Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 09 Agustus 2020)
IDE
NAMA itu melenggang di jalan kenanganku. Meliuk sebentar. Tiba-tiba aku diselimuti rasa rindu, pada masa lalu yang seringkali kulupakan dengan tergesa-gesa. Para penyair seringkali melahirkan berbait-bait puisi pada musim seperti ini. Bulan gerimis. Aku punya sedikit catatan di bulan gerimis bersama Ide. Kami berteduh pada sebuah kedai kopi di tepian kota Jogja. Kota itu masih ditandai oleh aroma kotoran kuda di sepanjang jalan Malioboro. Kita entah terlibat urusan apa di kota itu, namun itu bukan perjumpaan pertama.
Di kedai itu, kita membincangkan apa saja, dalam berbagai bahasa, serta menertawakan keadaan kita. Dua manusia, setara dalam usia, senasib dalam urusan bercinta. Kegagalan adalah nama tengah kita dalam urusan cinta, tapi kita semakin kuat menghadapi hidup yang semakin rumit ini kan? Tawa kita meliuk-liuk hingga jauh malam. Kau buang asap rokok berhelai-helai, lalu kau tulis catatan-catatan puisi pendekmu secara spontan di kertas pembungkus rokok. Kita lupa pada perjalanan jarum jam yang kian laju. Lupa rasa kantuk yang seharusnya tiba. Seindah itu kita lalui waktu, hingga subuh tiba dan kita terhuyung-huyung menuju tempat masing-masing dalam balutan pening.
Puisi-puisimu yang nakal dan menghunjam itu menyihirku. Di rumahmu yang asri di tepian Sungai Code, aku terkesima oleh ribuan buku yang memenuhi seluruh dinding rumahmu. Sebuah teras mungil menghadap sungai dengan pohon cherry memayungi, menjadi tempat paling kusukai. Teh serai kau hidangkan dengan perasaan berbunga-bunga, dan tatap ragu sedikit minder.
“Aku tak bisa menawarkan kemewahan. Sebagai tamu, aku tawarkan padamu dua hal. Aku memasak buatmu, atau kubelikan makanan terenak disekitar rumahku.”
Betapa romantisnya kamu, Ide. Tentu saja aku memilih yang pertama. Lelaki memasak itu seksi. Selain itu, lelaki pintar juga seksi. Kelemahanmu hanya dua: kau miskin dan kurang tampan. Tapi akhir-akhir ini nama Ide sering berlarian di kepalaku. Apakah ini namanya rindu?
ART
Di kotamu yang selalu hujan, kau menjemputku di stasiun kereta dengan senyum malu-malu khas milikmu. Kemudian kau menraktirku makan soto panas berisi daging sapi muda ditaburi bawang goreng yang lezat tiada tara. Sebuah kamar hotel bintang tiga kau siapkan. Di kamar itu kau menungguku dengan sabar untuk mandi dan berdandan tanpa buru-buru. Kau memasangkan kancing belakang bajuku, dari cermin kutangkap rona wajahmu yang berubah ungu.
Malam itu kau buat aku terbeliak bertubi-tubi. Ketika itu kita menghabiskan malam minggu di rumah karaoke. Oh bagaimana seorang pendiam dan pemalu bisa menyanyikan Master of Puppet sesempurna itu? James Hetfield bisa mati karena cemburu olehmu. Kau tuangkan air mineral ke dalam gelasku yang begitu cepat tandas, sembari kutatap wajahmu yang selalu tersenyum malu. Kemudian kau kembalikan aku ke kamar hotel itu, kau meletakkan tubuhmu dengan riang di kasur tanpa berpikir bagaimana aku harus meletakkan tubuhku. Semalaman aku tergolek dengan mata menyala, sementara kau terlelap begitu tenang, meringkuk menghadap dinding. Bolehkah jika kukatakan, aku meragukan kelelakianmu ?
