Setta SS

Ketidakadilan di Bilik Warnet

0
(0)

Oleh Setta SS (Eramuslim, 1 Februari 2011)

MEMANG, hanya di yaumul akhir kelak keadilan sejati akan kita temui. Ketika pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka balasan setiap pekerjaan mereka.

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah (ada sebagian mufassir yang mengartikan kata zarah dengan seukuran partikel atom) pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.

Maka bisa dipastikan setiap diri akan terlibat laku tidak adil, baik pada diri sendiri dan terlebih lagi pada makhluk di sekitarnya. Misal, seorang rekan yang tercantum di biodatanya berprofesi sebagai penulis.

Pagi hari itu sekitar jam enam, berbekal informasi dari rekan lain bahwa dia pernah menginap di sebuah wisma yang cukup presentatif di bilangan Alun-alun Selatan Yogyakarta bertarif miring, saya menghubunginya via telepon genggamnya. Saat dia mengangkat panggilan saya, terdengar suara seperti orang linglung di seberang sana.

Tanpa berbasa-basi, saya langsung mengutarakan maksud menghubunginya, menanyakan apakah dia memiliki nomer kontak wisma tersebut atau tidak. Ia meminta waktu sebentar untuk mencari nomer kontak wisma di list handphone atau di dokumen lainnya sebelum mengakhiri pembicaraan.

Lima menit berlalu, tak ada pesan masuk darinya. Saya mengirim sebuah SMS, minta tolong segera dikirim nomer kontak wisma jika memang ada atau jika tidak ada maka saya tak perlu menunggu kepastian ada tidaknya lebih lama lagi. Kelamaan menunggu, saya jengah juga.

Pada akhirnya saya putuskan untuk menyusuri jalanan sekitar alun-alun Yogyakarta untuk menemukan wisma bertarif miring tersebut karena dua orang rekan dari Bandung dan seorang putranya telah tiba di Stasiun Lempuyangan.

Baca juga  Sebatas Rencana

Dan tahukah Anda, pukul berapa SMS balasan dari rekan penulis tersebut masuk ke ponsel saya? Empat jam lebih kemudian, saat rekan dari Bandung sudah selesai mandi di wisma lain karena di wisma yang pernah ditempatinya tidak ada kamar kosong.

Begitulah, rekan penulis tersebut sudah berbuat tidak adil pada dirinya sendiri dengan beralibi dia baru saja tidur selepas Shubuh setelah aktivitas menulis semalaman suntuk hingga setengah sadar saat menerima telepon saya. Ia tak kuasa menahan kantuk dan terlelap lagi seketika itu juga.

Sekarang mari saya ajak Anda menengok sekilas ketidakadilan di bilik-bilik warnet (warung internet). Bisa dikatakan, saya tak pernah lepas dari jasa pemilik warnet sejak pertama kali mengenal dunia maya lebih sepuluh tahun ke belakang.

Lalu kenapa sekarang saya tak membeli modem saja? Setidaknya ada dua alasan sederhana: harga modem masih relatif mahal untuk kantong saya, dan yang paling utama saya tidak setiap saat membutuhkan online. Hanya sesekali saja dalam sehari semalam. Saya bukan ‘aktivis’ facebook atau seorang blogger yang aktif. Bukan pula pelaku bisnis online yang katanya berpenghasilan menggiurkan itu.

Maka saya pun bertualang dari warnet ke warnet di setiap kota yang pernah saya singgahi. Dari Yogyakarta, Palembang, Bogor, Purwokerto, Pasuruan, Bekasi, Denpasar, Cilacap, dan kini di bilangan ibu kota Jakarta.

Di sebuah bilik warnet, suatu waktu, saya pernah menggerutu. Entah kenapa setiap beberapa menit layar LCD di hadapan saya tiba-tiba hang atau langsung restart sendiri tanpa permisi. Padahal saya sedang men-download atau meng-upload sebuah file yang belum purna. Oh, komputer di bilik itu memang sedang error, pindah saja ke komputer yang lain, terang sang operator warnet enteng tanpa dosa. Kenapa tidak bilang dari awal jika memang komputer di bilik itu sedang error dan tak layak pakai?

