Oleh Setta SS (Eramuslim, 9 Februari 2008)
SEORANG anak lahir setelah 11 tahun pernikahan mereka—pasangan yang saling mencintai itu. Dan, anak itu adalah buah hati mereka.
Suatu pagi, di rumahnya, saat anak tersebut berumur dua tahun. Sang ayah melihat sebuah botol obat yang terbuka. Akan tetapi, pagi itu dia sudah terlambat untuk berangkat ke kantornya. Maka, dia meminta istrinya untuk segera menutupnya dan menyimpannya di lemari. Istrinya, karena kesibukannya di dapur, sama sekali lupa tentang pesan suaminya tersebut.
Anak itu melihat botol obat yang terbuka itu dan dengan riang memainkannya. Karena tertarik dengan warna obat tersebut, lalu si anak menelannya semua. Obat tersebut termasuk obat keras, yang bahkan untuk orang dewasa sekalipun hanya dibolehkan dalam dosis kecil saja sekali minum.
Sang istri segera membawa si anak ke rumah sakit. Tetapi, si anak tidak tertolong. Sang istri ngeri membayangkan bagaimana dia harus menghadapi suaminya. Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia melihat kepada istrinya dan mengucapkan tiga kata. Sang suami hanya mengatakan, “AKU BERSAMAMU, SAYANG.”
Reaksi sang suami yang sangat tidak disangka-sangka itu adalah sikap yang proaktif. Si anak sudah meninggal, tidak bisa dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang istri. Karena jika istrinya menyempatkan beberapa detik saja untuk menutup dan menyimpan botol obat itu, maka hal ini tidak akan terjadi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dan memang tidak ada yang perlu disalahkan.
Si istri juga kehilangan anak semata wayangnya. Apa yang dibutuhkannya saat ini adalah penghiburan dari sang suami. Dan, itulah yang diberikan suaminya sekarang. [*]
***
Suatu masa, saya pernah mengalami situasi dimana saya berada pada posisi seperti si istri dalam kisah di atas.
Sore itu, saya baru menyelesaikan UAS hari terakhir setelah tiga minggu berjuang untuk mendapatkan nilai terbaik. Tetapi, saya sudah pesimis tidak akan bisa memenuhi target yang sudah saya canangkan di awal semester enam bulan sebelumnya. Bahkan, ujian terakhir hari itu saya tutup dengan sangat mengecewakan. Saya hanya berhasil menjawab dengan yakin dua soal dari jumlah enam soal yang diujikan.
Usai shalat Maghrib, dengan perasaan bersalah dan menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan amanah kuliah di semester itu, saya memberanikan diri mengabari orangtua via sms. Sungguh, saya sudah ketakutan lebih dulu. Takut membayangkan reaksi mereka setelah membaca isi sms yang saya kirimkan. Tentang kegagalan saya dalam menempuh UAS. Saya takut mereka akan memarahi saya saat itu juga.
Beberapa saat setelah dua sms saya terkirim, sebuah balasan dari ayah saya masuk. Dengan jari gemetar, saya memencet keypad untuk membaca sms itu.
“Alhamdulillah, selesai tanpa aral. Yang penting, kami—Ayah dan Bunda, hargai adalah komitmen, keseriusan, dan progres ikhtiarnya. Out put-nya hanya untuk bahan evaluasi yang bersiklus….”
Adalah benar, sms itu masih berlanjut dengan nasihat-nasihat yang sangat menggugah relung hati saya dan sekaligus semakin memojokkan saya pada rasa bersalah yang semakin berlipat. Tetapi, coba bacalah awalan dari sms ayah saya di atas sekali lagi.
Beliau tidak memvonis saya bersalah secara langsung dan vulgar. Namun sebaliknya, pertama-tama beliau justru menenangkan hati saya dengan ucapan hamdalah karena saya telah berhasil menyelesaikan UAS tanpa halangan.
Disusul kemudian dengan penghargaan atas usaha dan ikhtiar yang sudah saya lakukan, betapapun hasilnya sungguh mengecewakan. Sebelum menutupnya dengan nasehat yang menyejukkan kesedihan saya kala itu. Kedua orangtua saya tidak menambah beban kesalahan yang sesungguhnya sudah sangat berat saya rasakan saat itu.
Dan sungguh, saya mendapat pelajaran sangat berharga dari mereka tentang bersikap bijak dalam menyikapi suatu permasalahan.
***
Jika semua orang dapat melihat hidup dengan cara pandang seperti mereka—si suami dan kedua orangtua saya, maka tentu akan terdapat jauh lebih sedikit permasalahan di dunia ini. (*)
2o Januari 2oo7/1 Muharam 1428 H
[*] Dikutip dari artikel Aku Bersamamu, Sayang (Anonim)
Leave a Reply