Bersamamu sungguh menyenangkan, aku bisa makan apa saja tanpa khawatir mengeluarkan uang, belanja apa saja, kau akan membayarnya. Di dekatmu aku merasa aman, sangat aman, tanpa takut diperkosa. Tapi saat kau melamarku, mengapa aku menggelengkan kepala?
FAN
Ah, Fan. Tak pernah ada cukup waktu untuk mencatat debar jantungku setiap menyebut namamu. Di gelombang suaramu kutemukan alunan yang menggoda. Mengingatmu sama dengan menggali kubur kenangan yang mencabik-cabik ketenanganku.
“Aku ingin merasakan naik becak bersamamu,” bibir basahmu bergerak-gerak, aku menatap, tertancap di situ.
“Boleh?” kau mendesakku. Ya akhirnya kala itu kita serupa Romi dan Yuli. Mereka dengan sepeda angin, kita dengan becak. Dari jalan Tegalsari-Basuki Rachmat, diselamatkan oleh trotoar menuju Tunjungan Plaza. Di atas becak maupun trotoar, tangan kirimu menggenggam tangan kananku.
“Aku ingin makan pizza, di kotaku tak ada.” Kita mengudap pizza di dalam plasa terbesar di kotaku. Kulihat matamu berbinar saat menyantap potongan demi potongan. Kau tak menggunakan sendok dan pisau yang tersedia, katamu di Amerika—tempat kau menghabiskan 3 tahunmu—orang makan pizza hanya menggunakan tangan dan menyorongkannya ke mulut begitu saja. Aku hanya mengangguk, tersenyum, dan menatap penuh kagum.
Esok pagi kau memintaku mengantar ke Bandara Juanda.
“Aku ingin mencium kamu.” Kau mengirimkan pesan pendek, sementara aku duduk di hadapanmu sambil menikmati kopi hitam. Aku membalas cepat.
“Cium saja. Dari semalam ngapain?”
“Tapi mana bisa. Di luar kafe itu berseliweran orang.” Pesan pendekmu meluncur lagi.
“Anggap saja mereka kucing atau domba.”
“Ayo ke toilet. Biar kucium kamu di sana”
“Aku mau di sini saja.”
“Kamu jangan gila. Aku ini pejabat. Kalau ada wartawan dan mereka memotret?”
Kita tak jadi berciuman saat itu. Sedangkan aku telah menunggu detik-detik itu sejak kemarin. Kau terbang kembali ke kotamu. Kota kecil di ujung Sulawesi Utara. Meskipun aku sangat ingin mengejarmu, kau melarangku. Sangat berbahaya, katamu. Ya, aku tahu. Pejabat publik yang sedikit tampan dan makan sekolahan, pasti tak akan sebodoh itu membawa perempuan lain ke kotanya. Demi apapun itu. Aku sangat paham, ketika kau berbicara di depan publik, wibawamu terlihat menyala, suaramu kharismatik, tapi begitu kau duduk di meja, pesan-pesan pendekmu membakar api neraka. Kau pintar, kau seksi, kau menggelora, tapi kau laki orang.
RIN
Hari ini, tepat hari Minggu, usiaku telah mencapai angka empat puluh lima. Aku memasak untuk diriku sendiri. Beef bulgogi, dengan bahan daging terbaik yang kubeli di pasar modern empat hari lalu. Sengaja kusiapkan belanja istimewa untuk menyenangkan diri sendiri. Kutata daging itu dengan sedikit garnish berupa daun mint serta irisan tomat cherry. Kuletakkan makanan olahanku yang sudah aku plating sedemikian rupa, di tepi jendela untuk meraih pencahayaan sempurna. Klik!
“Happy birthday to me,” batinku mendesah.
Dari lantai 15 apartemen studio aku memandang orang-orang berlalu lalang di kolam renang. Apakah mereka sudah makan daging hari ini? Bersama siapa? Dimasak apa? Adakah mereka pun tengah merayakan sesuatu? Sepertiku?
Tadi pagi subuh, Ide telah mengirim ucapan ulang tahun.
