Oleh Setta SS (Kotasantri, 4 Maret 2009)
Most of man’s troubles come from his inability to sit and be quiet for twenty minutes. (Blaise Pascal)
***
SESEKALI, bolehlah kita menyempatkan diri hadir di acara nonton bareng (nobar) salah satu partai big-match antara dua tim sepakbola raksasa yang fans-nya tersebar hampir di setiap sudut jagat raya ini. Di sebuah kafé, kedai kopi atau mungkin di sebuah warung burjo. Tidak hanya untuk menonton, tentu saja, tapi sambil bercermin diri di sana.
Semisal laga derby antara AC Milan vs Internazionale Milan di kancah Serie A Italia. Manchester United (MU) vs Liverpool di ranah EPL (English Premier League). Duel antara dua musuh bebuyutan penguasa La Liga Spanyol, Real Madrid vs Barcelona. Atau laga krusial yang mempertemukan dua negara yang menjadi gudangnya para maestro olahraga paling populer sejagat itu. Seperti Brazil, Argentina, Italia, Inggris, Spanyol, Jerman, Prancis dan Belanda. Boleh juga saat Champions League di Benua Biru sana mempertemukan dua klub bertabur bintang dan penuh ambisius di fase knock-out.
Seperti dini hari itu, saya menyaksikan laga perempat final leg pertama Liga Champions Eropa antara wakil Italia, AS Roma, menjamu juara Inggris, MU, yang disiarkan secara live oleh stasiun TV lokal di sebuah warung makan favorit. Di sana sudah ada dua kubu suporter yang masing-masing menjagokan tim unggulannya.
Sebagian fans fanatik MU mengumpat para skuad AS Roma yang terlalu kasar mem-press bintang muda MU yang sedang naik daun, Cristiano Ronaldo. Gelandang energik yang sudah dipercaya menyandang ban kapten timnas Portugal meski tergolong masih sangat muda itu, 23 tahun. Di pihak lain, para Romanisti tak kalah sewot mengomentari permainan tim kesayangan mereka yang unggul ball-possition di babak pertama dan terus membombardir pertahanan MU, tetapi tak kunjung juga membuahkan gol. Begitulah, suasana semarak akan terjadi di sepanjang laga berlangsung.
Selama 2×45 menit, kedua kelompok suporter akan saling ejek satu sama lain. Tak jarang disertai umpatan semau gue saat pemain dari tim kesayangannya atau tim lawan melakukan kesalahan fatal. Saat seorang pemain gagal menjadi eksekutor penalti atau ketika seorang kiper melakukan blunder yang tidak perlu, misalnya. Kata-kata umpatan seperti “goblok”, “bodoh”, “tolol” dan semacamnya dalam berbagai versi bahasa sudah biasa dan tak aneh lagi. Pun juga teriakan histeris over-loudly dan tawa membahana saat gol tercipta.
Sejujurnya mulut saya kadang suka latah dan ikut-ikutan jadi “ember” juga saat menyaksikan tim favorit saya berlaga, tim Zebra dari kota Turin-Italia, Juventus FC. Namun, pada acara nobar dini hari itu saya memposisikan diri pada posisi netral. Saya bukan fans AS Roma maupun MU. Dan karenanya, saya hanya diam tak mengomentari sepatah kata pun pada setiap momen yang terjadi di lapangan hijau di layar kaca atau sesekali tersenyum simpul. Saya berusaha menjadi penonton yang baik.
Tiba-tiba saya merasa asing dengan mereka, dua kubu suporter di sekitar saya. Mereka tampak seperti orang-orang yang tidak pernah mendapatkan pelajaran moral tentang tata karma dan sopan santun saja. Tak mampu lagi mengontrol diri dari mengeluarkan kata-kata umpatan yang sangat kasar dan tidak sopan itu. Tak risih lagi dengan tingkahnya. Dan, rasa malu itu seperti sudah tercerabut dari dalam diri mereka tanpa mereka sadari sepenuhnya.
Saya jadi membayangkan, betapa memalukannya saat-saat saya sendiri pernah menjadi salah satu sosok dari mereka itu. Tapi yang sudah berlalu, biarlah. Asal tidak saya ulangi lagi pada kesempatan berikutnya. Semoga. (*)
Yogyakarta, 3 April 2oo8 o7:54 p.m.
Leave a Reply