Oleh Setta SS (Eramuslim, 16 Mei 2007)
JAM dinding menunjukkan pukul 10 pagi lewat beberapa menit saat sepupu saya yang duduk di bangku SD kelas dua tiba dari sekolah dengan sepedanya. Masih dari jalan depan rumah, ia sudah berteriak lantang memanggil ibunya, tante saya, meminta uang dua ribu rupiah. Hanya dua ribu rupiah memang, tetapi untuk anak seusianya yang tinggal di sebuah kampung kecil, uang sejumlah itu nilainya sudah cukup besar.
Tak kalah lantang, sang ibu menimpali permintaan itu dengan emosional. Saya yakin, jika ada di rumahnya, tetangga di kanan kiri rumah kami akan mendengar dengan sangat jelas suara tante saya itu. Sebenarnya pertanyaan standar saja, tante saya menanyakan untuk apa meminta uang sejumlah itu. Namun, pertanyaan itu terdengar bagai sebuah kemurkaan di telinga sepupu saya karena intonasi suaranya yang sangat tinggi.
Tante saya juga langsung menuduh, bahwa uang sejumlah itu akan dibelikannya mainan di tempat salah seorang warga kampung kami yang sedang hajatan dan mengundang grup Orgen Tunggal. Tanpa memberinya kesempatan berdialog untuk mengutarakan alasannya meminta uang sejumlah itu dengan bahasa cinta seorang ibu.
Bisa ditebak kelanjutannya, sepupu saya langsung mengeluarkan jurus pamungkasnya: menangis seketika. Masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang belum dilepas.
Cukup lama dia menangis. Di sela tangisannya, di antaranya dia menyebut-nyebut uang miliknya dari pemberian para kerabat yang “diminta” (baca: disimpan) oleh ibunya.
Mendengar anaknya menyebut-nyebut uang miliknya yang “diminta” olehnya, tante saya langsung membuka lemari tempat di mana uang itu disimpan dan diberikannya semua uang itu kepada keponakan saya.
Habiskan saja semua uang itu! kata tante saya masih dengan emosinya pada anaknya yang masih menagis tersedu-sedu di depannya. Begitulah bahasa cinta yang dimiliki tante saya pada anak semata wayangnya.
***
Sekarang, izinkan saya bercerita kepada Anda jika seandainya kejadian serupa saya alami beberapa tahun yang akan datang. Karena bukan tak mungkin saya juga akan merasakan menjadi orang tua seperti tante saya, iya kan?
***
“Bundaaa …! Aku minta uang dua puluh ribu!!”
Teriak Ahmad lantang dari pinggir jalan depan rumah sepulang sekolah dengan sepeda BMX-nya yang dicat warna hijau muda. Anak semata wayangku itu masih duduk di bangku SD kelas dua.
Aku tersenyum lebar mendengar teriakannya. Sambil membukakan pintu samping rumah mungil kami, aku menyapanya dengan wajah matahari sepenggalah.
“Assalaamu ’alaikum! Wah, jagoan Bunda sudah pulang ya?” Ahmad turun dari sepedanya dan menuntunnya ke arahku. Walau tampak cuek, akhirnya ia malu-malu menjawab salamku.
Ya, aku memang selalu berusaha mengingatkannya untuk mengucapkan salam setiap kali akan masuk ke rumah. Tadi ia mungkin lupa. Aku bisa memakluminya.
Saat Ahmad melepas sepatunya, aku mengambil air putih untuknya dengan mug bergambar lucu kesayangannya. Kemudian aku lap keringat yang membanjir di dahi dan mukanya.
“Stop! Cuci tangan dulu, Sayang…,” cegahku ketika ia akan menyerobot mug di depannya.
Lagi, meski tampak enggan, Ahmad menuruti kata-kataku. Ia menuju ke tempat air untuk mencuci tangannya terlebih dahulu.
Setelah menghabiskan minumnya, aku mengajak Ahmad ke ruang santai rumah kami. Tempat di mana sebuah PC dan printer, beberapa rak berisi Al-Qur’an, kitab-kitab hadis dan fikih, ensiklopedi, kamus aneka bahasa, buku-buku fiksi dan nonfiksi, jurnal ilmiah, koran, majalah, sebuah whiteboard ukuran sedang, serta beberapa alat permainan kreatif milik Ahmad berada.
Di sana ia mulai bercerita tentang aktivitasnya selama di sekolah tadi sambil mengganti seragamnya. Aku mendengarkannya antusias dan sesekali menimpali sembari memeriksa buku-buku catatannya. Alhamdulillah, pagi ini Ahmad mendapat nilai 10 untuk pelajaran Matematika, 9 untuk Bahasa Indonesia, dan 7,5 untuk Menggambar.
Tak mau kehilangan momentum baik, aku langsung memberikan ucapan selamat untuknya. Dan memotivasinya agar menjadikan belajar sebagai salah satu bentuk ibadah, bukan semata untuk mendapatkan nilai bagus saja, di antara kalimat-kalimat yang masih meluncur deras dari bibirnya. Juga mengingatkannya lagi, agar pada saat waktu belajar tiba tidak harus selalu diingatkan oleh kami, kedua orang tuanya.
Hingga sampailah Ahmad pada cerita itu.
“Bunda…,” ia tampak sungkan melanjutkan kalimatnya.
Aku menatap mata beningnya dengan cinta. Memintanya untuk tak sungkan bercerita apa adanya. Aku menganggukkan kepalaku dan tersenyum lebar untuknya.
“Bunda, em…,” ia masih ragu.
“Ingat apa kata Rasul? Orang jujur disayang…?”
Disayang Allah!
Aku yakin sekali Ahmad menjawabnya begitu meski ia tidak mengucapkannya.
“Tadi pagi Farhan membawa VCD cerita Nabi Musa ke sekolah. Aku sih hanya lihat cover-nya saja. Tapi kata Farhan yang sudah menontonnya, ceritanya bagus banget lho, Bunda.”
Akhirnya tanpa diminta Ahmad bercerita tuntas tentang alasannya meminta uang dua puluh ribu rupiah itu. Sedetil-detilnya dengan penuh harapan aku akan mengabulkan permintaannya.
Setelah mempertimbangkannya dengan matang, aku menjawab rengekannya, “Bunda bisa memahaminya. Coba nanti Ahmad bilang sendiri pada Ayah ya? Pasti Bunda dukung deh. Tapi….”
“Tapi kenapa, Bunda?”
“Ada syaratnya. Kalau Ayah mengabulkannya, Ahmad harus hafal surat Al-Insyirah. Okey?”
“………………………………………”
“…………”
***
Begitulah bahasa cinta yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak saya kelak. Jangan lupa, doakan saya semoga bisa menjadi orang tua yang sabar, bijak dan mendidik buah hati saya dengan cinta suatu hari nanti. Insya Allah. (*)
Karangkandri, 5 Mei 2oo6 o2:1o p.m.
liana sera
semoga….amin….