“Maafkan aku, lima belas atau dua puluh tahun berlalu, aku tetap tak mampu membeli kado ultah untukmu. Selamat ulang tahun Rin, kau boleh memilih koleksi buku dan CD manapun yang kau sukai dari milikku.”
Ide, kau tetap seperti yang dahulu. Romantis. Puisimu mengalir begitu ritmis, memikat. Kau belum menikah. Dan kau tetap miskin. Sekalipun setiap menatapku matamu tampak mempesona dan suaramu bergetar karena kau begitu ingin memilikiku, bagiku kau tetap bukan target yang bisa kumiliki.
Art, dia tak mengirim pesan apapun. Juga tak ada transfer dana untuk makan-makan atau apa. Dulu dia selalu dengan murah hati mengirimku juta-juta angka untuk bersenang-senang. Dia tahu bayaranku sebagai penulis novel berapa berapa. Dia telah menikah dengan dua anak perempuan yang jelita. Dia bahagia. Meskipun ketika pernikahannya, aku datang mengucapkan selamat dengan senyum seolah tulus, dalam hatiku aku memaki-maki. Sialan! Kau menikah juga akhirnya. Dan sekarang, aku tengah membuka nomor teleponnya. Dalam profilnya ada wajah bahagia itu, sebuah keluarga utuh dengan tawa yang menusuk-nusuk rongga dadaku.
Fan, tadi pagi wajahnya muncul di layar kaca. Dia tengah meresmikan sebuah gerakan literasi di provinsi wilayahnya. Makjang! Ia memanggil seorang artis yang sekarang menjadi penulis untuk memberikan motivasi menulis. Hey…tidakkah dia tahu aku adalah penulis? Seharusnya dia memanggilku. Selain itu menambah penghasilanku, kami toh bisa reuni. Istrinya yang sudah menjadi doktor dan sedang menghadapi persiapan menjadi professor, tak mungkin mencurigainya. “Kau terlambat datang dalam hidupku, Rin. Andai kau hadir lebih awal…” Begitu ujarnya suatu hari. Aku tahu itu bualan semata. Tapi aku suka. Setidaknya sebagai perempuan aku layak dirayu.
***
Pintu unit apartemenku terbuka, bersuara keras, bedebam, itu jelas dibuka paksa. Orang-orang memasukinya dengan panik. Mereka semua mengenakan masker dan kaus tangan plastik.
“Oh Tuhan.” Teriak orang paling depan, dia pengurus apartemen ini.
“Benar disini.” Teriak yang lain, sepertinya polisi.
“Ugh! Sudah membiru,” teriak satu lagi entah siapa.
Lalu datang lagi orang lain. Memotret. Menelpon. Suara ambulans menggema. Dua orang lagi datang membawa tandu. Berjongkok, mendekati sebuah tubuh yang tergeletak di lantai.
“Sepertinya serangan jantung. Kira-kira tiga hari lalu.”
Tak lama wartawan datang. Bergerombol. Banyak sekali. Darimana mereka tahu ada jasad terbujur membusuk disitu?
Televisi yang masih menyala sejak kemarin-kemarin segera dibanjiri berita:
“Seorang penulis novel detektif terkenal, ditemukan meninggal di apartemennya di tengah kota Surabaya. Sambil menunggu otopsi, dugaan sementara adalah serangan jantung.”
Mereka membawa pergi jasad membiru dan agak bau. Aku kembali duduk di meja makan, menikmati beef bulgogiku yang mendingin. Tiba-tiba ponselku berdering. Ide. Bukankah seharusnya dia menonton televisi? Tidakkah ia tahu aku tengah menuju perjalanan otopsi ? (*)
WINA BOJONEGORO. Peraih Anugerah Sabda Budaya 2018 dari Universitas Brawijaya. Baru saja melahirkan buku biografinya, Art, Love n Journey, Februari 2020.
Fathia mengulas
Aaah I see, aku scroll sampe dua tiga kali baru paham maksudnya.
Tapi btw ini yang bercerita arwah kah?
Wina Bojonegoro
Yes
Mahmudah N. F.
Benar-benar tidak terduga.
Shella
Bagus