Cerpen Kiki Sulistyo (Suara Merdeka, 16 Agustus 2020)

Apokaliptik: Adam, Siti, Habel, dan Qain ilustrasi Suara Merdeka
I
Di tengah hujan lebat Adam dan Siti berlari sambil berpegangan tangan. Kaki mereka menginjak genangan air yang seketika meninggi. Di bawah kaki mereka bukanlah tanah, melainkan lapisan beton; air tak terserap dan menjelma genangan.
Mereka tertawa-tawa seakan air yang tertumpah sedemikian deras membawa kegembiraan. Dalam tabir hujan, pemandangan terlihat menakjubkan; bangunan-bangunan yang ditinggalkan, papan-papan iklan dengan gambar terkelupas dan bentuk tak lagi utuh, tiang listrik dan kabel semrawut, kendaraan dan aneka barang berserakan, menumpuk di antara semak dan pohonan yang tumbuh liar dan bebas. Semua seperti lukisan apokaliptik yang terendam air. Hanya dalam waktu singkat Adam dan Siti sudah basah kuyup. Mereka melompat-lompat, berpelukan, dan berputar-putar seperti sepasang kekasih yang telah resmi jadi pengantin.
Ketika tiba di dekat persimpangan, di barisan pertokoan yang runtuh sebagian, Siti menarik lengan Adam, lalu mengucapkan sesuatu. Suara Siti tampaknya tak sanggup menembus gemuruh hujan, sehingga Adam tak mendengar. Siti lantas menunjuk-nunjuk jalan di depan, dan mengertilah Adam: Siti tak ingin berhenti.
Adam tak jadi menepi, mengikuti langkah Siti yang lebih dulu berlari. Di persimpangan, ketika hendak berbelok, tiba-tiba Siti berhenti. Saat Adam berada di sampingnya, mereka melihat persis di tikungan itu dua orang sedang bergumul. Sesosok lelaki berada di atas tubuh lawan sambil mengayunkan pukulan berkali-kali. Tubuh lelaki itu berpendar, seakan ada cahaya yang membungkus. Di punggungnya ada sepasang sayap terlipat; sebelah sayap itu koyak. Sementara itu, orang yang di bawah terus menutupi wajah, berusaha melindungi diri dari pukulan. Sosok satu itu tidak memendarkan cahaya, tetapi di kepalanya ada sepasang tanduk yang mengobarkan api. Bunyi api tersiram air mendesis di udara. Asap mengepul, tetapi api di tanduk itu tak padam-padam.
Pukulan si lelaki bersayap mendarat bertubi-tubi, tetapi rupanya itu membuatnya lengah. Saat tangan si lelaki terangkat untuk kembali memukul, suatu pukulan dari bawah telak menyambar dagu. Lelaki itu terjungkal ke belakang, lawan langsung bangkit dan mengarahkan tendangan ke pinggangnya. Si lelaki berguling-guling, tubuhnya masuk ke selokan di pinggir pertokoan, sayapnya berkepak-kepak membentur beton jalanan. Si penendang hendak menghampiri ketika tak sengaja melihat Adam dan Siti berdiri menonton.
Di tengah hujan lebat Adam dan Siti bisa memastikan sosok itu perempuan. Mata perempuan itu membesar, membentuk sepasang bulatan berwarna biru terang. Tanpa diduga-duga, perempuan itu menghambur ke arah mereka. Dengan naluri melindungi, Adam bergerak ke depan Siti sehingga perempuan itu menubruk tubuhnya. Adam merangkulkan lengan ke leher perempuan itu agar tak bangkit menyerang Siti. Mereka bergumul. Sementara Siti bimbang, akan membantu Adam atau berlari menyelamatkan diri. Ia menengok ke sana-kemari. Ia sadar tak mungkin ada manusia lain di tempat ini, bahkan tak mungkin ada manusia lain di dunia ini. Manusia sudah punah dan mereka “ia dan Adam” telah turun untuk kali kedua. Kali ini bukan karena hukuman, melainkan karena keinginan mereka.
Saat itu lelaki yang masuk ke selokan sudah bangkit kembali. Dia termangu sebentar sembari menekan pinggang. Saat melihat si perempuan bertanduk api bergumul dengan Adam, tiba-tiba sayapnya terentang; sebelah kanan terbuka utuh, sedangkan yang kiri seperti patah terkulai, gagal mengembang. Dia mengeluarkan bunyi kaok seperti seekor burung yang murka. Lalu dia berpaling ke Siti.
“Sial,” seru Siti pada diri sendiri. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sebenarnya sudah menduga. Dua makhluk itu pasti telah diturunkan beberapa waktu setelah ia dan Adam bertemu di bumi. Keduanya pasti hendak mengambil mereka kembali. Keduanya berkelahi seperti sepasang pemburu yang memperebutkan lahan perburuan, dan kini sekaligus memperebutkan buruan.
Siti melirik sebentar pada pergumulan Adam dan si perempuan bertanduk api. Adam tampak kewalahan, perempuan itu meninju, mencakar, menggigit. Siti tak tahu harus melakukan apa. Tak mungkin meninggalkan Adam sendirian, tetapi sangat sulit jika bertahan di sini. Dia lihat si lelaki bersayap bergerak. Sosoknya tampak agung, menimbulkan rasa takjub. Namun di luar dugaan, si lelaki ternyata tak menghambur ke arahnya sebagaimana si perempuan. Dia justru menerjang ke arah si perempuan yang mencekik Adam. Terjangan itu membuat cekikan si perempuan terlepas. Si lelaki melingkarkan lengan ke leher si perempuan yang menindih di bawah punggung. Adam bangkit dengan wajah penuh luka, darah kehitaman merembes ke seluruh tubuh. Terdengar si lelaki bersayap berseru, tetapi Siti tak bisa menangkap kata-katanya karena hujan makin lebat.
