,” kataku. “Santai saja.”
“Aku berusaha santai,” kata dia, menatap lurus ke depan. Dia ternyata sedang mencengkeram sesuatu erat-erat dalam dirinya.
“Minumlah air ini.”
“Menurutmu air ini akan berpengaruh baik?”
“Tentu.”
Aku duduk dan membuka buku tentang para perompak dan mulai membaca, tapi aku bisa melihat dia tidak menyimak, jadi kuhentikan.
“Kira-kira kapan menurutmu aku meninggal?” tanya dia.
“Apa?”
“Kira-kira berapa lama demam ini berlangsung sebelum aku meninggal?”
“Kau tidak akan meninggal. Ada apa denganmu?”
“Oh, ya, aku akan meninggal. Aku dengar dokter itu mengatakan 102 derajat.”
“Orang tidak akan meninggal karena demam 102 derajat. Itu ucapan yang benar-benar bodoh.”
“Aku mendengar mereka mengatakan itu. Di kelas bahasa Prancis, seorang anak berbicara padaku, kau tidak bisa hidup dengan suhu tubuh 44 derajat. Suhu tubuhku 102 derajat.”
Bocah itu tengah menunggu kematian sepanjang hari, sejak pukul 09.00.
“Betapa malang kau, Sayang,” kataku. “Si Tua Schatz yang Malang. Ini seperti mil dan kilometer. Kau tidak akan mati. Itu termometer berbeda. Pada termometer itu 37 derajat berarti normal. Pada termometer jenis ini 98 derajat.”
“Apa kau yakin?”
“Sangat,” kataku. “Ini tentang mil dan kilometer. Kau tahu, seperti berapa kilometer yang kita buat bila melakukan perjalanan 70 mil dengan mobil?”
“Oh,” ucapnya.
Namun pandangannya ke kaki ranjang melemah perlahan. Cengkeraman yang melingkupinya melemah pula, akhirnya, dan hari berikutnya cengkeraman itu sangat kendur dan dia begitu mudah menangis atas hal-hal kecil yang sepele. (28)
Catatan:
[1] Ungkapan kasih sayang yang berarti milikku yang berharga, digunakan sebagai nama panggilan (Jerman).
[2] Kumpulan dongeng tentang perompak di dunia nyata dan khayalan, sangat kondang saat dipublikasikan pada 1920-an.
– Ernest Hemingway, penulis novel The Oldman and The Sea (Lelaki Tua dan Laut), penerima Nobel 1954. Cerpen ini diterjemahkan dari judul asli “A Day’s Wait” dari www.nplaindfield.org oleh Rudiana Ade Ginanjar, yang lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Tulisan eksponen Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta ini bisa diakses di blog Ginanjar Pustaka (https://ginanjarpustaka.blogspot.com).
Admin Plotcube
Apa ada karya ernest hermingway sudah diadaptasi ke film?
Ngatmo
Seperti baca google translt
Initial A
Betul. Mungkin lbh baik pake prinsip pendekatan alih bahasa, jgn lgsg terjemah biar gak kaku begini.
Kadir
Enggak semua karya terjemahan bisa didapatkan kesan estetiknya ketika diterjemahin ke bahasa lain. Gaya bahasa yang bagus di bahasa asal belum tentu juga bagus di bahasa tujuan. Jadi enggak harus sesuai bgt dengan kebiasaan berbahasa penutur bahasa tujuan.