Baca juga  Well-Dying

Suatu sore di sebuah warnet saya pernah komplain. Saya baca dengan jelas tulisan di sebuah karton putih yang ditempel di dinding sebuah warnet: akses internet per jam Rp. 3.000,- Saya pun masuk ke salah satu bilik di warnet tersebut. Setelah tunai hajat saya menyapa dunia maya, saya pun undur diri segera.

What happens then? Saya merasa telah dizhalimi pemilik warnet. Ternyata akses per jam Rp. 5.000,-. Itu tarif lama, belum sempat dilepas, begitu lebih kurang makna diam sang juragan warnet. Menurut Anda, bolehkah saya menjotos mukanya saat itu?

Lain padang lain ilalang. Maka lain lagi jenis ketidakadilan yang pernah saya temui di sebuah warnet yang lain. Dan sebatas pengalaman saya, ketidakadilaan jenis yang satu ini adalah yang paling sering saya jumpai di berbagai tempat.

Betul di sana ada billing perekam biaya yang harus dibayar sekaligus piranti digital pencatat lama waktu akses internet. Namun yang mengganjal di benak saya adalah sistem pembayarannya. Bukan dihitung permenit, melainkan pemakai jasa warnet seolah dipaksa untuk membayar akses sekian menit meski hanya butuh akses beberapa menit saja.

Saat piranti digital mulai mencatat waktu akses di detik pertama, tiba-tiba billing perekam biaya sudah menunjukkan angka Rp. 3.000,- untuk akses 30 menit pertama. Artinya jika saya hanya berkepentingan untuk mengirim sebuah dokumen via email yang cukup memakan waktu akses lima menit saja, saya tetap wajib membayar Rp. 3.000,- Atau ketika saya meng-upload enam buah file di blog dengan waktu akses cukup dalam 30 menit saja, namun karena leletnya koneksi speedy warnet sehingga molor satu menit dua detik ketika log-out menutup blog, maka mau tak mau saya dipaksa harus membayar Rp. 6.000,- untuk akses 30 menit berikutnya yang tidak pernah saya butuhkan.

Baca juga  Hai, Muslim! Apa Karyamu?

Bukankah hal itu merupakan salah satu wujud ketidakadilan yang dengan sengaja dirancang untuk sebuah keuntungan materi yang tak seberapa jumlahnya? Maka coba renungkanlah wahai para juragan warnet. Sebagai pengguna jasa warnet, saya akan lebih ikhlas membayar tepat sesuai jumlah menit saya mengakses dunia maya di warnet Anda meski seandainya saya harus membayar sepuluh ribu rupiah setiap menitnya.

Bagi Anda para juragan warnet, mohon maaf bila tidak berkenan, baru sebatas itulah wujud keadilan yang saya pahami sejauh ini. Adakah di antara Anda yang berani memulai menerapkan tarif online per menit dan bukan bayar di muka setiap sekian menit yang sangat boleh jadi sekian menit itu tak pernah dibutuhkan oleh setiap pengguna jasa warnet Anda? Jika ada, saya doakan usaha warnet Anda akan ramai pengunjung dan penuh berkah. Amin. (*)

.

.

Jakarta, 30 Januari 2011 o7:54 a.m.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

  1. Abu wafa el malawy

    Bung aku bingung bacanya. Kalw boleh tau ini cerpen apa bukan. Maaf bukan nya apa. Kalau ini cerpen. Dan semua yg tampil disini itu cerpen. Mw mhon izin bwt coment. Btw kapan aja update nya. Thx

    • Comment by post author

      Tulisan-tulisan ringan saya (baca: Setta SS) yang dimuat di Eramuslim, Kotasantri, dan beberapa media lainnya adalah BUKAN CERPEN, melainkan oase atau refleksi atau opini atau renungan atas berbagai peristiwa yang saya alami dalam sudut pandang seorang muslim. Kecuali beberapa tulisan saya yang sudah jelas saya beri tag “CERPEN”.

      Saya usahakan update setiap Minggu. Hanya karena kesibukan kadang molor posting pada hari-hari berikutnya.

Leave a Reply

error: Content is protected !!