Adam bergerak ke arah Siti yang mundur dan ternganga melihat luka-luka di wajah dan tubuhnya. Air bah mendadak muncul dari barat, menghantam seluruh bangunan, menerjang keempat sosok itu. Siti tertawa-tawa. Makin lama kian keras, seakan air bah itu telah membawa kegembiraan buatnya.
II
Pukulan terakhirnya meleset, lawan menunduk tepat pada waktunya. Lalu dengan tenaga dan kecepatan penuh, lawan menghantam rusuk kirinya. Dia memekik, terjungkal dan berguling-guling. Sebelumnya dia sudah merasa menang sebab dua pukulannya telak mengenai dada dan dagu lawan. Itu tampaknya membuatnya lengah dan tidak menduga lawan sanggup membalas.
Sekarang, dia tidak bisa bangkit lagi. Tulang rusuknya patah, sedikit saja dia menggerakkan badan, rasa sakit langsung menjalar sampai ke otak. Lawan berdiri mengangkang di atasnya. Dia melihat sosok itu jadi kelihatan lebih besar, lebih kuat, dan lebih berbahaya.
“Sial. Habislah aku,” katanya dalam hati. Dia memejamkan mata, bersiap menahan pukulan bertubi-tubi dari lawan. Namun apa yang terjadi di luar dugaannya. Lawan tidak menghantam atau menendang. Ia hanya diam dan menatap. Itu semua dia lihat ketika membuka mata. Dia perhatikan lawan, masih berdiri, tetapi kali ini tidak lagi mengangkang, seakan-akan kekuasaan yang baru diraih sudah dilucuti. Dia perhatikan mata lawan; mata seseorang yang terheran-heran.
Ada apa? Dia bertanya dalam batin. Pertanyaan itu disusul tindakan menelusuri tubuhnya; kaki, tangan, perut, dada. Rasa sakit akibat pukulan masih terasa kuat, tetapi mata yang terheran-heran itu mengurangi sedikit rasa sakit.
“Ada apa, Habel?” serunya pada si lawan. “Ayo, kau punya kesempatan menghabisiku.”
Namun lawan masih diam, lalu beberapa saat kemudian berbalik dan melangkah pergi. Melihat itu dia segera bergerak untuk menerjang, tetapi rasa sakit langsung menyergap. Dia mengerang, ditambah perasaan murka atas ketidakberdayaan, membuat air matanya merembes keluar. Dia menangis tersedu-sedu beberapa lama, sebelum tertawa sekeras-kerasnya.
Suara tertawa itu rupanya didengar oleh ayahnya yang sejak tadi mencarinya di kawasan hutan itu. Ayahnya, orang yang mengetahui rencananya membunuh Habel, saudara sekaligus lawannya itu, segera berlari menuju asal suara tawa. Begitu sampai di tempatnya, sang ayah segera menghambur, lantas berdiri di dekat tubuhnya yang masih terbaring dengan air mata bercucuran. Dia menatap ayahnya; ada rasa lega, dia yakin ayahnya akan menolong. Namun apa yang terjadi di luar dugaannya. Ayahnya hanya menatap tanpa mengatakan apa-apa. Dia lihat mata ayahnya sama seperti mata Habel; mata seseorang yang terheran-heran.
“Ada apa?” serunya pada sang ayah. “Ayah datang bukan untuk menolongku?”
Pertanyaan itu tidak terjawab. Ayahnya malah berbalik dan segera pergi. Dia melongo. Sementara, rasa sakit karena tulang rusuk patah pelan-pelan berubah menjadi rasa panas membakar, seakan-akan ada titik api di rusuk. Api yang menyebar ke seluruh tubuh. Dia membalikkan badan, lalu pelan-pelan merangkak, berusaha meninggalkan tempat itu. Tadi Habel sudah nyaris mengalahkannya, tetapi malah pergi. Tadi Adam, ayahnya, yang sejak awal menentang rencananya, berhasil menyusul untuk mencegah dia membunuh Habel. Namun ayahnya juga pergi. Sekarang dia sendirian, di tengah hutan yang hanya menumbuhkan satu jenis pohon. Pohon yang buahnya berdenyut-denyut seperti jantung manusia. Tanpa menyadari, rasa panas membuatnya tertidur.
Dia seperti tenggelam dalam lautan api, menuju dasar mimpi. Dalam mimpi dia lihat kota-kota ditinggalkan, manusia mati satu per satu oleh penyakit misterius. Dia lihat air bah bangkit dan menghanyutkan seluruh isi dunia. Dia dengar gema suara seorang perempuan tertawa-tawa.
Ketika dia terjaga, malam telah meluncur turun. Jubahnya yang pekat menutupi angkasa raya, menyelubungi dunia dengan kegelapan. Dari dalam hutan dia dengar suara orang-orang berseru. Makin lama kian dekat dan jelas. Mereka memanggil-manggil dia. “Qain, Qain, Qain!”
Dia hendak merangkak lagi, tetapi tak ada tenaga tersisa. Dia balikkan badan, telentang, menahan rasa panas di rusuk yang membengkak.
Orang-orang itu muncul, membawa obor, berarak seperti sedang mengadakan upacara. Makin lama kian banyak. Ketika Qain memperhatikan wajah mereka, dia sungguh terheran-heran. Wajah-wajah itu sama persis dengan wajahnya. Dia merasa sedang melihat diri sendiri; Qain, anak Adam yang terus-menerus menggandakan diri. (28)
Kekalik, 2020
– Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (2017) dan buku puisi terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (2018). Ia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Leave a Reply